Masih dalam upaya bertahan melawan corona, pemerintah dalam rangka meringankan beban warga negaranya memilih jalan mengeluarkan kartu prakerja. Hal ini diterapkan bagi para pekerja yang dirumahkan atau di-PHK secara besar-besaran oleh instansi dan perusahaan di Indonesia selama pandemi. Program ini resmi dibuka mulai 11 April 2020.
Pertanyaannya apakah kartu sakti yang menggaji pengangguran ini sama dengan beasiswa? Apakah kartu prakerja ini lebih baik dan aplikatif dari pada BLT (Bantuan Langsung Tunai)?
Kartu Prakerja
Pembahasan mengenai efisiensi kartu prakerja atasi pengangguran, memicu terjadinya puncak pemberitaan pada 13 April lalu, dengan total 4.593 artikel mengenai Kartu Prakerja dinaikkan media online. Disusul 18 April sebanyak 112.899 mention warga Twitter mendominasi percakapan Kartu Prakerja. (Data Ismail Fahmi dalam tulisan “Kartu Prakerja: Polemik dan Diskursus Publik“)
Ketika parlemen negara lain fokus terjun langsung memberi makan warga negaranya di tengah corona, wakil kita di Senayan ketika dikritik justru berbalik menyerang. Tidak mengakui bahwa mereka sembunyi dan malah melempar isu lain. Seperti Penetapan Darurat Sipil sebagai solusi di masa pandemi.
Pada saat pemerintah menolak diajak kompromi, saat itu juga demokrasi negeri ini terancam. Dilansir Kompas.com, Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Arteria Dahlan meminta Najwa Shihab meminta maaf kepada DPR secara institusional atas kritik provokatif yang dilayangkan untuk para puan dan tuan dalam gedung DPR di media Youtube pribadinya.
Konsep Kartu Prakerja
Direktur Komunikasi Manajemen Pelaksana Prakerja, Panji Winanteya Ruky menyatakan, “Program kartu prakerja merupakan bentuk perlindungan sosial dan stimulus ekonomi dengan konsep peningkatan kemampuan keterampilan melalui pelatihan sehingga target yang dalam hal ini WNI minimal berusia 18 tahun bisa mendapat pekerjaan atau menjadi wirausahawan.”
Diketahui, setiap peserta yang berhasil lolos mengikuti pelatihan ini maka ia akan diberi dana sebesar 3,55 juta dalam kurun waktu 4 bulan. Uang ini guna membayar pelatihan dan membeli sembako di rumah. Jumlah peserta yang mendaftar sudah sebanyak 5 juta lebih dan terverifikasi 1,63 juta orang sudah selesai menyelesaikan proses pendaftaran.
Mungkin kebanyakan dari kita sudah banyak yang paham bahwa mencari mata pencaharian itu tidak senikmat menimba ilmu pengetahuan. Hingga 18 April kurang lebih 3 juta orang pekerja formal dan informal yang di PHK dan dirumahkan, terjadi lonjakan dibanding awal bulan tesebut. Program kartu prakerja ini menyasar anggaran sampai 20 triliun dengan jumlah target 5,6 juta orang.
Anggaran dan Dasar Hukum
Mengkaji kartu prakerja tentu tidak melewatkan bab anggaran sebagai dasar hukum. Ketika berbicara anggaran kartu prakerja, hanya ada dua poin penting: Pertama, anggaran secara keseluruhan dari yang awalnya 10 triliun naik menjadi 20 triliun.
Kedua, khusus untuk kursus atau pelatihan online terbilang 5,6 triliun. Karena nominal ini saya ragu terhadap alasan apapun dari pemerintah yang menyebutkan saat ini pemerintah kesulitan keuangan. Kira-kira uang dari sub anggaran mana yang dipakai untuk pelaksanaan kartu prakerja? Menimbang pemerintah dan DPR sudah mengetuk APBN 2020 serta tentu tidak dianggarkan program kartu prakerja bagi pengangguran.
Nampaknya, meski kartu prakerja memiliki legal standing Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2020 tentang pengembangan kompetensi kerja melalui program kartu prakerja yang kemudian implementasi pengelolaan insentif kartu prakerja diejawantahkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 25 tahun 2020.
