Dalam beberapa hal, Kota Solo dikenal sebagai ‘kandang laskar’. Solo memang kota yang majemuk. Ada Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan lain-lain. Di kalangan Islam, ada NU, Muhammadiyah, Syiah, kelompok anti-Syiah, FPI, dan lain-lain. Kristen dan Katolik juga terdiri dari berbagai macam kelompok.
Salah satu kelompok yang menguat belakangan di Solo adalah kelompok konservatisme Islam. Kelompok ini tidak hanya tumbuh di Kota Solo, namun juga menyebar ke kabupaten penyangga di sekitarnya. Seperti Kabupaten Sukoharjo.
Dalam konteks itu, lahir seorang aktivis Muhammadiyah yang berani menyuarakan sikap yang berbeda. Ia adalah Ninin Karlina. Ninin, di masa muda, hanyut dalam pemikiran konservatisme. Namun, belakangan, seiring dengan meluasnya pergaulan, ia berubah. Ia menjadi pembela toleransi, pluralisme, dan Islam yang berkemajuan.
Pilihan tersebut ia bayar dengan mahal. Di tengah lingkungan yang tidak menghargai kemajemukan, ia mendapatkan banyak perlakuan yang tidak menyenangkan. Meskipun masih dalam lingkup lokal, persekusi yang didapatkan sama dengan tokoh-tokoh penganjur toleransi lain di tingkat nasional seperti yang kita lihat di berbagai media.
Biografi Ninin Karlina
Ninin Karlina lahir di Sukoharjo pada 21 Juli 1988. Ia mengawali pendidikan di SD Muhammadiyah Wonorejo. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Modern Imam Syuhodo. Ia meraih gelar sarjana dari Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan prodi perbandingan agama.
Awalnya, ia adalah pegiat debat agama yang selalu mencari kebenaran Islam dan kesalahan agama lain, terutama Kristen. Ia mengikuti berbagai macam pelatihan tentang hal tersebut. Melalui berbagai pelatihan itu, ia bertemu dengan mentor-mentor yang jeli sekali melihat kesalahan agama Kristen.
Salah satu mentor yang membekas di ingatannya adalah seorang muslimah muallaf mantan pendeta. Muallaf tersebut ia anggap sebagai sosok cerdas yang mengetahui seluruh kesalahan agama lamanya.
Minat akan debat agama itu tidak hanya menjadi minat angin lalu. Ia begitu serius. Ia didukung oleh lingkungannya untuk menjadi ‘penyerang’ agama Kristen dan ‘penyerang’ misi misionaris. Ia memutuskan masuk ke prodi perbandingan agama dalam rangka memperkuat kemampuannya dalam mencari kesalahan agama lain tersebut.
Ia anggap menyalahkan agama lain berarti memperkuat aqidahnya sendiri. Bahkan, ia pernah menginjak Injil dalam sebuah pelatihan yang ia ikuti.
Namun, seiring berjalannya waktu, ia semakin merasakan kegelisahan. Ia merasa menjadi sering marah dan tidak suka terhadap kelompok dan agama lain. Ia merasa Islam yang ia anut justru mengajarkan kebencian dan prasangka. Prasangka bahwa agama dan kelompok lain selalu salah.
Sementara agama dan kelompoknya sendiri adalah yang paling benar. Sehingga berhak menyalahkan agama dan kelompok lain.
Karena merasakan kegelisahan, ia terus belajar dan mencari kebenaran agama Islam, bukan lagi mencari kesalahan agama lain. Ia aktif mengikuti berbagai kegiatan keagamaan. Salah satu kegiatan yang mengubah kepribadian dan pemikirannya adalah pertemuaannya dengan Peace Generation melalui program Sekolah Cerdas pada tahun 2016.
Ia menyebut pertemuaannya dengan Irfan Amalee sedikit banyak mempengaruhi dirinya. Irfan Amalee adalah tokoh perdamaian, pendiri Peace Generation. Ninin dan Irfan sama-sama kader Muhammadiyah.
Sejak saat itu, Ninin aktif di Peace Generation. Pada tahun 2019, ia dipercaya sebagai Direktur Peace Generation Solo. Ia juga mengikuti berbagai kegiatan yang memperkuat toleransi dan perdamaian. Ia mulai menyambangi tokoh-tokoh kelompok minoritas seperti Syiah, Ahmadiyah, dan lain-lain di Solo.
Ia kemudian menjadi dai milenial yang selalu menyuarakan pentingnya toleransi dan perdamaian.
Dalam hal akademik, ia aktif di Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSBPS) Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pusat studi tersebut dikenal sebagai pusat studi yang getol mengkampanyekan Islam toleran dan damai.
Selain menjalin hubungan dengan aktivis dan tokoh lintas iman, ia juga aktif turun di berbagai kegiatan kebencanaan. Bersama dengan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Jawa Tengah, ia mendampingi psikologi korban bencana di berbagai daerah.
Sayang, sekali lagi, pilihan untuk menjadi aktivis dan dai yang menyerukan toleransi dan perdamaian itu harus dibayar mahal. Dalam sebuah artikel, Ninin menulis:
“Perjalanan mengajarkan perdamaian dan Islam yang rahmah memang tak selalu berjalan mulus sesuai harapan. Ada kelompok yang terus menyerang dengan lantang berteriak di banyak grup WhatsApp dan medsos lainnya. Mereka menyebut saya sebagai corong kafir Barat, si gender keblinger yang pemikiran dan gerakannya harus dicegah. Bahkan ketika saya mencoba mengajak berdiskusi dengan baik tapi justru muncul kata-kata `lakum dinukum waliyadin`. Secara tidak langsung mereka mengatakan saya murtad dan perempuan penganut feminis Barat.”
Namun, ia tak luruh. Ia mampu membuktikan ke orang-orang di sekitar bahwa ia tak gentar menghadapi semua cercaan itu. Berkat kerja kerasnya di dunia perdamaian, ia diganjar dengan berbagai penghargaan. Antara lain Agent of Peace of The Year tahun 2019 dan pemenang Audisi Talent Iklan Layanan Masyarakat untuk Pusat Pendidikan Karakter Kemendikbud tahun 2021.
Ia juga menjadi peserta International Visitor Leadership Program (IVLP): Empowering Muslim Women as Peacemakers and Agents of Change tahun 2021. Program tersebut berisi semacam pertukaran aktivis Indonesia dengan Amerika.