Jangan Salah Pilih Ulama dan Umara! Setiap kelompok manusia haruslah memiliki seorang pemimpin. Seseorang yang kuat, pintar, dan cerdas memahami situasi dan kondisi. Minimal, ada nuansa lebih unggul dibanding dengan yang lain.
Pentingnya keberadaan seorang pemimpin, hingga ada perintah dari Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW. Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59, Allah SWT bersabda,
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (Pemimpin) di antara kamu sekalian…” (QS. An-Nisa: 59)
Dalam tafsir Ibnu Katsir, Ulil Amri tersebut adalah memegang pemeran Ulama (memiliki ilmu) dan Umara (memiliki kekuasaan). Kedua-duanya ini memang memegang peranan penting dalam perjalanan manusia. Ulama dengan memberikan ilmu agar manusia paham dengan segala isinya. Umara dengan memberikan rasa aman kepada manusia.
Kemudian dalam hadis Rasullullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, mengenai kewajiban suatu kelompok memiliki seorang pemimpin. Tertulis,
“Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang diantaranya menjadi seorang pemimpin.” (HR. Abu Dawud)
Jika merujuk pada hadis tersebut, maka sangat penting adanya pemilihan salah satu anggota kelompok untuk dijadikan pemimpin. Walaupun hanya tiga orang saja, diberi kewajiban memilih. Apalagi dengan orang yang jumlahnya banyak.
Kriteria Pemimpin yang Cakap
Memilih pemimpin jelas tidak semudah memilih payung. Semua kriteria dari ideal sampai khusus sudah dijelaskan dalam Qur’an dan hadis. Namun, ada yang lebih utama, yaitu kecakapan menjadi pemimpin.
Tidak bisa mengutamakan kepribadian terlebih dahulu di atas kecakapan pemimpin. Ini yang sering kebolak-balik dalam pemilihan pemimpin. Bukan berarti kepribadian seseorang tidak penting. Seperti rajin sholat di masjid, rajin puasa sunnah, hormat ke orang tua, dan lain sebagainya. Semua itu adalah faktor pendukung untuk memilih pemimpin.
Memang tidak ada pemimpin yang sempurna. Tapi setidaknya, kecakapan dalam memimpin sebuah kelompok maupun institusi haruslah dimilikinya. Agar siapapun yang dipimpinnya merasakan aman dan nyaman. Bukan hanya diberi konsumsi kata-kata bijak, maupun kepribadian yang baik yang dia contohkan.
Begitu pula memilih ulama. Jangan asal hanya mendengar dan mengetahui seseorang dari lulusan Timur Tengah, atau yang mendapat hidayah lalu menjadi mu’alaf. Lalu dijadikan sebagai pegangan dalam mencari ilmu agama. Salah-salah kita yang tersesat di jalan yang salah.
Belum lagi memilih ulama yang kurang cakap dalam berpikir dan bertindak. Seorang ulama tidak akan mudah menyalahkan sebuah perbedaan. Beliau akan berpikir secara jernih dan bijak untuk menghadapinya. Tidak hanya mengandalkan pada kata “kafir”, “bid’ah”, “haram”, “thaghut”, dan lain sebagainya.
Kisah Selisih Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik
Sebagai contoh pada diri Imam Syafi’i dan gurunya, Imam Malik. Imam Syafi’i berpendapat bahwa mencari rezeki haruslah berusaha terlebih dahulu. Berbeda dengan gurunya, Imam Malik berpendapat bahwa berpasrahlah kepada Allah, niscaya rezeki itu datang. Perselisihan ini diselesaikan ketika Imam Syafi’i memperoleh anggur dan menyuguhkan ke gurunya.
“Wahai guruku, lihatlah anggur ini yang aku peroleh dari hasil membantu panen. Benar apa yang aku katakan, bahwa rezeki harus kita cari terlebih dahulu.”
“Hahaha, kau memang benar muridku. Tapi tidakkah kau lihat, aku sedari tadi di masjid ini. Tiba-tiba kau datang membawa anggur ini dan kita makan bersama. Bukankah aku juga benar seperti apa yang kukatakan? Rezeki cukup berpasrah pada Allah saja.”
Kejadian tersebut hanya akan dimiliki oleh ulama yang cakap dalam berpikir dan bertindak. Kalau hubungan guru-murid seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i, tentu hidup ini akan terasa indah dan mudah untuk dihadapi.
Ulama dan Umara, Harus yang Berwibawa
Pemilihan Ulama dan Umara yang pertama harus dilandaskan kepada bagaimana wibawanya. Tidak semua orang memiliki wibawa untuk berhadapan dengan anggota kelompok maupun jemaahnya. Sikap wibawa ini juga menunjukkan seberapa dewasa pemimpin jika ditemui sebuah masalah.
Mudah untuk melihat seberapa wibawa seseorang, yaitu bagaimana dia menghadapi suatu permasalahan. Jika masih bisa menunjukkan ketenangan, maka bisa ditunjuk. Orang yang berwibawa, tidak akan berbicara sambil berteriak-teriak maupun mengepal tangan ke atas jika menghadapi permasalahan.
Sikap wibawa ini juga akan menghadirkan sikap tegas yang berdampak langsung pada tujuan suatu kelompok maupun jemaahnya. Semakin wibawa seorang ulama maupun umara, maka semakin jelas dan terarah untuk menuju suatu tujuan bersama.
Dengan wibawa, seorang ulil amri bisa mengatur anggotanya dan akan disegani juga. Tidak akan mencla-mencle jika memberikan sebuah keputusan.
Kemudian secara keilmuan. Tentu saja ulil amri harus memiliki ilmu yang cakap untuk mengatur kelompoknya. Dengan keilmuannya, para pengikutnya tidak akan merasa kesulitan dengan perintah yang dijalankan. Selain itu, dengan keilmuannya juga akan menunjukkan bagaimana ulil amri bersikap.
Ilmu yang ada pada seorang ulil amri akan membawa pada kebijaksanaan. Bijaksana ini terlihat ketika menghadapi suatu momen yang dirasa tidak adil, terlebih jika terjadi perbedaan. Seorang ulil amri akan menjadi penengah jika terjadi sebuah perselisihan. Tentu saja, hal tersebut akan memberikan kelompoknya rasa aman.
Pentingnya Ulil Amri yang Luas Ilmu
Keluasan ilmu ini wajib dimiliki seorang ulama. Karena beliau yang akan menyebarkan ilmu kepada jemaahnya, maupun pada khalayak umum. Akan sangat berbahaya jika seorang yang mengaku atau diakui sebagai ulama, tapi tidak memiliki keluasan ilmu.
Apalagi, ada kejadian dimana ada dua orang ustadz yang justru salah dalam membaca Al-Qur’an. Harusnya pelajari seluk beluk membaca Al-Qur’an. Tidak boleh seenaknya sendiri.
Belum lagi ada yang mengaku belajar langsung ke Rasullullah SAW. Ilmu itu harus memiliki sanad, apalagi kita hidup 1400 tahun lebih setelah Rasul wafat. Ada suatu adagium yang berkata,
“Jika ada listrik langsung dari sumbernya, kemudian dialirkan langsung ke rumah, niscaya akan terjadi korsleting listrik.”
Demikian ilmu harus memiliki sanad yang jelas dan terarah sampai pada Nabi Muhammad SAW, biar tidak korslet.
Selanjutnya yaitu harus dicintai oleh anggota kelompoknya. Sikap dicintai oleh anggotanya adalah buah dari kewibawaan dan keilmuan yang ada pada diri ulil amri. Sangat dilarang untuk memilih ulil amri dari seseorang yang dibenci oleh anggotanya.
Seperti hadis tentang pemilihan imam sholat, yang bahwasanya Allah tidak akan mengangkat sholat mereka ke atas kepalanya kepada tiga orang. Salah satunya yaitu imam yang tidak disukai oleh jemaahnya.
Perasaan cinta ini perlu untuk mengikat hubungan antar individu. Selain itu, dengan cinta mereka bisa saling memahami, saling mengerti, dan saling menjaga satu dengan yang lain. Alangkah beruntungnya jika ada pemimpin yang dicintai oleh mayoritas anggota kelompoknya. Tentu saja perlu waktu, tenaga, dan pikiran untuk membangun sebuah cinta.
***
Membangun tiga aspek tersebut: kewibawaan, keilmuan, dan dicintai; memerlukan waktu yang lama dan melalui perjuangan panjang. Tidak bisa secara instan, maupun naluri dari lahir.
Jadi, apabila ketiga aspek tersebut sudah terlihat pada seseorang, maka berilah kepercayaan itu kepadanya. Insya Allah, kelompok maupun institusi akan selamat dunia maupun akhirat.
Editor: Zahra