Rumi memiliki nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Ia lahir di Balkh pada tahun 604 Hijriah atau 1217 Masehi dan meninggal pada tahun 672 Hijriah atau 1273 Masehi di Qunyah.
Jalaluddin Al-Rumi dibawa oleh ayahnya ke Asia kecil sekitar umur empat tahun. Daerah ini dulunya dikenal dengan negeri Rum, itulah yang menyebabkan ia dinisbahkan namanya menjadi al-Rumi. Ayah Rumi merupakan seorang faqih penganut mazhab Hanafi. Ia digelari sebagai Sultan al-‘Ulama’ karena kedudukannya yang tinggi dan dikenal sebagai Sultan Walad, serta Bahauddin Walad. Disinyalir silsilahnya sampai kepada Abu Bakar al-Siddiq r.a.
Mulanya Rumi belajar kepada ayahnya, kemudian belajar kepada salah seorang sahabat ayahnya, yaitu Burhanuddin Muhaqqiq al-Timizi. Diriwayatkan oleh Jalaluddin Rumi sendiri bahwa ia pergi ke Syam atas saran gurunya tersebut. Rumi berangkat ke Syam pada tahun 630 Hijriah dan bermukim di sana selama setahun.
Di negeri Syam, ia memasuki sekolah al-Halawiyah yang berpusat di Halb. Di sekolah ini Rumi sempat berguru kepada Kamaluddin bin al-Adim. Dari Halb, ia pindah ke Damaskus dan di sana ia memasuki sekolah al-Muqaddasiyah. Di sekolah ini ia bertemu dengan Syekh Muhyiddin ibn ‘Arabi, Sa’aduddin al-Hamawi, Usman al-Rumi, Auhaduddin al-Karmani dan Sadruddin al-Qunawi.
Setelah Burhanuddin Muhaqqiq meninggal dunia, Rumi menggantikannya sebagai seorang guru di kota Qunyah. Dalam fase ini, ia menjadi seorang dai dan faqih. Ia juga belum menggubah puisi dan belum mengikuti suatu tarekat sufi.
Pertemuan Rumi dengan Muhammad bin Ali bin Malik Daad, yang dikenal dengan Syamsi Tabriz pada tahun 652 Hijriah inilah yang menjadi titik peralihan kehidupannya. Setelah pertemuan itulah Rumi beralih pada kehidupan asketis dan tasawuf, meninggalkan pekerjaan sebagai guru dan mulai menggubah puisi. Namun pada akhirnya ia lebih fokus pada penggubahan puisi sepenuhnya. Salah satu karya Rumi, Diwan Syamsi Tabriz, merupakan sebuah memorial untuk gurunya tersebut.
Jalaluddin Al-Rumi, Pendiri Tarekat Al-Jalaliah
Rumi dikenal sebagai pendiri tarekat sufi terkenal, yaitu tarekat al-Jalaliah atau al-Maulawiah. Tarekat ini sampai sekarang masih bisa ditemui di kawasan Turki dan Syria. Karya Rumi lainnya, yang terkenal adalah Al-Masnawi, yang sangat besar pengaruhnya sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa Persia, Turki. hingga bahasa Arab.
Rumi juga dikenal sebagai sufi yang menganut aliran kesatuan wujud. Sebagaimana sufi-sufi sebelumnya yang sealiran, pahamnya ini didasari atas teori fana’, seperti yang tertulis dalam riwayat berikut:
“Apakah makna ilmu tauhid? Hendaklah kau bakari dirimu di hadapan Yang Maha Esa. Seandainya kau ingini cemerlang bagai siang hari, bakarlah eksistensimu (yang gelap) seperti malam, dan luluhkan wujudmu dalam Wujud pemelihara wujud, seperti luluhnya tembaga dalam adonannya. Dengan begitu engkau bisa mengendalikan genggamanmu atas “Aku” dan “Kita”, dimana semua kehancuran ini tidak lain timbul dari dualisme.’
Menurut Rumi, kata “Aku” yang diucapkan seorang sufi dalam keadaan fana’ tidak diisyaratkan untuk dirinya sendiri, karena terdapat perbedaan kata “Aku” yang diucapkan untuk menekankan pribadi kemanusiaan dan kekaguman padanya dengan kata “Aku” yang diucapkan untuk mengisyaratkan Dzat Ilahi. Yang pertama merupakan laknat dan yang kedua merupakan rahmat.
Jalaluddin al-Rumi juga berpendapat tentang adanya Nur Muhammad atau Al-Haqiqah al-Muhammadiyah yang menjadi dasar ma’rifat semua nabi ataupun wali. Hal ini dikemukakannya dalam Al-Masnawi, juga di dalam Diwan Syamsi Tabriz, sebagaimana tergambar dalam puisinya sebagai berikut:
Dalam suatu bentuk muncul keindahan sekejap
Ia pun lekat dalam kalbu dan terus lenyap
Dalam paket baru ‘sahabat’ itu muncul di tiap jiwa
Terkadang tua renta dan terkadang muda belia
Itulah roh yang menyelam ke berbagai makna
Ke jantung tanah liat ia mengaram
Lihatlah! Ia keluar dari kebebasan tanah dalam
Dalam wujud ia pun ada
Terkadang muncul dalam bentuk Nuh maupun dunia
Bahkan karam lewat doanya
Sementara ia selamat lewat kapalnya
Terkadang muncul dalam bentuk Ibrahim, dalam api nyala
Jadi air demi dirinya
Lalu ia pun hadapkan wajahnya ke bumi beberapa lama
Agar yang dilihatnya dinikmati pemirsanya
***
Dari lariknya di atas, tampak jelas bahwa Rumi adalah seorang penyair yang begitu diliputi perasaan cinta, yang menghantarkannya kepada kefanaan ataupun penyaksian kesatuan. Menurut Rumi cinta adalah cahaya kehidupan dan nilai kemanusiaan.
Sesungguhnya cinta itu kekal; jadi harus diberikan kepada yang kekal pula. Ia tidak pantas diberikan kepada yang ditakdirkan fana’ atau binasa. Sesungguhnya cinta itu mengalir dalam diri orang yang dilaluinya, seperti darah. Jika cinta diletakkan pada tempatnya yang sesuai, ia laksana matahari yang tak kunjung tenggelam; atau bagai bunga indah yang tak bakal layu. Oleh karena itu carilah cinta suci yang abadi, cinta yang akan memusnahkan segala sesuatu, yang mampu menyegarkan rasa dahagamu. Menurut Rumi, kandungan cinta yang seperti inilah yang pernah dirasakan oleh para nabi terdahulu.
Editor: Yahya