Agaknya negara hukum ini selalu bermasalah dengan prodak hukumnya. Belum lagi yang terhangat Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Masalah mendasar dalam Perpres Prakerja dan Perpres BPJS ialah tidak menangkap poin masalah itu sendiri, sehingga kebijakan yang dihasilkan pun melenceng, solusinya kabur. Tujuannya ingin meningkatkan kompetensi dan mengembangkan link and match dengan dunia kerja, tapi didesain program beli klik video pelatihan di marketplace. Berbiaya Rp5,6 triliun pula. Orang sudah kelaparan disuruh ikut pelatihan.
Dalam poin menimbang Perpres tentang BPJS termaktub, “…untuk menjaga kualitas dan kesinambungan program Jaminan Kesehatan, kebijakan pendanaan Jaminan Kesehatan termasuk kebijakan Iuran perlu disinergikan dengan kebijakan keuangan negara secara proporsional dan berkeadilan… “
“Padahal putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor: 7 P/HUM/2020—yang permohonan perkaranya diajukan oleh Ketua Umum Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir—tidak mengamanatkan seperti disebut dalam pertimbangan Perpres BPJS diatas. MA itu bilang dalam pertimbangannya bahwa dampak sistemik kesulitan keuangan BPJS itu salah satunya disebabkan adanya kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS.” Tulis Agustinus Edi Kristianto selaku Direktur Utama GressNews.
Dampak sistemik berupa terjadinya defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan itu tidak boleh dibebankan kepada masyarakat dengan menaikkan kembali iuran, ngeprank itu namanya. Dapat kabar BPJS turun, eh 13 Mei lalu diberitakan bakal dinaikkan lagi. Cukup youtuber yang iseng, pemerintah jangan. Hajat hidup orang banyak kok dipermainkan.
Jalan Merampok Negara
Program senilai total Rp 20 triliun menuai kritik luas, Jumhur Hidayat (mantan Kepala BNP2TKI), menyoroti alokasi anggaran sebesar Rp 5,6 triliun bagi platform penyedia pelatihan online yang dia sebut ‘pemain tengah’ di kartu prakerja, bagaimana bisa mengelola dana sebesar itu tanpa ada bukti kompetensi yang valid.
Hitungannya kan seperti ini, “Jika membuat 2.000 konten pelatihan melalui video yang masing-masing materi pelatihan biayanya Rp 70 juta, maka hanya Rp 140 miliar, kenapa bisa menjadi 5,6 triliun?. Negara juga tidak perlu lagi membayar 8 provider digital platform yang mengharuskan negara membayar lebih. Artinya terdapat keuntungan 40 kali lipat atau sekitar 4.000 persen yang bisa dikantongi perusahaan platform digital tersebut,” terangnya lebih jelas.
Sebab itu salah satu foundernya mundur. Sebagai pertanggung jawaban publik atas posisinya sebagai perangkat pemerintahan. Maka wajar jika kecurigaan publik terhadap niat baik (good will) pemerintah ini tidak didapat, malah sebaliknya.
Mengingat angka 5,6 triliun ini luar biasa banyak hanya untuk satu proyek pemerintah yang sama sekali tanpa pertimbangan yang matang dan panjang. Terlebih efisiensi sasaran, seharusnya Presiden Jokowi benar-benar menggodok 4 poin mendasar sebelum memutuskan melaksanakan pengadaan kartu prakerja, yaitu niat, proses, dampak, dan hasil. Lagian itu uang rakyat, sama sekali bukan hak milik oknum negara.
Niat menghadirkan peran keadilan negara sebagai wadah kedaulatan rakyat tapi proses pelaksanaannya tidak dijalankan dengan bersih dan jujur. Maka dampaknya upaya ini justru terkesan menjadi proyek selepas pemilu sehingga hasilnya pun tidak relevan sebagai alternatif di masa pandemi. Dapat dikatakan bahwa itu benar-benar penyelewengan dana. Power without knowledge, ya ambyar!
Editor: Nabhan