Materialistik— Beberapa hari yang lalu di media yang sama, saya sedikit mengemukakan gagasan saya tentang belum berkarakternya pendidikan formal kita. Kemudian di tulisan berikut ini saya mencoba untuk meluapkan sekilas mengenai keresahan saya, yang keresahan ini sudah lama saya rasakan semenjak di bangku SMA (Sekolah Menengah Atas).
Keresahan mengenai, tentang “untuk apa sebenarnya kita di didik”. Selalu kita sebagai seorang murid hanya terpaku pada ekspresi seorang pendidik yang disana hanya menjelaskan tentang bahagianya mendapatkan nilai yang bagus. Seakan-akan nilai itu menjadi tujuan mereka dalam menuntut ilmu. Kalau hanya sebatas itu saja, maka pembentukan karakter pada peserta didik tidak akan terwujud.
Pendidikan banyak sekali dalam penafsirannya, bila dikonversikan ke dalam bahasa arab, pendidikan itu memiliki banyak sekali makna salah satunya adalah tazkiyah suatu proses penyucian atau biasa dalam kitab yang ditulis oleh Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah itu ada namanya, kitab tazkiyah nafs yaitu proses penyucian jiwa.
Pendidikan, secara linguistik berasal dari kata “didik” artinya, memberi, memahami, mengawasi. Seseorang yang memberikan sebuah pemahaman untuk mengedukasi para peserta didiknya itulah yang disebut sebagai pendidikan. Apa yang seharusnya diberikan oleh seorang pendidik kepada peserta didiknya, yaitu wawasan khazanah ilmu pengetahuan yang luas disertai pembelajaran akhlak yang dimana itu membentuk karakter dari seorang murid.
Berbicara mengenai pendidikan, pendidikan adalah hal yang sangat fundamental dan menjadi poros peradaban generasi muda untuk menentukan nasib suatu bangsa. Sebab generasi penerus bangsa akan ditempa di sekolah-sekolah yang disitu akan diberi pemahaman mengenai akhlak dan tingkat moral yang beradab.
Tetapi sayangnya budaya dari sekolah-sekolah kita masih belum bisa sepenuhnya menerapkan pendidikan secara moralitas. Instansi-instansi pendidikan masih berpatokan bahwa “nilai yang bagus pada setiap peserta didik dalam ujian” itu bisa meningkatkan elektabilitas sekolah-sekolah yang di memiliki akreditasi dibawah standar kompetensi.
Menjadi Materialistik
Seperti itulah bentuk budaya dari sekolah kita, dari dulu hingga masa yang disebut milenial kini budaya pendidikan materialistik tersebut masih belum dihilangkan. Dari dulu hingga sekarang kita selalu diajari oleh guru-guru kita untuk menjadi seorang murid yang materialistik. Dari dulu kita selalu diajari untuk mendapatkan nilai-nilai yang bagus tapi minim moral yang budi pekerti.
Kenapa saya berani mengatakan seperti itu, karena masih banyak sekolah yang memberikan dogma kepada para peserta didik mereka, “nanti ketika kamu dapat nilai bagus, kamu bisa masuk di PTN yang kamu mau.” Dari sejak kita duduk di bangku sekolah dasar hingga bangku sekolah menengah atas, doktrin bahwa “nilai bagus” itu bisa menjamin mereka bisa masuk ke sekolah-sekolah favorit.
Jika memang tidak demikian, seharusnya tidak ada klasifikasi sekolah favorit dan tidak favorit, bahkan seharusnya jika seorang murid belum memiliki nilai yang bagus tetapi memiliki akhlak yang baik kepada guru, seharusnya yang seperti itu bisa masuk dalam sekolah favorit. Karena bila hanya sekedar nilai itu bisa di manipulasi, tetapi akhlak itu tidak bisa di manipulasi.
