Falsafah

Jacques Derrida: Teori Dekonstruksi, Agama, dan Sains

2 Mins read

Sains diperlukan ketika kita akan melakukan suatu percobaan ilmiah. Salah satu cabang dari sains adalah filsafat ilmu. Terdapat banyak sekali pendekatan ilmiah yang dikaji dalam filsafat ilmu, salah satunya adalah teori dekonstruksi.

Secara garis besar, dekonstruksi berpegang pada keyakinan bahwa tidak ada makna yang absolut. Teori ini bertolak belakang dengan pemikiran kaum strukturalis yang mempercayai bahwa hanya terdapat satu makna absolut, atau bisa disebut makna yang ideal. Memperkuat gagasan tersebut, teori dekonstruksi berpegang pada konsep trace dan difference. Trace dapat diartikan sebagai jejak yang mengarah pada pengertian makna. Makna yang hadir akan bersifat inkonsisten dan ambivalen, karena terdapat jejak dari makna sebelumnya.

Untuk mengungkap jejak makna di atas, hadirlah konsep difference. Kata difference berasal dari kata to differ yang berarti membedakan. Dengan adanya dua konsep tersebut, dapat dikatakan makna yang hadir tidak pernah mutlak, pasti, dan tetap. Contohnya, dalam suatu karya satsra, sebuah tulisan atau teks selalu bersifat difference dan mengandung trace. Dengan begitu, akan hadir keragaman makna yang dapat menyebabkan makna tersebut menjadi sangat luas dan dapat direinterpretasi. Penggagas teori dekonstruksi ini adalah seorang filsuf yang berasal dari Prancis bernama Jacques Derrida.

Jacques Derrida

Sedikit ulasan, Jacques Derrida dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1930 M di El-Biar, Al-Jazair─yang dulunya merupakan bagian dari negara Prancis. Derrida banyak mengkritik filsuf terdahulu, seperti Aristoteles, Plato, dan Kant melalui karya-karyanya. Beberapa karyanya antara lain, La voix et le phenomène (1967), L’écriture et la différance (1967), dan De la grammatologie (1967). Kontribusinya dalam dunia filsafat dapat dikatakan sangat besar karena telah melahirkan suatu teori yang masih digunakan hingga saat ini.

Baca Juga  Giordano Bruno, Seorang Martir Ilmu Pengetahuan

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditegaskan sekali lagi bahwa teori dekonstruksi menolak kebenaran absolut. Umumnya, teori dekonstruksi kerap diterapkan dalam mengkaji suatu karya sastra, dengan tujuan untuk mencari makna yang tersembuyi atau makna ganda. Meski begitu, tidak menutup kemungkinan untuk menerapkan teori dekonstruksi dalam kehidupan sehari-hari. Nyatanya, teori dekonstruksi dapat dirasakan dalam praktik kehidupan.

Salah satunya adalah pratik agama dan sains. Perdebatan sains dan agama seakan tidak pernah berhenti, bahkan sejak zaman dahulu. Nyatanya, kedua hal ini selalu beroposisi dan menjadi bahan debat. Apakah agama selalu menyajikan kebenaran? Apakah sains selalu memudahkan kehidupan manusia, atau mungkin gagal dalam memberikan manusia rasa aman yang diberikan oleh agama? Pertanyaan tidak berujung yang tidak akan pernah terjawab jika kita tidak melihat dari kedua sisi.

Dekonstruksi, Agama, dan Sains

Agama berperan untuk memberikan manusia rasa aman. Manusia menganggap agama adalah jalan kebenaran. Namun, ada saatnya ketika agama dianggap gagal memuaskan manusia dalam mencari kebenaran, sehingga terjadilah Renaissance dan Revolusi Industri. Pada masa ini, umat manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan memproduksi teknologi baru secara besar-besaran. Penalaran logis lebih populer dibandingkan agama kala itu.

Disatu sisi, sains yang dianggap menyediakan jawaban konkret ternyata bisa menemukan jalan buntu. Sains memiliki limit, beberapa kejadian di dunia ini sukar dijelaskan secara ilmiah. Misalnya. teori penciptaan bumi dan segala isinya menurut sains. Bagaimana bumi terbentuk dan terdapat kehidupan di dalamnya. Dalam konteks ini, agama dengan sangat jelas memberikan jawaban sederhana yang sukar didapatkan dalam sains, yaitu Tuhan-lah yang menciptakan.

Jika kita melihat masalah tersebut dengan bingkai dekonstruksi, maka dapat kita lihat bahwa tidak ada makna yang ideal. Agama yang dianggap memberikan kebenaran mutlak, ternyata tetap tidak bisa memuaskan rasa penasaran manusia. Di sisi lain, walaupun sains dianggap dapat menjawab semua pertanyaan manusia dengan memberikan jawaban yang dapat dibuktikan kebenarannya, ada kalanya sains menemukan jalan buntu.

Baca Juga  Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

Kemudian, perdebatan pengikutnya yang tidak pernah selesai, membandingkan mana yang lebih baik. Padahal, kedua hal tersebut harus berjalan secara sinkronis dalam sebuah harmoni. Tidak ada diantara keduanya yang lebih superior. Bahkan, Einstein dalam “Science and Religion,” Ideas and Opinions (1956) juga menolak perdebatan antara agama dan sains. “Science without religion is lame, religion without science is blind”. Nyatanya, teori dekonstruksi secara tidak langsung membangun sikap toleran dalam menghadapi perbedaan makna tersebut.

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswi Universitas Airlangga
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds