IBTimes.ID – Museum, galeri, dan ekshibisi umumnya dipahami sebagai ruang penampilan karya seni dan artefak kebudayaan. Akan tetapi, di luar dari fungsi rekreasionalnya, situs tersebut memiliki peran lain yang tidak kalah penting, yaitu preservasi ingatan kolektif tentang kemanusiaan. Pemahaman inilah yang berusaha dibagikan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melalui program diskusi berjudul “Jejak Api di Nagasaki: Merefleksikan Perdamaian Dunia Tanpa Nuklir” yang diselenggarakan di Gedung PPIM UIN Jakarta, Jum’at (28/11).
Bekerja sama dengan dengan Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youth (JENESYS), diskusi ini menghadirkan dua alumni JENESYS 2025, Syaifa Rodiyah dan Ananul Nahari Hayunah untuk membagikan pengalaman beserta refleksi yang mereka dapatkan pasca menjejaki situs-situs bersejarah di Jepang, awal November lalu.
Syaifa memulai dengan mengenalkan JENESYS sebagai program pertukaran budaya yang ditujukan untuk menjalin dan memperdalam pemahaman akan kemanusiaan. Ia menyampaikan bahwa tahun ini, program ini diikuti oleh delapan peserta dari beberapa lembaga Islam di Indonesia, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, UIN Jakarta, dan Masjid Istiqlal. Kegiatan berlangsung selama delapan hari dengan aktivitas yang terkonsentrasi pada dua kota, yaitu Tokyo dan Nagasaki.
Di samping mengunjungi kuil, sekolah, universitas, kantor walikota, dan pabrik matcha, peserta juga diajak melihat kehidupan masyarakat muslim Jepang, ikut tinggal bersama warga lokal. Namun, terdapat agenda lain yang dirasa amat bermakna oleh Syaifa dan Ananul. Agenda tersebut adalah kunjungan ke Nagasaki Atomic Bomb Museum and Peace Park.
Pada agenda ini, Ananul menyampaikan bahwa mereka tidak hanya diajak mempelajari kronologi, dampak, dan artefak peninggalan Bom Nagasaki yang terjadi pada tahun 1945, tetapi juga terlibat dalam dialog dengan salah satu penyintasnya, Michio Hakariya.
“Saat itu Michio baru berusia 8 tahun. Ia sedang mengerjakan tugas ketika bom dijatuhkan di area tempat ia biasa bermain dengan teman-temannya. Ledakan dahsyat yang berjarak sekitar 3,8 km dari rumahnya itu berhasil meluluhlantakkan rumah warga dan menelan hingga sebanyak 74.000 korban yang banyak di antaranya merupakan anak-anak, termasuk teman-teman Michio,” tuturnya.
Ananul menyebutkan bahwa selama beberapa waktu, kota Nagasaki mengalami kelaparan massal dan kesulitan lain yang disebabkan oleh radiasi bom. Namun, dampak pemboman tidak hanya berhenti di situ. Hingga saat ini, tragedi pemboman Nagasaki masih menyisakan trauma pada masyarakat Jepang, khususnya para penyintas.
“Oleh sebab itu, hadirlah situs-situs seperti Nagasaki Atomic Bomb Museum and Peace Park sebagai upaya masyarakat bersama pemerintah untuk merawat memori kolektif tentang tragedi. Konservasi artefak peninggalan sejarah dan reproduksi pengetahuan yang dilakukan dengan dialog bersama penyintas berperan menjaga sejarah agar tetap hidup sehingga kedepannya kemanusiaan dapat mengusahakan pilihan yang lebih baik,” pungkasnya.
Sebagai warga negara Indonesia, Syaifa dan Ananul mengatakan bahwa pengalaman ini memperkaya pemahaman mereka tentang kemanusiaan dan perdamaian. Bahwa, sebagai dua bangsa yang memiliki sejarah panjang, mereka tidak hanya memahami tragedi yang dialami Nagasaki dalam relasinya dengan kemerdekaan Indonesia, tetapi juga sebagai afirmasi bahwa perdamaian bukan sekadar konsep, melainkan tanggung jawab.
Pada akhirnya, menurut Syaifa dan Ananul, perdamaian sejatinya merupakan kerja yang perlu diinisiasi dan dijaga terus-menerus. Dan museum dan situs budaya atau sejarah lainnya tidak sekadar hadir sebagai pengingat tentang tragedi yang pernah terjadi, tetapi juga sebagai doa dan harapan bahwa pembelajaran dan perdamaian adalah sesuatu yang perlu dirawat terus-menerus.
(Nurma/Soleh)