Kondisi inilah yang menyebabkan banyaknya terjadi penyimpangan terhadap arus pembentukan karakter murid di Indonesia, dimana pendidikan itu seharusnya membentuk untuk menjadika siswa memiliki perangai akhlak yang mulia dan budi pekerti luhur, justru kini pendidikan hanya di bentuk untuk menjadikan seorang peserta didik menjadi orang yang dididik dari masa ia dini hingga dewasa menjadi seorang yang materialistik dalam pendidikan.
Padahal Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan saat beliau diundang dalam acara pelantikan Rektor Universitas Indonesia yang baru, waktu itu beliau mengatakan, “Kita memasuki zaman dimana gelar tidak menjamin suksesnya kompetensi, dan juga akreditasi tidak menjamin mutu kualitas sekolah tersebut.”
Kurangnya Penanaman Moral
Zaman kini, terminologi pendidikan yang mengajarkan tentang pentignya belajar akhlak, berperilaku yang baik kepada guru itu semua perlahan sudah mulai hilang, sehingga yang tertanam dalam dogma para peserta didik hanyalah esensialitas terhadap “nilai”, jadi mereka pergi sekolah hanya untuk mendapatkan “nilai”.
Padahal proses setiap orang dalam mencari ilmu tujuan sebenarnya adalah untuk menjadi orang yang berbudi pekerti luhur, menjadi orang yang baik, bila hanya sebatas mencari nilai dalam mengerjakan soal itu adalah permasalahan yang sebenarnya semua orang bisa, tetapi menjadi peserta didik yang beradab belum tentu semua bisa.
Dalam undang-undang yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 3 berbunyi, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.
Tujuan Pendidikan
Pemerintah Indonesia harus bersikap andil dalam perumusan pasa 31 ayat 3 tadi, bahwa tujuan yang sebenarnya dalam pendidikan adalah terwujudnya 3 aspek, pertama aspek keimanan, kedua aspek ketakwaan, ketiga aspek moral yang baik atau berkahlak mulia. Jika masih ada sebuah Lembaga pendidikan yang menghiraukan tiga aspek diatas, maka harus ditindak lanjuti, jangan sampai ada miskomunikasi dari pemerintah dengan lembaga-lembaga pendidikan yang terkait.
Tujuan yang terpenting dalam pendidikan adalah bukan hanya untuk mencari nilai diatas kertas kemudian di legalisir, bukan hanya sekedar lulus kemudian mendapat pekerjaan, tetapi proses pendidikan itu harus kita lalui agar kita bisa menjadi orang yang baik. Baik kepada Orang Tua, kepada Bapak Ibu Guru dan baik kepada dirinya sendiri.
Maka untuk terciptanya tiga aspek yang belum dijalankan secara maksimal, para komoditas sekolah harus bisa saling membaur, berkolaborasi membentuk suasana sekolah yang jernih, tanpa ada unsur keberpihakan. Dan kuncinya ada pada peran sekaligu bimbingan dari Guru. Guru itu disebut sebagai orang yang memiliki wawasan tinggi nan bijaksana atau al-hikmah artinya mempunyai sifat yang bijaksana.
Ekosistem penanaman moral yang baik kepada setiap para peserta didik dapat membantu menumbuhkan sikap dewasa dan melahirkan individu yang memiliki sikap kompeten dan rasa tanggung jawab yang tinggi, penuh dengan rasa senang yang memiliki integritas moral dalam setiap implementasinya.
Pendidikan yang baik akan melahirkan generasi yang baik juga, sebaliknya jika dari awal hanya di didik hanya sebagai formalitas saja, “datang, masuk, mengerjakan soal, pulang” sama saja kita menghilangkan budaya pendidikan akhlak yang seharusnya ada dalam sekolah.
Tujuan dari pendidikan bukan hanya membentuk peserta didik yang hanya terpaku pada nilai diatas secarik kertas saja, tetapi pendidikan lebih daripada itu, yaitu juga menumbuh kembangkan kembali aspek-aspek yang selama ini hilang dari peradaban sekolah kita, yaitu akhlak dan adab.