Namanya akan selalu dicatat dalam tinta emas sejarah Indonesia. Meski sudah banyak orang melupakan jasa dan perjuangannya. Hidup dan dedikasinya sesuai dengan apa yang sering ia ungkapkan “Hidup Itu Berjuang”. Perjuangannya memperjuangkan Islam dan kebangsaan adalah perjuangan panjang dalam hidupnya.
Dalam setiap episode penting perjuangan bangsa ini, peranannya tidak bisa kita abaikan. Kasman tumbuh besar dalam ayahnya yang merupakan seorang modin (penghulu) desa. Ayahnya juga seorang carik pada waktu penjajahan Hindia Belanda.
Kasman lahir pada 25 Februari 1904 di Purworejo. Nama belakangnya Singodimedjo menyimpan cerita yang heroik. Kasman yang terbiasa hidup kesusahan tak pernah menyerah untuk berjuang. Ia ingin membiayai ayah dan ibunya naik haji. Keinginan itu terpenuhi, ayah dan ibunya berangkat ke tanah suci. Waktu itu, ia mengganti nama ayahnya menjadi Haji Muhammad Tohir. Suratan takdir, ayahnya selepas haji tidak kembali ke tanah air. Akhirnya, Kasman mengubah namanya menjadi Kasman Singadimeja. Singadimeja adalah nama belakang ayahnya.
***
Riwayat pendidikan Kasman pun cukup berlika-liku. Semula ia mengalami pendidikan di Purworejo. Selepas itu, ia melanjutkan pendidikan di HIS met den Bybel di Kwitang Batavia Centrum. Lalu ia pindah di HIS (negeri) Kutoarjo dengan ijazah sembari menjadi pembantu di ambtenaar-ambtenaar, tidak digaji namun hanya mendapat makan dan penginapan gratis.
Ia melanjutkan ke MULO namun harus berpindah dari Kedu ke Magelang. Kasman sempat mengenyam di STOVIA dengan mendapat beasiswa kelas I sebelum STOVIA dihapus dan berubah menjadi GHS (Geneskundige Hooge School). Kasman pun akhirnya harus kembali ke AMS (setingkat SMA) agar bisa masuk ke GHS.
Ia berhasil masuk di GHS selama dua tahun. Karena masuk ke pergerakan pemuda dan dianggap berbahaya, beasiswanya dicabut dan dikeluarkan karena dua tahun tidak naik kelas. Ia pun mencari penghidupan sendiri selama satu tahun sebelum melanjutkan ke Rechts Hooge School (RHS) atau perguruan tinggi hukum di Batavia. Walau agak lambat, karena harus membiayai ketiga adik-adiknya, akhirnya ia pun berhasil mengantongi Meester in de Rechten (Mr.) di tanggal 26 Agustus 1939.
Riwayat Perjuangannya
Perjuangan Kasman dimulai saat ia berusia sangat belia yakni 20 tahun. Di usia muda itu, ia sudah aktif di organisasi kepemudaan Jong Java. Kasman hendak mengusulkan pada Kongres Jong Java di tahun 1924, untuk mengubah asas organisasi ini karena kebanyakan pemuda di organisasi ini adalah muslim.
Usulan itu ditolak, Kasman sedih, namun kesedihan itu tidak berlarut lama. Ia bersama Agus Salim, Sjamsuridjal, pada tanggal 1 Januari 1925 ia mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). Kepemimpinan JIB semula dipegang Sjamsuridjal, kemudian tahun 1926 di Solo, Wiwoho Purbohadidjojo, lalu di tahun 1930 Kasman Singadimeja terpilih sebagai ketua umumnya.
JIB memang bukanlah organisasi politik, namun JIB dimaksudkan untuk mendidik para anggotanya memperdalam agama Islam. Maklum di masa itu, tantangan masyrakat dan pemuda waktu itu masih banyak tradisi berjudi, berzina, mabuk dan lain-lain yang dibawa oleh Belanda.
Ia mulai aktif dan bergerak di Muhammadiyah sejak tahun 1935. Kasman juga pernah memperoleh pengajaran langsung dari Kiai Ahmad Dahlan pada tahun 1920-an (Majalah Historia, 10 Nov 2018). Ia langsung menyita perhatian semenjak tahun 1940-an yang berucap “Untuk Indonesia Merdeka”! pada saat Konperensi Muhamamdiyah se Jawa Barat yang berakibat dirinya diciduk dan ditangkap oleh Polisi Rahasia Belanda. Lalu namanya menghilang.
Di tahun 1941, ia telah menjadi agronom pada dinas penerangan sampai dengan 1943. Di saat itulah terjadi pendudukan militer Jepang. Namanya mencuat kembali saat hendak menjadi Daidenco Peta. Ia sudah puasa, menguruskan badan, dan membuat badannya lemas agar tidak diterima di Peta karena bencinya terhadap penjajah Jepang.
Namun usahanya itu tidak berhasil. Masuknya ke PETA membuat jaringan perjuangannya menjadi semakin luas. Ia pun diajak Soekarno untuk menjadi BPUPKI. Dalam organisasi itulah peranan Kasman tidak bisa dilupakan sejarah.
***
Keteguhan dan prinsipnya dalam memperjuangkan islam harus beriringan dengan keteguhan dan prinsipnya dalam memperjuangkan bangsa dan negaranya. Kasman beserta Ki bagus hadikusumo merasakan betapa kepentingan bangsa dan negara adalah lebih utama ketimbang kepentingan golongan meski masyarakat indonesisa mayoritas beragama Islam. Peranan Kasman Singadimeja dalam melobi dan menundukkan pandangan Ki Bagus hadikusumo akan dicatat selalu oleh sejarah. Berkat kepiawaiannya ia berhasil untuk meyakinkan Ki Bagus hadikusumo untuk menghapus bagian sila pertama yang berbunyi: “Dengan kewajiban menjalankan sjariat Islam bagi pemeluknja”. Kiprahnya memperjuangkan Islam dalam laku dan payung kebangsaan dibuktikan dengan perjuangan dan laku tindakannya. Ia tidak ingin bangsa yang dicita-citakannya hancur dan pecah.
Pada masa kemerdekaan, peranannya seperti tidak pernah surut. Ia menjadi aktor sejarah dalam perjalanan bangsa kita. Ia menjadi ketua KNIP (cikal bakal DPR). Setelah kemerdekaan, tepatnya di tahun 1945-1946 ia menjadi Jaksa Agung Indonesia yang merintis dan mempelopori penegakan hukum di Indonesia. Di masa kabinet Amir Sjarifuddin II (1947-1948), Kasman menjabat sebagai Menteri Muda Kehakiman.
Kiprah Kasman Singadimeja di Persyarikatan
Selain di pemerintahan, ia adalah pejuang Muhammadiyah tulen. Wasirah (2009) dalam penelitiannya berjudul Kasman Singadimeja dan Aktifitasnya menuliskan kiprah Kasman saat di Muhammadiyah. “Dengan giat dia mengikuti pengajian-pengajian Cabang Betawi di Gang Kenari dan Kramat yang dipimpin Haji Hidayatullah dan Kartosoedharmo sejak 1923, dan resmi menjadi anggota Muhammadiyah di tahun 1949.
Dalam Muhammadiyah itulah ia banyak belajar agama Islam, organisasi, mengenal masyarakat dan sebagainya. Ia aktif dalam Muhammadiyah selain menjadi guru di AMS Muallimin, Muallimat, MULO dan HIK yang semuanya bernaung di Muhammadiyah Jakarta. Karena keaktifannya ia diangkat menjadi Ketua Muhammadiyah CabangJakarta.
Ia menjadi guru besar luar biasa di PTIA (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an) di pasar Jumat dan IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat. Dalam tiap periode atau tiga tahunan di tahun (1949-1962), (1968-1977), selalu dipilih menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jakarta. 24 Desember 1977 ia mendapat gelar Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Muhammadiyah oleh Prof. Ismail Sunny.”
Sikapnya yang teguh berjuang patut kita teladani. Ia pernah dijebloskan ke penjara oleh Soekarno di tahun 1966 namun tak mendendam kepada Soekarno. Di era Orde Baru suara kritisnya tetap terdengar begitu keras sehingga ia tidak mendapat gelar Bintang Mahaputera.
Hingga akhir hayat, hidupnya tidak berhenti didedikasikan untuk perjuangan Islam dan bangsanya. Seperti yang ia tuturkan dalam bukunya Masalah Kedaulatan (1977) : …saya ingin berjuang membela cita-cita Muhammadiyah”.
Ia menghembuskan nafas terakhirnya 25 Oktober 1982 di Tanah Kusir Jakarta Selatan. Panggung podiumnya boleh saja tiada, namun jejak perjuangannya akan terus bergema.
Editor: Yahya FR