Ramadan seharusnya menjadi bulan yang damai dan menentramkan bagi umat Islam, termasuk mereka yang berada di Palestina. Namun harapan itu tampak seperti mimpi indah yang tak kunjung menjadi nyata. Bagi warga Palestina, khususnya di Gaza, Ramadan justru menjadi bulan pengorbanan dan syahadah. Bahkan Hari Raya Idulfitri berubah menjadi momen pertumpahan darah dan kehilangan jiwa. Sementara itu, dunia Islam terlihat terhanyut dalam arus normalisasi atas pembantaian dan genosida yang terjadi.
Reaksi dari dunia Islam nyaris tidak terdengar, baik dari kalangan masyarakat, apalagi dari para penguasa. Para pemimpin dunia Islam yang sejatinya memiliki otoritas dan kapasitas untuk bertindak, seperti biasa hanya mampu melontarkan kutukan. Mereka tampak naif dan tak berdaya menghadirkan solusi nyata untuk menghentikan tragedi tersebut.
Pembungkaman atas Perjuangan Palestina
Di Barat, suara-suara kritis yang selama ini menggema—terutama di kalangan muda dan mahasiswa—dibungkam oleh kekuasaan yang rasis dan radikal, termasuk di Amerika dan Jerman. Di Amerika, misalnya, beberapa aktivis pro-Palestina ditangkap, bahkan mereka yang bukan warga negara dideportasi.
Realitas ini menunjukkan bahwa krisis kemanusiaan di Palestina, khususnya Gaza, kian buram. Inilah kenyataan yang tidak bisa terbantahkan. Sekuat apa pun “kata iman” yang kita ucapkan, jika tanpa aksi nyata, ia tak lebih dari harapan kosong. Keimanan memang tidak diragukan, tapi realitas juga harus diakui. Perang Badar dan Uhud sama-sama kenyataan—dihubungkan oleh iman, namun tetap berbeda dalam hasil dan konteksnya.
Jangan Berharap pada Amerika
Melihat realitas dan respons dunia Barat, khususnya Amerika, terhadap penjajahan Israel atas Palestina sejak awal, seharusnya dunia Islam sudah tersadar. Bahwa Barat tidak memiliki niat baik untuk menyelesaikan penjajahan dan kekerasan yang berlangsung hingga kini. Selama negara-negara muslim masih menyandarkan harapan kepada mereka, selama itu pula yang terjadi hanyalah ilusi dan mimpi panjang.
Karena itu, seperti yang sering saya sampaikan, jangan berharap pada Amerika dan Barat. Mereka memiliki persoalan domestik yang memengaruhi kebijakan globalnya—terutama yang menyangkut Israel. Bahkan sering kali pertimbangan tersebut bertentangan dengan logika dan akal sehat.
Bagaimana mungkin di Amerika Anda bebas mengkritik pemerintah, dan itu dianggap bagian dari demokrasi. Tapi ketika Anda mengkritik Israel, Anda dianggap melanggar hukum, bahkan bisa ditangkap. Ini mencerminkan inkonsistensi dan ketidaknormalan sikap Barat terhadap konflik Palestina-Israel.
Dunia Islam Menyerah
Karena itu, sudah saatnya dunia Islam menghentikan sikap “tawakkal“—dalam arti yang keliru—kepada Barat. Solusi tidak datang dari mereka, tetapi dari umat Islam sendiri. Jika negara-negara Muslim terus menyerahkan solusi kepada Barat, maka bersiaplah untuk menanggung luka dan kekecewaan tanpa akhir.
Tentu tidak mudah menyelesaikan konflik yang telah berlangsung hampir 80 tahun ini. Terlebih lagi jika melibatkan negara-negara adikuasa seperti Amerika yang menguasai 26,11% dari PDB dunia dan memiliki kekuatan militer luar biasa. Bahkan mereka tampak tak berdaya menghadapi kekuatan tersembunyi (hidden power) di balik kebijakan pro-Israel.
Namun perlu dicatat, kekuatan tersembunyi itu sejatinya rapuh. Dalam istilah Al-Qur’an: “maa lahaa min qaraar”—tidak memiliki fondasi yang stabil. Mereka bergantung pada ilusi kekuatan dan persepsi bahwa mereka tak terkalahkan.
Kenyataannya, perasaan aman mereka tumbuh justru karena sebagian negara-negara Muslim menyerah, rela mengulurkan tangan atau terpaksa tunduk pada tekanan. Mereka merasa unggul karena berhasil membuat dunia Islam berpihak, atau setidaknya diam, terhadap kejahatan yang mereka lakukan.
Solusi Ada di Dunia Islam
Oleh karena itu, kunci solusi ada di tangan umat Islam. Langkah pertama dan terpenting adalah memutus seluruh relasi dengan Zionis penjajah dan para pendukungnya. Dunia Islam harus membangun kesatuan dan solidaritas yang kokoh. Dengan 57 negara mayoritas Muslim dan kekayaan alam luar biasa, potensi negara-negara Muslim untuk memengaruhi geopolitik global sangat besar.
Kini saatnya meninggalkan budaya pahlawan dadakan—pidato-pidato berapi-api di forum-forum tinggi yang tidak membuahkan tindakan nyata. Dunia Islam harus memiliki rencana yang terstruktur (structured plan) dan menjadikannya aksi nyata (action) untuk memerdekakan Palestina dan membebaskan Masjidil Aqsa.
Hentikan kutukan-kutukan kosong yang kini telah menjadi lagu sumbang, tak lagi didengar dan membosankan.
Editor: Assalimi