Perspektif

Ka’bah dan Wajah Dunia Arab Modern

4 Mins read

Tulisan ini sebagai pertanyaan lanjutan dari tulisan Buya Syafi’i Maarif di Suara Muhammadiyah pada tahun 1992 dan dimuat juga dalam buku (Islam dan Politik) dengan sub judul “Ka’bah: Antara Hotel dan Istana” . Buku ini yang merangkum tulisan-tulisan Buya di berbagai media, salah satunya Suara Muhammadiyah. Sehingga berangkat dari sini kemudian membuat saya tertarik untuk menuliskan kembali dan mencoba mengkorelasikan dengan kondisi saat ini.

Nilai Historis Ka’bah

Bicara mengenai Ka’bah tentu tidak lepas dari nilai-nilai historis yang mendalam. Konon katanya bahwa bangunan Ka’bah ada sebelum Nabi Ibrahim dan Ismail berhijrah ke Mekkah, yang kemudian dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim dan Ismail atau bahasa Al-Qur’annya, meninggikan kembali dasar-dasar Baitullah.

Memang pada dasarnya, bahwa awalnya kiblat ada di Masjidil Aqsa Yerusalem, kemudian pindah ke Mekkah. Namun pindahnya tidak terlepas dari faktor teologis maupun sosiologis yang mengharuskan Nabi Muhammad Saw merubah arah kiblat.

Ka’bah: Kiblat Moral Manusia

Ka’bah menjadi jantung peradaban dunia karena dipercaya memiliki kekuatan spiritual yang mampu menghubungkan Tuhan dengan makhluknya dengan cepat. Sehingga orang Islam berbondong-bondong menunaikan ibadah Haji maupun Umroh, selain menjadi rukun Islam.

Kesakralan Ka’bah menjadi doktrin tradisi umat Islam, sehingga ketika menyebutkan nama Ka’bah, yang terlintas dalam benak pikiran umat Islam adalah bangunan yang memiliki nilai-nilai kesucian dan kesakralannya. Sehingga kemudian bangunan Ka’bah menjadi kiblat umat Islam sedunia.

Bangunan Ka’bah bukan hanya sekedar bangunan yang dibangun untuk dijadikan sebagai poros ritual umat Islam dalam menjalankan ibadah seperti haji, umroh, sholat maupun ibadah pada umumnya. Tetapi bangunan ini memiliki kontak moral yang sangat mendalam antara Ka’bah dengan umat Islam, dan menjelma membawa nilai-nilai spiritual masuk dalam lubuk hati umat Islam sehingga memiliki pengaruh yang bisa membuat sadar atau muhasabah diri umat Islam terhadap persoalan kehidupan.

Baca Juga  Bagaimana Wajah Islam yang (Bukan) Teroris?

Segala bentuk kekhawatiran dan persoalan yang dihadapi, ketika berhadapan dengan Ka’bah, maka dia akan merasakan ketenangan dan petunjuk dari Allah Swt. Hal ini menjadi janji Allah dalam firman-Nya “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Al- Imran: 96).

Namun yang menjadi perhatian dan catatan adalah ketika kita beribadah jangan sampai lupa Tuhan. Hal ini selaras apa yang disampaikan oleh Prof. Abdul Munir Mulkhan bahwa, “semakin dekat seseorang dengan Tuhan maka semakin tidak waras” inilah statement beliau yang banyak mengandung muatan kontroversial sehingga banyak direspon oleh para tokoh agama maupun masyarakat pada umumnya dengan negatif.

Sebenarnya konteks ketika beliau menyampaikan ini adalah ketika melihat ketidakwajaran seseorang mencium Hajar Aswad yang terlalu berlebihan. Bahkan yang sempat viral akhir-akhir ini, para jamaah di Mekkah berebut mencium Hajar Aswad sampai rela luka-luka di bagian tubuhnya.

Bagaimana Kesucian Ka’bah di Tengah Dunia Arab Modern?

Kekhawatiran era modern kekinian adalah pola kehidupan masyarakat yang cenderung sifatnya materialis, baik wujudnya dari gaya hidup yang hedonisme maupun sampai pada pembangunan gedung dan infrastruktur megah dan mewah.

Inilah yang menjadi satu keresahan tersendiri bagi Buya Syafi’i terkait gaya hidup orang-orang Arab yang cenderung hedonisme dan pembangunan gedung-gedung pencakar langit yang berkali-kalilipat tingginya dari Ka’bah. Sebab orang bisa melihat secara langsung ritual ibadah umat Muslim dari ketinggian gedung atau hotel tersebut.

Kegelisahan model inilah yang membuat Buya sedikit merasakan kekhawatiran akan hilangnya nilai kesakralan Ka’bah, karena orang-orang Muslim melihat kemewahan yang ada di tanah Mekkah, khususnya di Ka’bah dan Masjidil Haram. Sehingga Ka’bah bukan lagi satu hal yang sakral secara nilai bagi orang Islam, akan tetapi cenderung materialis secara kasat mata.

Baca Juga  Maqāsid Asy-Syarī’ah: Solusi Atas Krisis Kemanusiaan di Era Industri 5.0

Walaupun ini menjadi asumsi liar yang tidak memiliki referensi autentik, namun kecenderungan seperti ini jika dilihat kekinian berpotensi mengarang ke arah tersebut. Walaupun di satu sisi hal ini cenderung utopis, sebab Ka’bah adalah bangunan yang dijanjikan Allah SWT sebagai bangunan yang tetap utuh sampai kiamat.

Tantangan materialis modern kekinian membuat banyak hal yang perlu dipertaruhkan bahkan agama sekalipun menjadi di antaranya demi kebutuhan dan gaya hidup yang mengharuskan untuk tampil eksis dengan gaya kehidupan modern.

Hal ini selaras apa yang disampaikan oleh salah seorang sejarawan Inggris, yaitu Arnold Joseph Toynbe mengatakan “Peradaban modern telah melahirkan materialisme dan kegelisahan spiritual yang amat dahsyat” ini menunjukan bahwa kegelisahan materialisme dan terkikisnya nilai-nilai spiritual menjadi perhatian khusus yang perlu di pikiran secara serius.

Tentu untuk menanggulangi hal ini perlu penguatan yang paling mendasar, seperti penguatan Aqidah maupun pemahaman terhadap agama pada umumnya walaupun kesannya normatif.

Antara Utopis dan Realitas

Teknologi modern telah mengubah wajah tanah Arab. Wajah gurun pasir dan bukit-bukit telah menjadi gedung dan hotel, yang dulu masyarakat Arab kesusahan dan kedinginan dalam menyelimuti malamnya. Dulu hanya sekedar cahaya bulan yang menjadi penerang tanah Arab, sekarang khususnya di Mekkah lampu-lampu penerang berkali lipat cahayanya dari Bulan. Namun hal ini telah menjadi cerita kuno yang bisa kita ingat kembali dalam buku-buku sejarah.

Dengan melihat berbagai pembangunan dan perkembangan kehidupan dunia Arab lebih khusus di Mekkah, pembangunan dan infrakstruktur mulai banyak dan bercabang kemana-mana dan teknologi yang canggih. Walaupun hal ini dilakukan sebagai bentuk alternatif untuk memudahkan jamaah atau umat Islam dalam melaksanakan ibadah di Tanah Suci, namun dengan pola kehidupan yang berusaha untuk mengubah dan memperindah suatu bangunan kadang bisa membuat kehilangan nilai kesakralannya. Bukan lagi sakral, tapi hanya sekedar kebutuhan materialis.

Baca Juga  Beauty Privilege: Hak Istimewa untuk si Good Looking

Buya dengan kapasitas keilmuan dan spirit visionernya berusaha membaca ke depan akan seperti apa wajah tanah Arab khususnya Mekkah-Madinah dan seisinya. Beliau di satu sisi sangat mempercayai bahwa bangunan Ka’bah tetap menjadi bangunan yang dijanjikan, namun di sisi lain juga prihatin melihat realitas Ka’bah dan Masjidil Haram yang kini terjepit di antara bangunan istana-istana megah dan hotel. Buya dengan keprihatinannya menyampaikan, apakah Ka’bah sebagai jantung spiritual Islam ini tidak kehilangan nilai kesakralannya bila bangunan mewah di sekitarnya dibiarkan tumbuh secara leluasa.

Kesimpulan

Membaca dan memahami tulisan ini bukan berarti menyimpulkan bahwa menolak terkait perkembangan teknologi, khususnya dalam dimensi pembangunan dan infrakstruktur yang ada di sana. Tapi yang membuat khawatir adalah nilai-nilai spiritual Ka’bah yang akan terkikis secara perlahan karena dipengaruhi oleh perkembangan modern kekinian.

Ka’bah tentu bangun yang paling sakral dan suci diantara bangunan yang dibangun di atas muka bumi ini. Namun yang menjadi pertanyaan apakah kesucian dan kesakralannya akan tetap utuh secara nilai atau akan terkikis secara perlahan. Walaupun hal tersebut cenderung utopis, tapi tidak menutup kemungkinan dengan pola kehidupan dan kebutuhan manusia bisa saja itu terjadi atau mungkin hal tersebut sudah terjadi. Wallahu a’lam.

Editor: Soleh

Muhammad Ilham
1 posts

About author
Mahasiswa Ilmu Hadis UAD
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds