Tafsir

Jihad Akbar itu Dengan Pena, Bukan Pedang

5 Mins read

Jihad adalah istilah tipikal yang mencerminkan ambivalensi agama. Istilah ini akan terus menjadi perbicangan hangat dan menawan, seolah belum pudar daya tariknya. Lebih-lebih pasca tragedi 11 September 2001 yang menghancurkan Menara Kembar World Trade Center di Manhattan, New York, dan memicu perang di Afghanistan. Peristiwa terakhir adalah kembali memanasnya situasi di Palestina, yang membuat konsep jihad menjadi bagian dan perdebatan publik di kalangan Muslim maupun non-Muslim.

Sebagian orang Barat memahaminya sebagai holy war (perang suci), suatu hantu yang mencerminkan kebiadaban crusader yang pernah tersurat dalam ratusan tahun sejarah Kristen ketika berhadapan dengan Muslim dalam suatu kontak senjata. Pemahaman ini menegaskan bahwa kekerasan inheren dalam konsep jihad.

Sebagian lain memandangnya sebagai perjuangan suci, suatu makna yang lebih bersifat spiritual daripada konsep martir. Salah satu alasan kesulitan menangkap gagasan dan makna jihad adalah karena konsep ini mempunyai basis pengalaman empirik sekaligus legitimasi teologis-yuridis yang telah berurat berakar lebih dari 14 abad lamanya dan meliputi sejarah kawasan yang membentang dari Spanyol hingga Asia Tengah.

Pengalaman panjang ini pula yang telah mempola relasi antara Muslim dan non-Muslim. Intinya, warisan masa lalu masih mempunyai pengaruh kuat dalam kehidupan Muslim. Sejarah telah mencatat, ada satu sekte Islam ekstrem yang menempatkan perang suci atau jihad sebagai bagian dari rukun Islam. Sekte ini adalah Khawarij.

Kebanyakan teolog dan ahli fikih ortodoks menempatkan jihad pada posisi yang cukup tinggi dalam skala kewajiban-kewajiban agama, satu tingkat di bawah rukun Islam yang lima. Hal ini disebabkan perang suci mendapatkan tempat luas baik dalam Al-Qur’an maupun hadis.

Makna Jihad Tidak Selalu Perang

Jihad adalah bentuk masdar dari kata j-h-d, yang arti harfiahnya adalah berusaha sungguh-sungguh atau bekerja keras. Mujahid, bentuk isim fa’il, berarti orang yang berusaha sungguh-sungguh atau berpartisipasi dalam jihad. Istilah jihad dalam banyak konteks berarti berperang, meskipun ada beberapa kata lain dalam bahasa Arab — qital  dan harb — yang maknanya lebih jelas dan tidak mendua.

Dalam Alquran dan kebiasaan masyarakat Muslim, jihad sering diikuti dengan ungkapan sabilillah. Penjelasan tentang perang terhadap musuh-musuh komunitas Muslim sebagai jihad fi sabilillah telah mensakralkan aktivitas yang biasa digunakan pada masa Arab pra-Islam, yakni perang suku.

Baca Juga  Humanisme Alquran: Refleksi Nuzul Alquran di Masa Pandemi

Di samping Alquran, hadis juga sering memaknai jihad sebagai tindakan berperang. Misalnya ada sekitar 199 rujukan bagi jihad dalam kitab hadis Sahih al-Bukhari yang semuanya mengasumsikan jihad sebagai perang (Bukhari, 1981: vol 4, 34-204). Secara lebih luas, Bernard Lewis menjumpai bahwa mayoritas mutakallimin, fuqaha, dan muhaddisin klasik memahami kewajiban jihad sebagai kewajiban militer (Lewis, 1988:72).

Gambaran-gambaran semacam ini membentuk satu interpretasi yang jelas tentang jihad sebagai perang, meski kita juga menjumpai bahwa lbn Taymiyah dan para pengikutnya memahami jihad dalam pengertian lain. Bagi para fuqaha, jihad cocok dengan suatu konteks dunia yang terbagi ke dalam zona Muslim dan zona non-Muslim, dar al-lslam dan dar al-harb.

Model pemahaman fikih klasik ini mengimplikasikan perang abadi antara Muslim dan non-Muslim hingga wilayah yang berada di bawah kekuasaan Muslim dapat mengendalikan wilayah yang tidak dikuasai Muslim, suatu sikap yang barangkali mencerminkan optimisme akibat penaklukan bangsa Arab atas bangsa-bangsa lain yang sangat meluas dan cepat.

***

Dar al-lslam bukan berarti meniadakan/membinasakan semua penduduk non-Muslim dan tidak pula berarti mengharuskan adanya pemaksaan atas mereka. Bahkan jihad sama sekali tidak mengandaikan konversi secara paksa karena Alquran (al-Baqarah 2:256) menyatakan: “Tidak ada paksaan dalam agama”. Jihad juga memiliki tujuan politik, yakni menegakkan aturan-aturan Muslim yang pada gilirannya menghasilkan dua keuntungan: pengakuan Islam atas keberadaan agama-agama lain dan menciptakan kesempatan bagi Muslim untuk membangun tatanan sosial dan politik yang adil.

Perang hanyalah satu interpretasi dari konsep jihad. Jihad bisa berupa perjuangan batin (untuk melawan kejahatan dalam diri seseorang) atau perjuangan lahiriah/eksternal (melawan ketidakadilan).

Sebuah hadis mendefinisikan pemahaman tentang istilah ini. Perhatikan bagaimana Muhammad sekembali dari Perang Badar mengatakan “Kita baru kembali dari jihad kecil (jihad al-asghar) menuju jihad besar (jihad al-akbar)”. Ketika ditanya “Apakah jihad besar itu?, ia menjawab “Yaitu jihad melawan diri sendiri (jihad al-nafs)” (al-Hujwiri, 1911: 200-201). Meskipun hadis ini tidak terdapat dalam kitab kumpulan hadis yang otoritatif, tetapi ia mempunyai pengaruh cukup mendalam dalam mistisisme Islam atau sufisme.

Kaum sufi memahami jihad al-nafs sebagai perang batin, utamanya perang melawan insting dasar dan tubuh bahkan juga perlawanan terhadap godaan untuk berbuat syirik. Sebagian penulis sufi berpendapat bahwa syetan mengorganisir jasmani dan dunia untuk mengganggu jiwa. Abu Hamid al-Ghazali (1059-1111) memperumpamakan tubuh seperti sebuah kota yang diperintah oleh jiwa dan dikepung oleh nafsu yang rendah.

Baca Juga  Islam Liberal: Menafsirkan Al-Qur'an dengan Metode Hermeneutika

Memisahkan diri dari dunia untuk pencarian mistik membutuhkan kemajuan dalam jihad besar. Sebaliknya, jihad besar adalah bagian terpenting dari proses memperoleh pencerahan spiritual.

Jihad dengan Pena

Di antara banyak makna jihad –baik yang perang maupun non-perang– belum begitu masyhur (terkenal) para penganjur jihad intelektual, jihad ilmu, jihad literasi, atau jihad dengan pena (jihad bil qalam). Sementara wahyu pertama secara lugas menyebutkan perintah “iqra’” dan “qalam”. 

Qalam artinya pena, adalah alat untuk menulis. Menulis ialah kemampuan literasi yang sangat penting. Writing habits menjadi penanda bagi permulaan dan kemajuan peradaban umat manusia. Melaluinya, ilmu pengetahuan ditransmisikan secara sistematis dan berkelanjutan.

Dalam tradisi dan khazanah Islam, menulis buku, mempertahankan tradisi intelektual, dan idealisme ilmu adalah perjuangan yang melelahkan. Dalam The Search for Beauty in Islam: A Conference of the Book (2006), Khaled Abou Fadl menunjukkan bahwa salah satu cara memahami keindahan Islam adalah dengan melihat tradisi intelektual yang begitu kuat. Ketiadaan tradisi menulis buku dan mewariskan ilmu adalah tanda kematian kepakaran (the death of expertise). Kemajuan dan kemunduran peradaban sangat bergantung pada tradisi ini.

