Lebaran atau Idul Fitri merupakan momen istimewa bagi umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Selain sebagai hari kemenangan setelah sebulan berpuasa, Lebaran juga menjadi ajang silaturahmi, saling memaafkan, dan mempererat tali persaudaraan (ukhuwah). Salah satu elemen penting dalam perayaan Lebaran adalah keberagaman jajanan tradisional yang tidak hanya menjadi hidangan khas, tetapi juga sarana merawat budaya, memperkuat ekonomi kerakyatan, dan merekatkan hubungan sosial.
Setiap kali bersilaturahmi ke tetangga, teman, atau saudara, saya selalu mencicipi kue tradisional yang disajikan. Terlebih jika sohibul bayt menceritakan bahwa jajanan tersebut adalah buatan sendiri. Terbayang bagaimana mereka mempersiapkannya dengan sepenuh hati untuk menyuguhkan hidangan tradisional. Biasanya rasanya memang lezat.
Mata saya menangkap berbagai jenis jajanan seperti sagon, madu mongso, tape, geplak, rengginang, jenang, lempeng ketan, juga buah-buahan hasil panen kebun sendiri. Favorit saya adalah pisang. Menikmati jajanan Lebaran menjadi momen yang selalu saya nantikan, di luar ibadah mahdhah seperti zakat fitrah dan salat Idul Fitri.
Makna Historis Budaya Jajanan Lebaran
Jajanan Lebaran memiliki akar historis, sosiologis, budaya, ekonomi, dan religius. Makanan seperti ketupat, opor, nastar, dan kue putri salju bukan sekadar camilan, melainkan simbol kebersamaan, warisan kuliner, dan penggerak roda perekonomian masyarakat.
Sejarah jajanan Lebaran di Indonesia tidak lepas dari akulturasi budaya lokal, Islam, dan pengaruh kolonial. Sejak Islam masuk ke Nusantara, tradisi hari raya dibawa oleh para pedagang dan ulama yang kemudian berbaur dengan kebiasaan masyarakat setempat.
Masyarakat Jawa, misalnya, memiliki tradisi membuat ketupat sebagai simbol kesucian dan permohonan berkah. Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo, mengadaptasi ketupat sebagai bagian dari syiar Islam sehingga makanan ini menjadi ikon Lebaran.
Beberapa kue Lebaran seperti nastar (dari ananas tart) dan kastengel (dari kaasstengel) menunjukkan pengaruh budaya Eropa. Proses akulturasi ini memperkaya khazanah kuliner Nusantara dan menjadikan jajanan Lebaran sebagai hasil percampuran budaya yang harmonis.
Perekat Sosial dalam Balutan Rasa
Dari sudut pandang sosiologis, jajanan Lebaran berfungsi sebagai alat pemersatu masyarakat. Beberapa hal yang mencerminkan hal ini antara lain:
- Tradisi mudik dan berkunjung ke rumah sanak saudara selalu disertai penyajian kue dan hidangan khas. Ini memperkuat ikatan sosial dan menciptakan rasa kebersamaan.
- Di beberapa daerah, jenis jajanan yang disajikan mencerminkan status sosial atau kekhasan budaya keluarga. Misalnya, keluarga Betawi terkenal dengan dodol dan kue semprong, sedangkan di Sumatra, lemang dan rendang menjadi hidangan wajib.
Proses Pembuatan yang Sarat Makna Simbolik
Jajanan Lebaran bukan sekadar makanan, melainkan bagian dari warisan budaya yang sarat makna. Misalnya, pembuatan ketupat melibatkan anyaman janur yang melambangkan kesalahan manusia yang terjalin rumit, sementara beras di dalamnya adalah simbol kesucian setelah berpuasa.
Setiap daerah memiliki jajanan khasnya masing-masing, antara lain:
- Jawa: kue lapis, kue mangkok
- Sumatra: bika ambon, sagon
- Sulawesi: kue cucur, barongko
Hal ini menunjukkan kekayaan kuliner Indonesia sekaligus menjadi penanda identitas kultural.
