Akhlak

Cara Agar Muslim Selalu Mengefektifkan Amal Saleh

3 Mins read

Hirarki Amal

Amal (amal) dapat diterjemahkan menjadi tindakan, perbuatan, laku atau aktivitas. Amal merupakan perkara yang diperlukan dalam beragama, bahkan manifestasi agama itu adalah amal itu sendiri. Tanpa amal, diin tiada. Tiada amal, tiada kepatuhan kepada Allah. Kepatuhan kepada Allah akan terbukti benar dengan adanya konsekuensi amal nyata dalam diri seseorang.

Amal itu hirarkinya berada setelah pengetahuan (al-`ilm) dan keinginan (al-niyah). Jelasnya, amal hanya akan terjadi dengan adanya pengetahuan dan kehendak. Karenanya, Allah senantiasa menyandingkan amal dengan iman dalam Al-Qur’an [misalnya, QS. 103: 3]. Mengapa iman?

Pertama, iman adalah membenarkan, meyakini dan mengakui. Puncak mengetahui (`ilm) obyek adalah keyakinan, pembenaran dan pengakuan terhadap resiko positif dan atau resiko negatif-nya obyek tersebut. ini lebih dari sekadar mengakui keberadaannya, tapi juga menghukuminya dengan tepat.

Misalnya, mencuri adalah mengambil barang orang lain yang disimpan rahasia dengan cara sembunyi-sembunyi. Mencuri secara umum adalah tindakan buruk. Pernyataan pertama adalah pengetahuan. Pernyataan kedua pun perngetahuan. Bedanya, yang pertama tidak akan melahirkan tindakan. Yang kedua inilah yang melahirkan tindakan.

Semakin menyeluruh pengetahuan terhadap obyek, maka ia akan semakin tegas menghukuminya dan akhirnya akan semakin segera mewujudkannya dalam tindakan. Ringkasnya, salah satu sebabnya iman selalu disebut bersanding dan lebih dahulu dari amal saleh adalah ilmu yang memuncak menjadi keyakinan adalah prasyarat terjadinya sebuah tindakan dalam diri seseorang.

Kedua, obyek pengetahuan itu ada yang abstrak dan ada yang konkrit. Obyek konkrit dapat dibenarkan atau disalahkan bahkan dilakukan atau ditinggalkan dengan melihatnya, merabanya atau aktivitas indera lainnya. Obyek abstrak, atau terlebih lagi obyek spiritual, sering sulit diyakini kebenarannya dengan bertumpu pada indera manusia.

Baca Juga  Jangan Didik Murid Menjadi Materialistik

Oleh sebab itu, Allah menyebut iman di awal amal saleh yang mengejawantahkan perintah-perintah dari Dzat Yang Maha Spiritual. Di sini, iman lebih dominan daripada pengetahuan inderawi. Wallahu a`lam.

Ragam Amal

Amal, dilihat dari jarak tujuannya, terbagi menjadi amal ukhrawi dan amal duniawi. Amal yang bertujuan jangka panjang, dan yang bertujuan jangka pendek. Kategori ini tidak semestinya dipertentangkan; atau dikuatkan salah satunya dengan merugikan yang lainnya.

Jelasnya, seseorang yang konsentrasi dengan amal bertujuan jangka panjang, maka tujuan jangka pendeknya teraih dan tertata. Sebaliknya, siapa yang menghendaki amal berjangka pendek, maka biasanya tujuan jangka jauhnya tidak bagus tertata, meski amal jangka pendeknya tetaplah memberikan resiko bagi dirinya di masa depannya.

Inilah penjelasan istinbath ulama, “Amal saleh tidak memasukkan seseorang ke surga Allah, tapi menentukan posisi tingkatan seseorang di surga-Nya.” Ini seperti informasi khabar, “Azab yang paling ringan adalah azabnya Abu Thalib. Kakinya menginjak bara neraka dan ubun-ubunya mendidih.” Artinya, semua amal jangka dekat, baiknya maupun buruknya, menentukan posisi tingkatan seseorang di surga (darajat) maupun neraka (darakat).

***

Amal pun, dilihat dari karakternya, dibedakan menjadi amal positif dan ada amal negatif. Amal positif dalam Al-Qur’an disebut amal saleh dan amal terbaik (ahsan a`mala, QS. 67: 2). Sebaliknya, amal negatif disebut dengan beberapa istilah: jelek (sayyi`, QS. 9: 102), amal paling sia-sia (QS. 48: 1), amal merugikan (QS. 18: 103), dan lain-lain.

Ringkasnya, saat berbicara perihal amal, maka Al-Qur’an membedakan amal baik dan amal buruk, serta membedakan kualitas amal baik dan kualitas amal buruk. Hasil logisnya, amal dari sisi kualitas dapat diklasifikasikan dalam empat kategori, yaitu: amal terbaik, amal baik, amal buruk dan amal terburuk.

Baca Juga  Ramadhan, Momentum Gembleng Kesalehan Sosial

Sekali lagi, jika diamati ilustrasi Al-Qur’an perihal masing-masing amal itu pun dengan menggunakan ungkapan yang berbeda-beda, baik ungkapan konotatif maupun denotatif-nya. Intinya, amal itu ada yang baik dan buruk. Dua jenis amal itu pun ada yang terbaik maupun terburuk. Rentang antar kategori amal-amal itu pun tidak bersifat matematis tunggal.

Artinya, jika amal baik itu nilainya 1 dan nilai terbaik itu 10, maka selisihnya cuma 9 poin. Logika ini bisa jadi salah. Sebabnya, antara nilai 1 dan nilai 2 secara matematis masih ada bilangan 1,1 hingga 1,9. Lebih dari itu, tidak ada nilai 1 murni dan tidak ada nilai 10 murni.

Dalilnya, dimensi amal itu ternyata tidak tunggal. Amal memiliki dimensi kognitif, psikomotorik dan fisik. Demikian yang paling terlihat dan mudah ditangkap adalah dimensi fisik amal, sedang dimensi lain itu tidak terukur oleh penglihatan manusia. Inilah makna ungkapan, “Sekiranya aku bisa menikmati amal ikhlas semenit saja lebih aku sukai dari seluruh amalku (yang tidak ikhlas).”

Konsistensi Amal

Walhasil, muslim itu sejatinya hanya diminta bekerja dan beramal, sedangkan perihal berkualitas-tidaknya tidaklah perlu dirisaukan atau dipikirkan.  Meski begitu, bukan berarti tidak ada parameter amal berkualitas. Dalam bahasa lain, dalam Islam ada tanda-tanda parametris yang menunjukkan amal berkualitas atau tidak. Lantas apakah itu?

Amal baik itu ditandai dengan ikhlas (loyalitas, ketulusan) dan shawab (kebenaran, ketepatan). Yang pertama berdasarkan hadis Nabi, “(Terjadi atau sehatnya) amal itu hanya dengan niat.” (HR. Bukhari). Yang kedua berdasarkan hadis, “Setiap perkara yang tiada atasnya perintah kami, niscaya tertolak.” (HR. Muslim).

Keikhlasan amal ditandai dengan menetapkan motivasi melakukan perbuatan semata karena Allah. Kebenaran amal memiliki dua dimensi, yaitu: (a) menyesuai dengan perintah Allah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau bener dalam bahasa orang Jawa; dan (b) menepati tuntutan keadaan sewaktu (al-waqi`) yang dialami pelakunya, atau pener.

Parameter ikhlas, benar dan tepat inilah yang membagi manusia, dilihat dari hasil kerjanya, menjadi: muhsin (profesional) (QS. 3: 134) dan `amil (pekerja) (QS. 3: 135). Poin pembedanya ada pada konsistensinya dalam menuntaskan pekerjaan. Karena itulah, amal terbaik adalah amal yang paling konsisten meski berjumlah sedikit. Logikanya, konsistensi memperbesar volume perbuatan, dan amal besar tanpa konsistensi akan mengecil seiring waktu. Itulah rahasia kita memohon kepada Allah dengan husni `ibadatika dan bukan katsrati ibadatika. Wallahu a`lam.

Editor: Soleh

Baca Juga  Hikmah di Balik Simbol-Simbol Ibadah
Ahmad Nurrohim
1 posts

About author
Dosen Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta Minat Kajian Tafsir dan Pendidikan
Articles
Related posts
Akhlak

Mentalitas Orang yang Beriman

3 Mins read
Hampir semua orang ingin menjadi pribadi yang merdeka dan berdaulat. Mereka ingin memegang kendali penuh atas diri, tanpa intervensi dan ketakutan atas…
Akhlak

Solusi Islam untuk Atasi FOPO

2 Mins read
Pernahkan kalian merasa khawatir atau muncul perasaan takut karena kehilangan atau ketinggalan sesuatu yang penting dan menyenangkan yang sedang tren? Jika iya,…
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds