Hari Jumat kemarin, 5 Juni 2020, saya tak Jumatan lagi. Entah ini pekan ke berapa. Namun kali ini berbeda. Jika sebelumnya tak ada pergulatan batin untuk tak ke masjid, kini saya mengalami dilema.
Pekan-pekan lalu, saya masih bisa berlindung pada fatwa otoritas keagamaan. Sekarang, lembaga keagamaan ramai-ramai mendeklarasikan diri siap memasuki era ‘new normal’. Semua ibadah yang dahulu dianjurkan tidak dilakukan di masjid, kembali dibolehkan. Syaratnya, menjalankan protokol kesehatan: pakai masker, jaga jarak, rajin cuci tangan dan bawa sajadah sendiri.
Alasannya, jika pasar dan mall sudah bisa buka seperti sedia kala, mengapa tempat ibadah tidak. Alasan lain, ya mirip-miriplah dengan alasan Trump memerintahkan para gubernur di Amerika membuka tempat ibadah. Di masa sekarang, katanya, justru kita membutuhkan banyak doa.
Terharu juga, Trump yang tidak se-sholeh Bush, ternyata ingat tempat ibadah di masa pandemi COVID-19. Mungkin lagi ingat mati, maklum Amerika Serikat kini bertengger di posisi puncak klasemen jumlah pasien dan angka kematian tertinggi akibat Bung Corona.
Kembali ke Masjid!
Kenapa saya tak Jumatan saja? Bukannya Majelis Ulama Indonesia dan Dewan Masjid Indonesia, sudah menyeru agar umat kembali ke masjid?
Alasan saya sederhana, seruan kembali ke masjid itu tidak disertai argumen epidemiologis yang meyakinkan. Misalnya, karena persebaran COVID-19 sudah bisa dikendalikan, atau kurvanya telah melandai.
Sementara di sisi lain, secara teologis, saya sudah ‘diyakinkan’ oleh otoritas agama yang ‘berubah sikap’ itu bahwa selama masa pandemi, salat Jumat bisa diganti dengan salat Zuhur di rumah.
Saya ingin konsisten dalam bertindak. Pekan-pekan sebelumnya, saya tak Jumatan. Karena memang situasi COVID-19 di Indonesia, maupun di tempat tinggal saya – Kota Makassar, masih belum terkendali.
Bahkan nama Sulawesi Selatan disebut dalam Rapat Terbatas Presiden dan Menteri-menterinya (yang tidak sempat saya hadiri, hehehe), sebagai Provinsi yang harus mendapat perhatian khusus dari Tim Gugus Covid dan Kementerian terkait. Selain Sulsel, ada Jawa Timur dan Kalimantan Selatan.
Apakah saya sudah punya kapasitas untuk berijtihad sebagaimana lembaga otoritas keagamaan itu? Jika hanya andalkan tampang, mungkin bisa. Maklum saya punya tanda hitam di jidat, tinggal dipoles dengan sorban dan baju koko putih, hehehe.
Lain soal jika ditilik dari sisi kapasitas, saya harus angkat tangan. Tapi rasanya saya tidak berijtihad sendiri. Saya hanya memilih untuk konsisten dengan ijtihad yang diputuskan para ulama tersebut sebelumnya.
Untuk menyebut beberapa argumen yang masih saya ingat, misalnya salah satu tujuan agama (maqasid syariah), untuk melindungi jiwa manusia. Apakah Jumatan saat Pemerintah tidak bisa menunjukkan kinerja meyakinkan mengendalikan Virus Corona, tidak mengancam jiwa manusia?
Untung ada Muhammadiyah
Untunglah kegalauanku ditepis Muhammadiyah. Beberapa hari lalu (Kamis, 4 Juni 2020), PP Muhammadiyah bikin Press Conference dan Surat Edaran tentang Tuntunan dan Panduan Menghadapi Pandemi Dan Dampak COVID-19.
Sayangnya, berita yang memuat pernyataan organisasi agama yang didirikan Mbah Dahlan, lebih memilih angle ‘Muhammadiyah membolehkan salat Jumat’, tapi saya tetap melihat mutiara terpendam dalam edaran Muhammadiyah ini.
Muhammadiyah merujuk pakar kesehatan, bahwa Indonesia masih dalam masa darurat COVID-19. Indikatornya, masih terjadi fluktuasi kasus. Namun kabar gembiranya, sesuai laporan Gugus Tugas COVID-19, terdapat beberapa daerah yang dinyatakan aman dari virus berjuta umat ini.
Makanya dalam edarannya, Muhammadiyah memilih untuk melunak. Jika dalam edaran sebelumnya, Muhammadiyah tidak menggunakan istilah zona, sekarang sudah mulai memakai istilah zona merah dan hijau. Nah, soal siapa yang memberi warna zona, itu tugas pemerintah.
Untuk daerah zona merah, baik ibadah sunah maupun wajib, termasuk salat Jumat, masih ‘dianjurkan’ untuk dilaksanakan di rumah.
Maka, selamatlah saya dari tuduhan ‘berijtihad’ sendiri. Tugas saya, tinggal bertanya ke Om Google, Kota tempat tinggal saya masuk zona mana? Dari sekian banyak link yang saya buka, hingga Juni 2020, Makassar masih tergolong zona merah. Alhasil, pekan ini saya memilih Jumat tanpa Jumatan lagi.
Apa dalilnya? Anda tidak usah bertanya dalil ke saya, cukup unduh saja edaran PP Muhammadiyah yang berjudul “Edaran PP Muhammadiyah tentang Tuntunan dan Panduan Menghadapi Pandemi dan Dampak COVID-19”. Saran saya unduh dengan PDF lengkap.
Jangan hanya membaca yang sudah disadur oleh portal berita, atau hanya membaca lampirannya saja. Jika itu yang anda lakukan, saya kahwatir anda terjebak untuk membuat penyederhanaan kesimpulan, “Muhammadiyah sudah memerintahkan warganya untuk Salat Jumat.”
Bagi yang Berada di Zona Hijau, Silakan ke Masjid
Dengan berbekal edaran ‘Moehammadijah’ itu, wahai kaum muslimin yang tinggal di zona hijau, anda bisa ke masjid dengan menerapkan protokol COVID-19 secara ‘ikhlas’. Anda tak perlu lagi merasakan dilema, bahwa protokol itu bid’ah, tidak diajarkan oleh Nabi Muhamamd saw. Sebab, di sana ada argumen fikih berbasis Quran dan Hadits yang membenarkan salat dengan shaf berjarak, salat pakai masker dan lain-lain.
Tapi, ingat pakai ‘tapi’ lho ya… kemudahan fikih itu hanya berlaku bagi anda yang tinggal di zona hijau. Karena saya tinggal di Makassar, yang masih diwarna stabillo merah, maka saya tidak Jumatan. Bagaimana dengan anda?