Menggerakkan UMKM dan Industri Rumahan
Jajanan Lebaran juga berdampak signifikan secara ekonomi, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah. Menjelang Lebaran, permintaan akan kue kering, camilan khas, serta bahan makanan pokok meningkat drastis di berbagai daerah. Ini menjadi momen penting bagi UMKM untuk meningkatkan kapasitas produksi dan meraih pendapatan tambahan dalam waktu relatif singkat. Tak jarang, penjualan selama periode Lebaran mampu menyumbang persentase besar dari pendapatan tahunan pelaku usaha kuliner rumahan.
Banyak usaha rumahan memanfaatkan momentum ini dengan menawarkan produk-produk kue dalam kemasan menarik dan beragam. Inovasi baik dari segi rasa maupun tampilan, seperti nastar keju, kue sagu pandan, hingga brownies kering dalam toples estetik, menjadi nilai jual yang menambah daya tarik di pasar. Selain itu, industri jajanan Lebaran juga turut menggerakkan sektor penunjang lainnya, seperti perdagangan bahan baku (tepung, gula, telur), kemasan makanan, percetakan label, hingga jasa logistik dan pengiriman.
Makanan Sebagai Ekspresi Ibadah dan Syukur
Dalam Islam, makanan tidak hanya sebatas konsumsi, tetapi juga bagian dari ibadah. Jajanan Lebaran umumnya dibuat dari bahan yang halal dan melalui proses yang bersih, sesuai syariat Islam. Dengan tetap menerapkan nilai dan juga prinsip Islam, maka makanan bukan sekadar hidangan semata, tetapi juga sebagai sebuah ekspresi ibadah kepada Tuhan sekaligus sebagai simbol rasa syukur atas karunia yang diberikanNya/
Tradisi saling mengirim makanan atau bertukar kue mencerminkan nilai sedekah dan kebersamaan yang diajarkan Rasulullah SAW. Menyajikan makanan yang enak dan beragam saat Lebaran adalah bentuk syukur atas rezeki setelah berpuasa selama sebulan penuh. Dengan makananan yang enak dan beragam, akan memberikan kesan warna warni lebaran yang penuh makna dan kesan positif.
Jajanan Lebaran Merawat Tradisi dan Menjaga Identitas
Jajanan Lebaran memiliki peran multidimensional: sebagai perekat ukhuwah Islamiyah, pelestari tradisi kuliner Nusantara, dan penggerak ekonomi kerakyatan. Dari perspektif historis, jajanan ini merupakan hasil akulturasi budaya yang kaya. Secara sosiologis, ia mempererat hubungan sosial. Dari sisi ekonomi, ia memberdayakan UMKM. Sementara nilai religiusnya mengajarkan umat Islam untuk bersyukur dan berbagi.
Melestarikan jajanan Lebaran bukan hanya tentang menjaga rasa yang autentik dan khas, tetapi juga tentang merawat identitas bangsa yang tercermin dalam keberagaman kuliner tradisional. Setiap jenis jajanan menyimpan nilai sejarah, cerita keluarga, serta filosofi hidup yang diwariskan secara turun-temurun. Lebih dari itu, pelestarian ini juga berkontribusi langsung dalam memperkuat perekonomian lokal melalui pemberdayaan usaha kecil dan rumah tangga. Dalam bingkai keislaman, tradisi membuat dan berbagi jajanan menjadi bentuk nyata dari nilai rahmatan lil ‘alamin—rahmat bagi seluruh alam—yang menekankan pentingnya kebersamaan, keberkahan, dan kepedulian sosial.
Oleh karena itu, pelestarian tradisi jajanan Lebaran tidak hanya penting untuk dikenang, tetapi juga untuk terus dilanjutkan oleh generasi muda sebagai bagian dari kearifan lokal yang hidup. Ini diharapkan menjadi bahan refleksi bersama akan pentingnya peran jajanan Lebaran dalam konteks sosial sebagai perekat ukhuwah, dalam konteks budaya sebagai warisan tak ternilai, dalam konteks ekonomi sebagai sumber penghidupan masyarakat, dan dalam konteks religius sebagai ekspresi rasa syukur dan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Editor: Assalimi