Kajian keislaman di perguruan tinggi—baik perguruan tinggi Islam ataupun perguruan tinggi umum yang membuka program studi keislaman, harus terus diarahkan agar mampu memberikan sumbangsih nyata terhadap kemajuan masyarakat dan bangsa Indonesia. Apalagi, bila dikaitkan terhadap mayoritas penduduk muslim yang ada di Indonesia, tentu kajian keislaman memiliki peran signifikan—baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Maka dari itu, kajian keislaman yang harus dikembangkan kedepannya ialah kajian keislaman yang dibutuhkan oleh masyarakat muslim Indonesia. Salah satunya ialah kajian keislaman yang bisa menyelesaikan permasalahan umat muslim saat ini. Hal tersebut, tentu akan bisa langsung dirasakan oleh masyarakat.
Beberapa permasalahan umat muslim saat ini, misalnya mulai dari keterbelakangan pendidikan, ketimpangan ekonomi, kesulitan mendapatkan akses permodalan usaha, dan lain sebagainya. Maka, kajian keislaman yang harus dikembangkan ke depan ialah kajian keislaman yang konteksnya benar-benar bisa diterapkan di tengah-tengah masyarakat muslim, yaitu bersifat solutif.
Kajian Keislaman yang Solutif
Akhir-akhir ini, banyak terjadi kejanggalan di masyarakat, khususnya terkait aktivitas ekonomi—mulai dari meroketnya harga telor, hilangnya peredaran minyak goreng di pasaran, hingga meningkatnya harga kedelai. Padahal, di Indonesia kebun sawit sebagai bahan dasar minyak goreng berhektar-hektar, peternak ayam petelor melimpah, hingga lahan untuk kedelai juga sangat luas.
Pertanyaannya ialah, mengapa harga telor secara tiba-tiba meroket? Minyak goreng hilang dari peredaran pasar? dan, kedelai juga ikut naik harganya? Bila coba dianalisis menggunakan kajian ekonomi, rasa-rasanya tidak akan mungkin ketimpangan pasar terjadi, tanpa ada segelintir orang yang menikmatinya.
Artinya ialah, naiknya harga telor, hilangnya minyak dari peredaran pasar, dan meningkatnya harga kedelai, memang dipermainkan oleh rent seeking (pemburu rente). Herannya, pemerintah tak kuasa untuk menciduk rent seeking tersebut. Sehingga membuat masyarakat kalang-kabut dibuatnya.
Bila coba dikalkulasikan menggunakan matematika-ekonomi, mayoritas umat Islam yang merasakan dampak dari kelangkaan komoditas pangan tersebut. Harusnya, kajian keislaman bisa masuk untuk memberikan jalan keluar terhadap apa yang sedang dirasakan oleh masyarakat muslim Indonesia.
***
Malahan, ketika harga telur meningkat, minyak goreng menghilang peredarannya di pasar, hingga harga kedelai ikut melambung, kajian keislaman dalam bentuk diskusi dan lain sebagainya, malah mengetengahkan tema-tema radikalisme, politik identitas, moderatisme, dan tema-tema lain yang tak ada signifikansinya terhadap konteks di masyarakat secara nyata saat itu.
Bukan berarti, tema-tema tersebut tidak penting. Kajian tersebut sangat penting untuk dikembangkan. Akan tetapi, di tengah kondisi masyarakat yang sedang membutuhkan turunnya harga telur, kembalinya peredaran minyak goreng ke pasar, turunnya harga kedelai, dan stabilnya harga pangan, rasa-rasanya penulis tidak mendengar pengkaji Islam mengarahkan kajian keislamannya terhadap tema tersebut.
Padahal, bila coba ditarik benang merah dari permasalahan tersebut ialah, terjadinya penimbunan yang dilakukan oleh rent seeking dengan tujuan mengambil keuntungan di tengah-tengah penderitaan konsumen. Sebelum ilmu ekonomi membahas terkait penimbunan, fikih sebagai salah satu produk hukum Islam telah lama membahas terkait kegiatan penimbunan. Kegiatan penimbunan komoditas barang diharamkan, karena mampu merusak pasar.
Nah, itu hanya sebagian kecil contoh, bagaimana kajian tersebut yang akan dikembangkan ke depannya oleh perguruan tinggi, harus mengarah terhadap kajian keislaman yang solutif dan benar-benar nyata. Bahkan, bila perlu keberadaan kajian keislaman bukan hanya solutif, akan tetapi mampu menjadi langkah preventif terhadap timbulnya suatu masalah di tengah-tengah masyarakat.
Penguatan Pemahaman Sumber Keislaman
Pengkajian Islam di perguruan tinggi—baik di perguruan tinggi Islam ataupun perguruan tinggi umum yang membuka prodi keislaman, harus mempertahankan dan bahkan melakukan penguatan pemahaman terhadap sumber utama keislaman. Dimana, sumber utama kajian keislaman ialah Al-Qur’an, al-Sunnah, qiyas, ijma’, dan sumber pendukung lainnya.
Para pengkaji Islam di perguruan tinggi, harus memiliki pemahaman yang kuat terhadap sumber utama tersebut. Karena, sumber utama tersebut akan menjadi pondasi utama dalam pengembangan kajian keislaman di Indonesia. Sehingga, sumber utama berupa teks yang terbatas—khususnya Al-Qur’an dan al-Hadist, mampu disandingkan dengan konteks yang terus berkembang hingga kiamat datang.
Penguatan dan pengembangan terhadap sumber utama kajian keislaman tersebut, harus dimulai dari para dosen. Dimana, dosen harus memiliki kemampuan untuk mengakses sumber keislaman tersebut. Sehingga dengan kemampuan untuk mengakses terhadap sumber keislaman utama, kajian yang dikembangkan—baik dalam bentuk pembelajaran di kelas formal ataupun riset yang dihasilkan, akan secara langsung merujuk terhadap sumber otentik keislaman.
***
Lantas, bagaimana bila ada seorang dosen yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses terhadap sumber utama keislaman? Misalnya, dirinya seorang dosen Ekonomi Syariah dengan latar belakang pendidikan S1 Ekonomi, S2 Ekonomi, dan S3 Ekonomi Syariah. Dengan demikian, dirinya baru mempelajari terkait ilmu keislaman semenjak masuk S3 Ekonomi Syariah.
Penulis berkeyakinan, bila dirinya tidak memiliki latar belakang pendidikan pesantren ataupun lembaga keislaman lainnya, akan sangat kesulitan untuk mengakses sumber utama keislaman tersebut, yaitu Al-Qur’an dan turunannya, al-Hadist dan turunannya, fikih dan turunannya, serta ilmu keislaman lainnya.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, perguruan tinggi harus menyediakan pusat studi keislaman atau pusat kajian keislaman—yang di dalamnya menyediakan kajian terkait Al-Qur’an dan turunannya, al-Hadist dan turuannya, fikih dan turuannya, serta ilmu keislaman lainnya.
Kedua, mengikuti kajian sorogan yang diselenggarakan oleh pesantren ataupun lembaga pendidikan Islam. Dimana, beberapa pesantren ataupun lembaga pendidikan Islam banyak membuka kelas kursus untuk mendalami ilmu agama. Jadi, dosen yang kesulitan untuk mengakses sumber keislaman, bisa mendaftar di lembaga tersebut.
Kontribusi Kajian Keislaman Melalui Riset
Demi memberikan sumbangsih nyata untuk kemajuan bangsa, perguruan tinggi Islam ataupun perguruan tinggi umum yang membuka program studi keislaman, harus mengarahkan kajian keislaman terintegrasi. Dimana, kajian keislaman terintegrasi ialah mengintegrasikan ilmu keislaman murni dengan ilmu sosial lainnya, agar hasil kajiannya bersifat aplikatif. Misalnya, mengintegrasikan fikih dengan ekonomi, ilmu Al-Qur’an dengan sosiologi, dan lain sebagainya.
Pengintegrasian ilmu keislaman murni dengan ilmu sosial, akan memberikan dampak signifikan terhadap kemajuan bangsa. Hal tersebut terjadi, karena pengkaji Islam mampu mengkomunikasikan teks yang terbatas—Al-Qur’an, al-Hadist, fikih, dan ilmu keislaman lainnya, dengan konteks yang tak terbatas. Sehingga, riset yang diintegrasikan, akan melahirkan pemahaman serta pengetahuan baru terkait Islam di era kontemporer.
Hal tersebut harus menjadi proyek jangka panjang bagi perguruan tinggi—baik untuk tugas akhir mahasiswa S1, S2, dan S3, ataupun riset-riset yang dikembangkan oleh para dosen. Penulis berkeyakinan bahwa kajian Islam di perguruan tinggi akan terus memiliki signifikannya dan memberikan kontribusi nyata untuk kemajuan bangsa Indonesia.
Editor: Yahya FR