Berbagai konsep dan struktur ilmu pengetahuan yang hari ini kita nikmati bukan produk yang tiba-tiba hadir. Epistemologi tersebut bukan hasil “simsalabim abrakadabra”, melainkan hasil dialektika manusia sepanjang historisitasnya.
Epistemologi tersebut dirajut dari pikiran-pikiran besar yang ada pada zamannya. Hasilnya adalah sebuah pikiran yang berani mendobrak kemapanan yang sudah ada. Tentu demi kemapanan di masa yang akan datang.
Para visioner yang menciptakan itu dapat dirujuk satu-persatu untuk mengungkap kecemerlangan pemikirannya. Maka tidak jarang, pemikiran yang sudah lama masih dikunjungi kembali.
Upaya tersebut semata menemukan perspektif kritis yang kini amat jarang kita temukan di tengah riuh media sosial. Karena alasan itulah, tulisan kali ini, akan membahas salah satu pemikir visioner serta beberapa gagasan kuncinya. Filsuf itu adalah John Locke.
Biografi Singkat Locke
John Locke adalah filsuf Inggris yang lahir di Bristol pada 1632. Tepat pada masa di mana semangat pencerahan masih berkobar membara. Dan semangat itu menyebar ke seluruh lini kehidupan, termasuk ke dalam diri John Locke sendiri.
Latar belakang Locke sebagai dokter sedikit banyak mempengaruhi konseptualisasi yang dia bangun mengenai pengetahuan empiris. Sebagai dokter, tentu Locke sangat cermat dalam mengobservasi berbagai simtom dan merunut sebab-sebab yang berkaitan.
Pada dasarnya, pengetahuan sangat erat dengan kejelian kita dalam menangkap dan mensistematisasi pengetahuan dari luar. Hal ini terurai lengkap dalam karya masterpiece Locke berjudul “Essay Concerning on Human Understanding.”
Buku tersebut diakui memiliki pengaruh yang sangat luas, khususnya dalam bidang epistemologi atau filsafat ilmu dan dalam dunia sains serta psikologi.
Empirisme Locke
John Locke berbeda dengan filsuf pendahulunya, yakni Descartes (tokoh rasionalisme). Descartes menekankan fungsi akal-budi (rasio) sebagai alat utama untuk manusia mengetahui. Hal tersebut berbeda dengan Locke yang menganggap bahwa pengetahuan manusia sejatinya didapat dari pengalaman.
Empirisme itu sendiri berasal dari kata Latin “empeiria” yang bermakna pengalaman. Salah satu konsep penting yang digunakan Locke untuk menjustifikasi teori pengetahuannya adalah ‘Tabula Rasa’. Maknanya, bahwa setiap manusia lahir ke dunia bagaikan sebuah kertas kosong. Kertas yang kemudian diisi oleh pengalaman inderawi atas dunia.
Pada titik ini, sangat jelas bahwa empirisme Locke sangat menekankan pengalaman hidup. Pengalaman yang diperoleh melalui indrawi, yang menjadi jangkar epistemologi manusia atas pengetahuan.
Sebab itu, Lock menegaskan bahwa manusia belajar mengenal benda-benda, bahasa, bahkan cita-citanya karena lingkungan di luar dirinya. Selanjutnya, Locke menyatakan pendidikan yang baik adalah kunci untuk memproduksi individu yang berpengetahuan.
Namun tidak hanya apa yang kita sadari dari proses indrawi yang disebutnya pengalaman. Bagi Locke, kondisi jiwa atau mental dalam benak manusia juga sejatinya adalah pengalaman.
Bedanya, pengalaman ‘inderawi’ adalah ketika seseorang mengarahkan kesadaran kepada di luar dirinya menggunakan alat-alat sensori. Sedangkan pengalaman ‘batin’ adalah ketika seseorang mengarahkan kesadaran kepada aktivitas dalam benaknya melalui refleksi.
Simple vs Complex Ideas
Dalam membangun dasar-dasar bagi empirisme, Locke menyatakan bahwa manusia menyusun pengetahuan dari dua jenis ideas: simple ideas dan complex ideas. Dengan dua jenis ideas inilah Locke sangat kontras dengan empirisme Descartes.
Pertama adalah simple ideas yang sifatnya sederhana atau tunggal. Hal tersebut didapat langsung dari pengalaman. Semua sensasi seperti rasa sakit, bunyi, dan atau tulisan suatu kata termasuk simple ideas.
Adapun complex ideas adalah pengetahuan kompleks atau majemuk. Hal ini tercipta dari relasi antara simple ideas (misal melalui relasi ‘sebab’, ‘syarat’). Ketika Anda melihat kaki teman menginjak kaki Anda dan timbul rasa sakit, maka Anda akan membangun relasi sebab dari idea ‘injakan’ dan ‘sakit’ itu.
Penekanan pada relasi atau asosiasi untuk membangun pengetahuan membuat Locke juga disebut sebagai asosianis. Teori ini kemudian juga dikembangkan oleh banyak pemikir empiris berikutnya seperti David Hume, dan ilmuwan psikologi penganut behaviorisme seperti B.F. Skinner.
Kualitas Primer vs Kualitas Sekunder
Locke melanjutkan teori pengetahuannya dengan merancang konsep mengenai kualitas primer dan kualitas sekunder. Kualitas primer adalah ciri-ciri dasar pada benda-benda seperti keluasan, kepadatan, bentuk. Ciri-ciri yang niscaya pada benda-benda sebelum dipersepsi manusia.
Berbeda dengan kualitas sekunder yang merupakan interaksi antara indra-indra manusia dengan kualitas primer. Artinya, kualitas primer yang merupakan data eksternal mengalami modifikasi pada pikiran manusia karena mereka harus melewati indra-indra manusia.
Taruhlah misalkan persepsi mengenai tinggi dan pendek. Persepsi yang sangat bergantung pada tinggi orang itu sendiri. Ketika dia pendek maka sesuatu yang lebih tinggi akan disimpulkan tinggi. Demikian pula berlaku sebaliknya.
Dengan begitu, mengenai kualitas primer dan sekunder inilah yang kemudian juga mendorong Locke dan para sarjana empiris untuk membuat alat-alat pengukuran yang bebas bias.
Hal ini terilhami misalnya dari timbangan yang senantiasa mengukur berat secara tepat dan konsisten. Ilmuwan setelah Locker berusaha menjawab berbagai pertanyaan pengukuran, misalnya dalam variabel-variabel sosial, seperti motivasi dan afeksi.
Trias Politika
Pemikiran kritis Locke juga diarahkan pada kehidupan kemasyarakatan. Utamanya, Locke memiliki kekhawatiran mengenai pemusatan kekuasaan yang telah lama terjadi pada masa itu. Seperti seorang raja yang berwenang tanpa batas. Maka tirani itu akan mengabaikan aspirasi rakyat.
Merespon kondisi politik, maka Locke menginisiasi konsep pembagian kekuasaan. Konsep itu dikenal sebagai trias politika. Konsep yang lahir beberapa waktu sebelum Montesque.
Trias politika Locke, merupakan pembagian kekuasaan. Seperti pemerintahan (eksekutif), parlemen (legislatif), dan rakyat (federatif) yang memutuskan hal-hal penting.
Berbeda dengan Locke, Montesquieu memodifikasi elemen terakhir dengan kekuasaan kehakiman. Bahwa hukum harus memiliki independensi dalam memeriksa dan memutus dalam persidangan.
Meski sedikit memiliki perbedaan, namun visi Locke dan Montesquieu bertemu dalam satu titik. Keduanya sama-sama meyakini bahwa pembagian kekuasaan penting sebagai syarat agar tidak tercipta kekuatan otoriter yang merusak dalam kekuasaan.
Editor: Muafiqul Khalid