Salah satu tujuan utama bagi jamaah Haji yang tiba di Madinah adalah Raudah. Suatu tempat istimewa di Masjid Nabawi yang terletak di antara makam Nabi Muhammad Saw dengan mimbar yang biasa digunakan oleh Nabi SAW untuk berkhutbah. Hal ini sebagaimana dalam hadis:
ما بين بيتي ومنبري روضة من رياض الجنة
“Antara rumahku dan mimbarku adalah taman (raudhah) dari taman-taman surga”.
Hadis hasan gharib ini diriwayatkan At Tirmidzi dari Ali bin Abi Thalib dan Abu Hurairah. Dengan hadits ini, raudah dianggap memiliki nilai keutamaan. Bagi yang salat di sana seakan telah duduk di taman surga. Karenanya berpahala banyak. Sebagaimana keutamaan shalat di masjid Nabawi yang lain dilipat-gandakan pahalanya 1000 kali lipat dibandingkan salat di masjid lain kecuali Masjidil Haram.
Di raudah banyak jamaah yang melakukan shalat fardhu, shalat sunnah, i’tikaf, berdzikir atau membaca Al Qur’an dengan harapan pahala yang berlipat dan mendapatkan syafaat Rasulullah SAW.
Haruskah Lansia Datang Langsung ke Raudah?
Dalam kondisi normal, kondisi fisik kuat dan situasi masjid Nabawi tidak berdesakan, maka jamaah lansia dapat berziarah langsung. Akan tetapi, jika kondisi jamaah lansia atau sakit resiko tinggi, hendaknya tidak memaksakan diri ke raudah atau makam Nabi.
Dalam kaidah fikih ada istilah “Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil masholih”. Artinya, mencegah kerusakan lebih utama daripada meraih kebaikan. Dalam kasus ini, menghindari sakit dan resiko fisik jauh lebih diutamakan daripada keinginan mengejar pahala berlipat di raudah maupun keinginan ziarah. Jadi, jamaah haji perlu mengutamakan menjauhi kemafsadatan daripada mengambil kebaikan.
Lalu bagaimana dengan keinginan untuk melakukan penghormatan pada Nabi Muhammad SAW? Pada dasarnya, melakukan penghormatan kepada Nabi ini tidak hanya dengan datang langsung ke makamnya. Yang terpenting adalah bacaan salawat yang dibaca para jamaah kapan saja dan di manapun berada. Dalam hal ini Nabi bersabda:
لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا ، وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا ، وَصَلُّوا عَلَيَّ ، فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
“Janganlah jadikan kalian kuburanku sebagai hari raya (tempat yang selalu didatangi). Dan bacalah shalawat untukku, karena shalawat yang kalian baca akan sampai kepadaku di manapun kalian berada.” (HR. Abu Daud).
Siapapun membaca salawat dan di manapun tempatnya, salawatnya akan dijawab oleh Rasulullah SAW.
ما من أحد يُسَلِّمُ عليَّ إلا ردَّ الله عليَّ روحي حتى أرُدَّ عليه السلام
“Setiap ada seseorang yang mengucapkan salam kepadaku, pasti Allah mengembalikan ruhkku agar aku dapat menjawab salamnya.” (HR. Abu Daud).
Jadi, ke raudah dan berziarah ke makan Muhammad Saw bagi jamaah haji hukumnya adalah sunah, bukan wajib. Secara fikih, jika jamaah tidak melakukannya tidak akan mendapatkan dosa.
Ziarah ke Makam Nabi: Sunnah
Khalil bin Ishaq bin Musa, dalam kitab Manasik al-Hajj ‘ala Madzhab Sayyidina Malik, menyebut hukum berziarah ke makam Nabi adalah sunah, bukan wajib. Anjuran berziarah ke makam Nabi salah satunya dilandasi dari sebuah hadits Nabi sebagai berikut;
عن بن عمر قال قال رسول ل الله صلى الله عليه وسلم: من زار قربي وجبت هل شفاعيت
Artinya: “Dari Ibnu ‘Umar RA berkata, Rasulullah SAW bersabda; Barang siapa berziarah ke makamku niscaya dia mendapat syafa’atku (HR. Dar al-Quthni).
Lebih tegas lagi, disebut dalam riwayat Ibn ‘Adi, bahwa jemaah haji yang tidak berziarah ke makan Rasulullah sama saja dengan benci kepadanya. Rasulullah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم، من جح البيت ولم يزورني فقد جفاني
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda; Barang siapa beribadah haji ke Baitullah tetapi tidak pergi mengunjungi aku maka ia telah benci kepadaku.”
Jamaah haji harus berorientasi pada tujuan utama, yaitu menunaikan ibadah haji. Tidak ke raudah dengan niat menyiapkan kesehatan untuk menghadapi puncak haji tidak akan mengurangi nilai dan pahala kemabruran ibadah haji. Amalan sunah ini dapat dilakukan saat jemaah berada di hotel atau pemondokan dengan memperbanyak salawat kepada Nabi SAW.
Editor: Azaki/Yusuf