Perspektif

Jadi Islam Tak Perlu Jadi Arab!

4 Mins read

Islam merupakan sebuah agama terbesar di dunia yang diturunkan oleh Allah Swt melalui utusan-Nya, yaitu Nabi Muhammad Saw, yang secara kebetulan merupakan orang Arab. Dengan dakwahnya yang ramah bukan marah, Nabi Muhammad berhasil mengislamkan dataran Arab yang pada masanya disebut sebagai kaum bodoh (jahiliyah).

Berdasarkan laporan CNBC Indonesia, per-tahun 2024, total jumlah umat Islam di dunia hampir mencapai 2 Miliar. Dengan jumlah fantastis ini, menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia setelah agama Kristen.

Masih berdasarkan laporan CNBC, para peneliti dunia memprediksi agama Islam akan menjadi agama terbesar mengalahkan Kristen pada tahun 2050. Tentu capaian ini tak bisa dilepaskan dari jasa sang pembawa risalah Islam, Nabi Muhammad Saw. Dengan akhlak dan budi pekerti luhur sang Nabi, membuat miliaran manusia di muka bumi menjadi takjub hingga menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Swt.

Jadi Islam Tak Perlu Jadi Arab, Cukup Jadi Indonesia Saja!

Dari total 2 Miliar pemeluk agama Islam di dunia, 236 jutanya berasal dari Indonesia. Masih dalam laporan CNBC, Indonesia menjadi negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia setelah Pakistan. Total 84,35 % populasi masyarakat Indonesia memlih Islam sebagai pedoman hidupnya.

Jika dilihat pada kacamata sejarah, ada yang menarik dari proses penyebaran agama Islam di Indonesia umumnya, khusunya di pulau Jawa. Islam masuk ke Tanah Jawa diperkirakan sekitar abad ke-14 alias 1404 M. Salah satu dari sekian banyak yang memiliki kontribusi sangat besar dalam Islamisasi Pulau Jawa adalah Wali Songo.

Wali Songo adalah 9 orang ulama yang datang dari Timur Tengah. Ada juga yang menyebut dari Asia Tengah untuk berdakwah di Indonesia (saat itu namanya masih Nusantara). Ke-9 Ulama tersebut adalah Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Giri, Sunan Muria dan Sunan Gunung Djati.

Baca Juga  Menguasai Bahasa Arab itu Penting!

Mereka semua datang ke Pulau Jawa yang saat itu penduduknya masih memiliki kepercayaan kuat terhadap ajaran Hindu dan Budha. Meski berdakwah di tengah lautan masyarakat Hindu dan Budha, namun para Wali Songo sama sekali tidak mendapat pertentangan yang begitu keras dari pribumi saat itu.

Setelah diterima oleh masyarakat setempat, ajaran Islam yang dibawakan oleh Wali Songo langsung tersebar hampir ke seluruh Nusantara. Al-hasil, Jawa yang sebelumnya mayoritas Hindu dan Budha, kini berbalik menjadi mayoritas pemeluk agama Islam.

Keberhasilan dakwah sang Wali Songo tersebut tentu karena kecerdikan mereka dalam menyampaikan risalah Islam. Para Wali Songo saat itu sangat menghormati budaya dan adat istiadat setempat. Bahkan, mereka menggunakan budaya dan adat istiadat Nusantara sebagai media untuk mengajarkan agama Islam.

Al-hasil, karena dakwahnya yang ramah bukan marah, merangkul bukan memukul, membina bukan mencela, mengajak bukan mengejek, bisa membuat Nusantara saat ini jadi salah satu negara dengan populasi umat Islam terbesar di dunia.

Kritik Atas Paham Wahabi di Indonesia

Wahabi merupakan istilah untuk orang-orang Islam yang mengikuti pandangan seorang ulama kontroversial asal Arab Saudi yang lahir pada tahun 1971, Muhammad bin Abdul Wahab. Seiring berkembangnya waktu, Muhammad bin Abdul Wahab tumbuh sebagai ulama terkenal di wilayah Najed (kini namanya Arab Saudi).

Ia terkenal dengan karyanya yang berjudul “At-Tauhid” yang disinyalir sebagai buku induk Wahabisme. Wahabi dikenal oleh masyarakat luas dengan jargon dakwahnya “Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunah” dan perangi “Takhayul, Bid’ah dan Khurafat”. Jargon-jargon seperti ini seakan jadi kata pembukaan wajib dalam berbagai forum dakwah yang diadakan oleh kelompok tersebut.

Aliran Wahabi semakin eksis di Arab Saudi setelah mendapat legitimasi dari sang Raja Arab Saudi, Ibnu Suud. Seiring berkembangnya waktu, paham Wahabi selain dijadikan alat politik kerajaan, juga dijadikan sebagai paham tunggal atau mazhab resmi di negara tersebut. Karena pemikiran keagamaannya yang cenderung tekstualis, al-hasil wajah Saudi berubah menjadi negara yang konservatif lagi kaku.

Baca Juga  Gerakan Persyarikatan Atasi Problematika Ekonomi

Bagaimana tidak, sejak diresmikannya sebagai wajah baru Islam di Saudi, gerakan Wahabi telah merampas hak-hak kebebasan berpendapat, pengekangan terhadap perempuan, meratakan situs-situs bersejarah hingga makam-makan para sahabat dan tabi’in yang dianggap soleh.

Seiring berkembangnya waktu, paham Wahabi yang tidak sesuai dengan wajah Islam moderat tersebut terus berkembang ke berbagai dunia Islam, terutama Indonesia. Berdasarkan laporan majalah BBC, gerakan Wahabi pertama kali masuk ke Indonesia sejak abad 19. Paham ini dibawa oleh jamaah haji yang baru pulang dari Saudi ke kampung halamannya di Sumatera Barat.

Kedatangan paham tersebut ke Indonesia sama sekali tidak menimbulkan berkah. Justru dengan masuknya Wahabi ke Sumatera Barat memicu perang saudara antar internal umat Muslim di sana. Pasalnya, mereka datang tanpa permisi langsung membid’ahkan hingga mencap syirik tradisi lokal di Sumatera Barat.

Selain itu, pakaian-pakain adat Nusantara juga mereka bid’ahkan kemudian digantikan dengan gamis dan abaya yang merupakan budaya Arab. Tentu corak dakwah seperti itu sangat tidak arif jika diterapkan di Indonesia yang notabenenya negara majemuk.

Kini, paham wahabisme semakin beredar di Indonesia. Banyak dari kalangan anak muda yang tertipu dengan jargon wahabi “Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunah” dan ajaran salafussoleh. Banyak dari mereka yang terpapar paham Wahabi langsung mengubah pakaian mereka yang awalnya sarungan dan batikan menjadi gamisan dan celana cingkrang.

Selain itu, mereka juga langsung memanjangkan jenggot, mengharamkan musik, bahkan beberapa Wahabi akut sampai menyoal sistem tatanan pemerintah negara Indonesia. Bahkan, sebagian kaum muda yang hijrah ke Wahabi sampai berani menganggap syirik orang tua sendiri hanya karena melakukan ziarah kubur atau amaliyah umum lainnya yang kerap dilakukan masyarakat Indonesia.

Baca Juga  Menggagas Pendidikan Islam Emansipatoris

Melihat fenomena ini, penulis teringat perkataan Presiden Soekarno beberapa tahun silam. Beliau berkata begini, “Kalau jadi Hindu jangan jadi orang India, kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen jangan jadi orang Barat, tetaplah jadi orang Nusantara dengan adat-budaya Nusantara yang kaya raya ini”.

Perkataan Soekarno tersebut kita bisa mengambil pelajaran yang sangat berharga untuk beragama secara rasional, agar tetap bisa ber-islam tanpa harus menghilangkan identitas sebagai bangsa Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, Wahabisme pun mulai kehilangan tempat di Arab Saudi. Kesadaran tersebut dimulai oleh putra mahkota Kerajaan Saudi, Muhammad bin Salman. Dengan rasionalitasnya, Pangeran MBS mencetuskan proposal “Islam Moderat” di Arab Saudi.

Dengan kebijakan MBS tersebut, tidak sedikit warga Saudi yang merasa senang dan yakin jika MBS akan membawa modernitas Saudi serta menjadikan Saudi sebagai negara Islam yang sesungguhnya. Anehnya, Arab Saudi sebagai cangkang Wahabisme pun sudah sadar akan Islam yang sesungguhnya, Wahabisme Indonesia kapan?

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa UIN Syekh Nurjati Cirebon
Articles
Related posts
Perspektif

Islam Agama Kasih Sayang

1 Mins read
Islam mengajarkan kasih sayang dengan banyak cara; menebar salam, saling memberi makan,  menyambung silaturrahim, bahkan membalas kejahatan atau keburukan dengan kebaikan yang…
Perspektif

Paradoks: Salah Kaprah Memaknai Glorifikasi dan Kesederhanaan

4 Mins read
“Tempat paling berbahaya adalah tempat yang paling aman.” Kalimat di atas merupakan contoh sederhana untuk mengerti bagaimana atau apa itu paradoks. Secara…
Perspektif

Teknologi dan Inovasi Digitalisasi Pendidikan

4 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, digitalisasi pendidikan di Indonesia telah mengalami lompatan besar, terutama berkat berbagai inovasi yang diperkenalkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan,…

1 Comment

  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds