Sukabumi, kota dengan wilayah terkecil di Jawa Barat, pernah memiliki seorang ulama yang mumpuni di awal abad 19, ia adalah K.H Ahmad Sanusi, ahli hadis, pakar fikih, sekaligus mufassir yang mumupuni. Ia dilahirkan di sebuah kampung kecil bernama Centayan, Sukabumi pada tanggal 18 September 1888.
Meski dari kampung, ia dididik oleh keluarga ulama. Ayahnya K.H Abdurrahim bin Yasin juga seorang ulama. Nasabnya tersambung sampai ke Nabi Muhammad melalui jalur Husain bin Siti Fatimah.
Sejak kecil K.H Ahmad Sanusi hidup di lingkungan pesantren. Selama enam belas tahun di pesantren, ia belajar langsung ilmu agama dari ayahnya. Kemudin pada tahun 1905 memutuskan untuk belajar ke pesantren lain di Jawa Barat. Selama empat tahun berpindah dari pesantren ke pesantren, dari Cisaat, Sukaraja, Sukabumi sampai Tasikmalya.
Pada tahun 1910, ketika usianya memasuki 22 tahun, ia menikah. Bersama istrinya pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Selain untuk menunaikan rukun islam yang ke lima, ia juga bertemu dengan para ulama untuk berguru.
Bermukim di Mekah
Bisa dibilang keilmuan dan pemikiran Ahmad Sanusi muda dibentuk di Mekah. Kemauannya yang kuat menggiring dirinya untuk bermukim di sana demi berguru dengan para ulama Arab. Kesungguhan dan kegigihanya menuntut ilmu, mengundang kekaguman guru-gurunya. Bahkan, sampai dikatakan jika ingin belajar agama tidak perlu sampai datang ke Mekah, cukup berguru dengan K.H Ahmad Sanusi.
Beberapa guru yang ia temui di Mekah adalah Mahfuz Tremas, Haji Muhkhtar at-Tarid, dan Ahmad Khatib. Melalui kedua gurunya, Haji Mukhtar dan Ahmad Khatib mempengaruhi pandangan fiqhnya, sampai ia menjadi ahli fiqh yang bermazhab Syafi’i. Sedangkan pertemuanya dengan muhaddits asal Pacitan, Mahfuz Tremas, menurut H. Istikhori dalam jurnal K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): Biografi Ulama Hadis membutanya menjadi ahli hadist.
K.H Ahmad Sanusi juga bertemu dengan pemikiran pembaharuan. Termasuk yang paling berpengaruh adalah pemikiran Muhammad ‘Abduh, Muhammad Rasyid Ridla, dan Jamaluddin al-Afghani, melalui buku-buku dan majalah aliran pembaharuan dari Mesir. Melalui pemikiran mereka, ia kemudain tergerak untuk membantu perjuangan kemerdekaan ketika kembali ke tanah air.
Mengabdi di Pesantren
Setelah lima tahun menuntut ilmu agama di Mekah, pada 1915 ia kembali ke Indonesia. Tepatnya, di tanah kelahirannya, Sukabumi. Segera ia membantu ayahnya membina Pesantrean Cantayan. Dengan gaya dakwahnya yang sederhana, lambat laun pengikut K.H Ahmad Sanusi semakin banyak. Ayahnya kemudian menyarankan mendirikan sendiri pesantren di kampung Genteng Babakan Sirna, Sukabumi.
Selama di pesantren, ia sangat produktif munilis buku atau kitab, baik kitab tafsir, fiqh, hadist sampai tasawuf. Salah satu kitab tasawufnya adalah Siraj al-Adzkiya fi Tarjamah al-Azkiya. Isinya merangkum tiga poin; syariat, toriqot, dan hakikat, yang ketiganya tidak boleh dipisah satu sama lain. Kitab tersebut ditulis dalam bahasa Arab yang terdiri dari matan atau syair, terjemah matan dan syarah. K.H Ahmad Sanusi nampak lihai menggaungkan syair, sekligus menandakan bahwa ia juga memiliki kapasitas kesusastraan yang baik.
Melalui pengabdianya di pesantren sebagai ulama, ia mempengaruhi banyak muridnya. Kebanyakan dari mereka kemudian mendirikan pesantren, menjadi tokoh, atau mendirikan lembaga tertentu. Beberapa yang tersohor antara lain, Dr. Muttaqin pendiri UNISBA Bandung, ajengan Maksum, pendiri pesantren Bondongan-Bogor, dan Prof. K.H. Ibrahim Hosen mantan Rektor IIQ Jakarta yang juga ketua Majlis Fatwa MUI Pusat
Pemikiran K.H Ahmad Sanusi berada di dua irisan; modern dan konservatif. Tidak heran, murid-muridnya tidak hanya menjadi pewaris pesantren tradisionalis (pesantren salaf), namun juga menjadi pimpinan lembaga modern
Bergerak di Wilayah Politik Islam
Melalui corak pemikiranya tersebut, K.H Ahmad Sanusi tidak hanya berjuang di dunia pesantren, numun juga melebarkan dakwahnya ke ranah sosial dan politik. Di tahun yang sama ketika kembali ke Hindia Belanda (1915), ia bergabung dengan Serikat Islam (SI).
Ketertarikanya bergabung dengan SI berawal ketika ia membaca AD/ART. Ditambah, selama di Mekah ia juga diajak oleh presiden SI Sukabumi, H. Siroj. Terlepas dari itu, ia bermaksud mengikuti para pendahulunya yang berjuang di wilayah politik melalui SI. Kemampuan, keilimuan, dan ketokohannya membuat ia diangkat menjadi penasehat tanpa diambil sumpah.
Perjuanganya berlanjut ketika memasuki masa pendudukan Jepang. Ia membangun siasat senjata makan tuan. Bersama ulama dan tokoh lain, ia meminta untuk para ulama ini dilatih secara khusus, dalihnya memperkuat kekuatan militer Jepang.
Dengan siasat yang sama, ia menyetujui dirinya diangkat sebagai dewan penasehat Bogor oleh otoritas Jepang. Kemudian memanfaatkan momen ini untuk membentuk PETA (Pembela Tanah Air) di pesantren Gunungpuyuh. Tujuannya jelas mempersiapkan kekuatan militer berbasis pesantren.
Siasatnya ini terus ia jalankan, sampai pada 1944 ia dipercaya oleh Jepang menjadi bagian dari Jawa Hokokai (kebangkitan Jawa) mewakili Masyumi, bersama K.H. Wahid Hasyim. Setahun setelahnya, ia juga diangkat menjadi anggota BPUPKI bentukan Jepang. Bersama rekan-renkanya, ia mepersiapkan rencana kemerdekaan Indonesia.
Ia terus mengawal perjuangan kemerdekaan Indonesia, bahkan pasca proklamasi dibacakan. Ketika pergolakan nasional masih terus berlangsung. Diperparah dengan perjanjian Renville yang justru malah merugikan pihak Indoneisa. Salah satunya adalah Jawa Barat berhasil diduduki penjajah. Maka, ia terpaksa pindah ke Jogja pada tahun 1948, di tahun yang sama ketika perjanjian Renville disepakati.
***
Selama setahun di Jogja, ada momen DI/TII meproklamasikan terbentuknya negara baru di Jawa Barat. K.H Ahamad Sanusi tegas menolak tindakan Kartosuwiryo ini. Alasanya jelas tidak sejalan dengan cita-cita Republik Indonesia yang mengiginkan persatuan. Selain itu, ia juga tidak setuju Kartosuwiryo diberikan hak veto untuk memutuskan, merancang, bahkan membuat undang-undangnya sendiri secara sepihak. Pemberian hak istimewa terhadap perorangan ini, menurut K.H Ahmad Sanusi tidak sesui ajaran Islam.
Menjelang akhir tahun 1949, ia masih tertahan di Jogja dan belum bisa kembali ke kampung halaman. Baru bisa kembali pada tahun 1950, setelah situasi membaik. Namun pada tahun yang sama pula, 31 Juli 1950, ia meninggal dunia di Pondok Pesantren Gunungpuyuh Sukabumi, dalam usia 61 tahun.
Atas jasa dan segala perjuangan K.H Ahmad Sanusi sebagai seorang guru, aktivis, politisi, sampai ulama, ia diberi penghargaan tertinggi Bintang Maha Putera Utama, pada tanggal 12 Agustus 1992. Lalu pada tanggal 10 November 2009, ia diberikan penghargaan Bintang Maha Putera Adipradana. Meski jasanya besar, pemerintah Indoensia belum memberikan gelar pahlawan nasional kepada K.H Ahmad Sanusi, tidak heran nama dan jasanya, sering luput disebut. Bisa dibilang ia adalah pahlawan yang dilupakan.
Editor: Wulan