Di bulan kelahiran Nabi Muhammad saw. kali ini kita justru mendapat kabar mengejutkan dari dunia internasional. Seorang guru di Perancis dibunuh karena ia telah menunjukkan sebuah karikatur Nabi Muhammad kepada para muridnya di kelas.
Dilansir dari detiknews, bahwa pada Sabtu (17/10/20) sudah empat orang diamankan pihak kepolisian Perancis terkait kasus yang oleh Emmanuel Macron, Presiden Perancis, disebut sebagai serangan terorisme. Lebih jauh lagi, Macron bahkan menyebutkan bahwa serangan tersebut akibat ulah kelompok Islamis. Dan Islam sebagai agama yang mengalami krisis di seluruh dunia. Pernyataan Macron ini secara cepat mendapat respons dari sejumlah pemimpin negara Islam.
Imran Khan, Perdana Menteri Pakistan, menyebut Macron telah menyerang Islam dan menghidupkan Islamophobia. Sedangkan Erdogan, Presiden Turki, bahkan langsung menyerukan untuk memboikot produk Perancis.
Aktivitas-aktivitas Provokasi Kelompok Beragama
Peristiwa di Perancis ini memang bukanlah yang pertama kalinya. Tabloid Charlie Hebdo beberapa tahun lalu juga diserang oleh sejumlah pihak karena telah mengeluarkan karikatur nabi dalam majalah mereka.
Belum lama ini juga di Swedia dan Norwegia telah terjadi aksi pembakaran Al-Qur’an oleh seorang politikus di sana. Akhirnya menyulut aksi demonstrasi besar-besaran. Aktivitas yang memprovokasi kelompok beragama, seperti membuat dan menunjukkan karikatur nabi atau membakar kitab suci sebagaimana telah terjadi di beberapa negara di Eropa, itu memang kerap kali dianggap sebagai sebuah bentuk kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Di sinilah letak perbedaan pandangan antara otoritas setempat yang berpijak pada konsep Hak Asasi Manusia (HAM) dengan umat beragama yang meyakini bahwa penodaan terhadap agama adalah salah dan terlarang.
Kebebasan yang diagungkan oleh negara-negara Barat jelas tak selamanya bisa diterapkan kepada semua pihak. Perdebatan ini lagi-lagi akan membawa kita kepada polemik terhadap universal atau tidaknya HAM yang digagas negara-negara Barat. Meski begitu, mestinya dapat dipahami bahwa agama adalah sesuatu yang sensitif dan sakral yang terdapat batas-batas yang tak boleh dilewati.
Annemarie Schimmel, seorang orientalis asal Jerman, dalam karyanya Dan Muhammad adalah Utusan Allah (1985) mengutip pernyataan Wilfred Cantwell Smith yang menyebutkan bahwa apabila ada penghinaan terhadap Nabi Muhammad, maka akan menyulut kemarahan bahkan dari kalangan paling liberal sekalipun dari umat Islam.
Begitupun Haidar Bagir, seorang cendekiawan muslim dan pendiri Mizan Group, dalam sebuah acara bertajuk “Dialog Sains Religius, Agama Saintifik” yang disiarkan kanal YouTube Penerbit Mizan pada 29 Juli 2020 yang lalu, menyebutkan bahwa aktivitas yang mencemooh agama bukan hanya memantik kemarahan kelompok ekstrimis. Tetapi kelompok yang awalnya moderat sekalipun bisa menjadi ekstrimis apabila keyakinan agama mereka selalu menjadi bahan olok-olokan.
Bukan Kebebasan Berekspresi, Tapi Intoleransi
Maka penodaan terhadap agama yang menyinggung umat beragama janganlah dilihat hanya sebatas sebagai kebebasan berekspresi dan berpendapat. Itu merupakan sebuah sikap intoleransi yang pasti akan menyinggung siapapun yang meyakini agamanya secara tulus, dan membelanya atas nama kebebasan, apalagi ditambah menuduh mereka yang tersinggung sebagai kelompok ekstrimis, hanya akan menambah api semakin panas.
Tindakan main hakim sendiri terhadap pelaku penodaan agama sebagaimana halnya terjadi di Perancis jangan hanya menyalahkan adanya paham ekstrimisme beragama semata. Namun, juga disebabkan karena ketidakhadiran otoritas pemerintah dan keamanan dalam menangani kasusnya. Sehingga, ada pihak yang terpantik untuk menghukum dengan caranya sendiri. Tentu aksi main hakim sendiri dan tindak kekerasan yang sembrono memang tak dapat dibenarkan. Tetapi semestinya ini menjadi evaluasi bersama.
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia dan negara yang kerap kali mengkampanyekan moderasi beragama, sudah semestinya Indonesia lebih berperan aktif memahamkan hal ini kepada dunia internasional. Bahwa aksi-aksi yang penuh provokasi seperti membakar kitab suci atau membuat karikatur nabi, lalu membelanya atas nama kebebasan, kemudian memaksakan nilai kebebasan itu kepada umat Islam, hanya akan memperkeruh kondisi dan memperlebar jurang antara Islam dan Barat.
Kehadiran organisasi Islam besar di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang memiliki koneksi kepada para intelektual di Barat juga diperlukan untuk memahamkan hal ini. Lagi-lagi perlu diperkuat dialog antardua peradaban, antara Islam dan Barat, agar saling menghormati, tanpa intervensi dan melewati batas keyakinan masing-masing.
Editor: Lely N