Ziauddin Sardar berpendapat inferioritas Muslim dihadapan peradaban barat berlaku di semua sektor, mulai dari sektor keilmuan, teknologi, pendidikan, kedokteran, lembaga-lembaga sosial dan ekonomi, hingga ke sektor-sektor lain seperti pemikiran politik dan kebudayaan.

Sardar menilai Islam harus direkonstruksi sebagai peradaban, karena hanya dengan itu Islam bisa mewujudkan diri sebagai manifestasi kebudayaan dan nilai-nilainya sendiri sebagai perangkat keras dari pengalaman sejarahnya, sebagai instrumen pragmatis dari sistem filsafatnya atau singkatnya sebagai manifestasi eksternal dari pandangan dunianya.

Jihad Akbar: Dengan Pena, Bukan Pedang

Betapa pentingnya al-qalam, pena, ilmu, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda:

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu, ia menunaikan dan mengajarkannya.”

Baca Juga  Tafsir Surah Ali Imran Ayat 142: Bersabar dalam Kebenaran

Imam An-Nawawi menjelaskan, “Para ulama membagi hasad menjadi dua macam, yaitu hasad hakiki dan hasad majazi. Hasad hakiki adalah seseorang berharap nikmat orang lain hilang. Hasad seperti ini diharamkan berdasarkan kata sepakat para ulama (baca: ijma’) dan adanya dalil tegas yang menjelaskan hal ini. Hasad majazi, yang dimaksudkan adalah ghibthoh. Ghibthoh adalah berangan-angan agar mendapatkan nikmat seperti yang ada pada orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang. Jika ghibthoh ini dalam hal dunia, maka itu dibolehkan. Jika ghibthoh ini dalam hal ketaatan, maka itu dianjurkan.

(وَلَوْ شِئْنَا لَبَعَثْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ نَذِيرًا (51) فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا (52

“Dan andaikata Kami menghendaki benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul). Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Quran dengan jihad yang besar” (Qs. al-Furqon: 51-52).

Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ketika menerangkan makna ayat ini beliau berkata :

ولهذا كان الجهاد نوعين : جهادٌ بِاليَدِ والسِّنَانِ ، وهذا المُشَارِكُ فيه كَثِيرٌ !والثاني : الجِهَادُ بِالحُجَّةِ وَالبَيَانِ ، وهذا جِهَادُ الخاصَّةِ مِنْ أتْبَاعِ الرُّسُلِ وَهْوَ جِهَادُ الأَئِمَّةِ ، وَهْوَ أَفْضَلُ الجِهَادَيْن لِعِظَمِ مَنْفَعَتِهِ ، وَشِدَّةِ مُؤْنَتِهِ ، وَكَثْرَةِ أَعْدَائِهِ، قَال الله تعالى في «سُورة الفرقان  وهي مكية : ولو شئنا لبعثنا في كلِّ قريةٍ نذيراً * فلا تُطِعِ الكافرين وجاهدهم به جهاداً كبيراً  . فهذا جِهَادٌ لهم بالقرآن وهو أكبرُ الجِهَادَيْن

“Oleh karenanya jihad itu ada dua jenis, pertama: Jihad dengan tangan dan pedang. Jihad jenis ini pengikutnya banyak. Yang kedua: Jihad dengan hujjah dan argumentasi. Ini adalah jenis jihad yang khusus dilakukan oleh para pengikut rasul, ini adalah jihadnya para imam. Jihad jenis ini lebih utama dari jihad jenis lain, karena besar manfaatnya, sukar jalannya, dan banyak sekali musuhnya” (Miftah Dar As Sa’adah: 1/70).

Penjelasan di atas menyimpulkan bahwa termasuk dalam jihad akbar yaitu orang-orang yang berjihad dengan menggunakan jalan Al-Qur’an (baca tulis), dan jihad intelektual melalui hujjah dan argumentasi sistematis dan karya ilmiah.

 Jihad Akbar itu dengan pena bukan dengan pedang
Editor: Azaki & Yahya FR
Infografis: Galih QM
9 posts

About author
Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Editor in Chief Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies (IJIMS). Dosen Program Doktor Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dewan Syariah LazisMu Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds