Kembali, kasus Covid-19 menunjukan angka yang tinggi. Pemerintah pun turun tangan dengan mengambil kebijakan dengan memberlakukan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat (PPKM) Darurat, hampir seluruh kegiatan masyarakat kembali di rumahkan (Work Form Home).
Jumlah lebih dari tiga puluh satu ribu kasus dalam sehari merupakan suatu keprihatinan, sehingga berbagai komponen bahu-membahu turut serta untuk berusaha memutus penyebaran virus.
Tidak hanya Pemerintah, Persyarikatan Muhammadiyah yang sedari awal pandemi fokus dalam mengatasi dan menanggulangi penyebarannya, memberikan segenap apa yang di miliki. Bukan hanya amal usaha seperti Rumah Sakit saja, namun juga dana hingga ratusan milyar digelontorkan untuk membantu para korban, dan juga warga yang terdampak.
Di awal pandemi tahun lalu, kita mendengar istilah “Indonesia Terserah”, sebuah ungkapan untuk warga Indonesia yang masih banyak yang abai terhadap protokol kesehatan. Sehingga seakan-akan tak peduli dan sesuka hati melakukan sesuatu, padahal di sisi lain, para tenaga kesehatan (nakes) berjuang mengatasi pandemi.
Selain itu, juga muncul istilah-istilah lain, seperti Covidiot, hingga Herd Stupidity. Namun, Muhammadiyah sebagai organisasi yang memiliki peran besar dalam menangani pandemi di Indonesia, cukup menyedihkan ketika terdapat hal yang miris yang berasal dari tubuh mereka sendiri.
Mengingat Maklumat tentang salat Id pada perayaan Idulfitri tahun 1441 H lalu, PP Muhammadiyah memberikan himbauan kepada seluruh jamaahnya disetiap tingkatan, untuk tidak melaksanakan salat id di tanah lapang atau lapangan terbuka.
Ini dilakukan sebagai salah satu ikhtiar dari Muhammadiyah untuk menjaga anggota, warga, dan juga pimpinan agar tidak menyebabkan penyebaran virus Covid-19.
Kesolidan Muhammadiyah Diuji
Tetapi, tak sedikit warga Muhammadiyah dan pimpinan di beberapa tempat masih mengadakan salat id, hal ini tentunya membuat kita sedikit kecewa karena seakan mengabaikan apa yang menjadi instruksi dari organisasi. Selang setahun sudah, kembali ke hari raya Idulfitri, hingga menjelang Iduladha 1442 H.
Permasalahan ini masih menjadi perbincangan dan diperdebatkan oleh sebagian dari mereka para pimpinan terutama di tingkatan grassroot (akar rumput), hal yang seharusnya tidak perlu dipertentangkan, dijadikan bahan debat, tetapi entah kenapa masih saja ada dari pimpinan dan warga Muhammadiyah yang tidak taat terhadap kebijakan dan keputusan organisasi di masa pandemi.
Seakan Muhammadiyah sedang diberikan ujian kesolidan jamaahnya, namun melihat berbagai artikel dan pernyataan dari Pimpinan Pusat. Berkali-kali sudah menegaskan dan memastikan bahwa langkah yang diambil Muhammadiyah sudahlah bijak dan sesuai tuntunan, serta memiliki dasar (kredibilitas) yang kuat.
Maka, akan menjadi sesuatu yang miris ketika korban meninggal serta kasus positif Covid-19 di Indonesia menunjukan angka kenaikan, disertai beberapa varian virus yang sudah banyak ditemukan dan memiliki tingkat penularan yang cepat.
Namun, pimpinan di beberapa tingkatan memiliki keegoisan tersendiri. Kenapa saya sebut keegoisan? Karena sudah jelas dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah, setiap dari kita yang menjadi bagian Muhammadiyah, sudah sepatutnya mengikuti garis kebijakan Persyarikatan.
Hingga Prof. Haedar Nashir, menganggap bahwa hal ini terjadi karena masih ada sebagian kecil warga Persyarikatan yang tidak memahami cara Muhammadiyah memandang realitas yang terangkum dalam sistem bernama Bayani (dalil), Burhani (Ilmu Pengetahuan), dan Irfani (hikmah).
***
Bukankah ini suatu yang miris? Padahal, dalam berorganisasi itu prinsipnya adalah taat terhadap keputusan yang ada. Meski, didalam Muhammadiyah tidak ada paksaan, termasuk masuk kedalam Muhammadiyah pun tidak ada paksaan.
Tetapi, ketika kita sudah memilih menjadi Muhammadiyah, maka mengikuti keputusan Persyarikatan bukan hanya untuk menghargai Muhammadiyah, tetapi juga menghargai diri kita sendiri.
Prof. Abdul Mu’ti pun menyampaikan hal yang sama,”Jika saat ini masih bersepakat dengan Muhammadiyah maka harus bersetuju dengan faham Muhammadiyah, sebagaimana yang tertuang dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah di bagian awal. Maka kunci dari bermuhammadiyah adalah sukarela, termasuk dalam berislam pun sama. Serta yang harus dimiliki ketika bermuhammadiyah adalah semangat berjamaah, bersepakat dengan kepemimpinan yang amanah di semua level kepemimpinan, dan harus memiliki ketaatan atas dasar sukarela.”
Pertanyaannya, ketika kita masuk kedalam Muhammadiyah dengan sukarela, lalu kenapa kita berat dalam mengikuti keputusannya? Atau kita masuk Muhammadiyah karena tujuan lain? Tentunya yang bisa menjawab pertanyaan ini adalah diri kita masing-masing, yang jelas jangan sampai kalimat sami’na wa atho’na cuma menjadi ucapan, jangan hanya menjadi nyayian. Bukankah dalam Bermuhammadiyah adalah jalan penghambaan kepada Ilahi Robbi?
Tepis Ego, Mari Kembali ke Muhammadiyah!
Sebagaimana yang disampaikan oleh Ustadz Fathurrahman Kamal, fatwa dan keputusan Muhammadiyah terkait panduan ibadah, salat id, dan qurban, bahkan sejak idulfitri 1442 H lalu jelas memiliki kredibilitas. Ini jelas, maka yang sulit adalah melawan diri kita sendiri, keegoisan diri kita, sehingga kita menolak dan abai terhadap maklumat dari Persyarikatan.
Muhammadiyah yang sedari awal konsern terhadap penanganan pandemi ini, jangan sampai kita nodai dengan hawa nafsu kita. Apalagi kalau kita menduduki jabatan sebagai pimpinan, entah di wilayah, daerah, cabang bahkan ranting. Mari kita kembali menjadi Muhammadiyah yang seutuhnya, merapatkan barisan mengikuti kebijakan Persyarikatan. Kalau bukan kita, lalu siapa lagi yang akan mematuhinya? Jangan korbankan Muhammadiyah dan mungkin kesehatan kita hanya demi ego yang ada dalam diri, pandemi ini butuh kesolidan kita, jangan malah melemahkan keputusan yang ada.
Saya sendiri pun setahun lalu di cap sebagai pembuat gaduh karena mensosialisasikan maklumat PP Muhammadiyah terkait Ramadhan dan Idulfitri 1441 H. Namun, saya anggap itu semua sebagai langkah komitmen dalam Bermuhammadiyah, bukankah KH. Ahmad Dahlan dulu dibenci satu kampung, lalu kemudian banyak yang mengikuti?
Saya yakin, Ayahanda di Pimpinan Pusat mengetahui dan mendengar adanya warga Persyarikatan yang mungkin juga ada Pimpinan (entah Ranting, Cabang, Daerah, atau bahkan Wilayah) yang tidak mengikuti Maklumat yang ada. Jadi, baiknya Ayahanda di PP Muhammadiyah mengadakan dan melakukan koordinasi, terutama bagi ditingkatan Ranting.
Yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Agar dapat kembali menyolidkan gerakan, merekatkan kebersamaan, dan yang terpenting, menjaga komitmen dalam berorganisasi, dalam Bermuhammadiyah. Biar tidak saling berbeda-beda, meski saya yakin Muhammadiyah menghormati perbedaan pendapat, tapi ini bukan hanya soal itu, ini tentang kesolidan dalam organisasi.
Mungkin ada sebagian pembaca yang jengkel dengan tulisan saya ini, namun saya rasa, marilah bapak-bapak di Ranting, Cabang, Daerah, sampai Wilayah membuka hati. Menyadari bahwa pandemi ini benar-benar mengancam kehidupan manusia, selain itu, bapak Pimpinan Ranting, Cabang, Daerah, bahkan Wilayah, yakinkanlah dalam diri ayahanda.
***
Bahwa apa yang disampaikan oleh Muhammadiyah melalui maklumat dan surat edarannya, merupakan sesuai yang baik dan sesuai syariat di kondisi darurat. Sehinga Pimpinan Muhammadiyah dari Pusat sampai Ranting kembali memiliki hubungan yang erat. Serta konsistensi dalam berorganisasi, agar tidak ada istilah Muhammadiyah Terserah seperti Indonesia Terserah.
Karena sesungguhnya dalam berorganisasi dan jika kita sudah memilih untuk masuk didalamnya, maka kita wajib mengikuti. Muhammadiyah berhak membuat fatwa dan maklumat, dan kita yang merasa menjadi bagian darinya, mempunyai kewajiban untuk mentaati.
Ulama-ulama di Pimpinan Pusat Muhammadiyah sudah mempunyai dan memiliki kapasitas yang mumpuni, kenapa kita meragukannya? Jika ragu, mungkin bisa jadi perlu dipertanyakan apa maksud dan tujuannya masuk ke dalam Muhammadiyah. Memang benar kata Jendral Sudirman, berat jadi orang Muhammadiyah. Namun kalau ragu dan bimbang, bukankah lebih baiknya nurut fatwa dan Maklumat Persyarikatan?
Editor: Rozy