Pada tanggal 29 Juni 2020, Mojok.co menerbitkan artikel yang ditulis oleh Sdr. Afthonul Afif dengan judul Ketidakbahagiaan dan Masa Depan Spesies Kita. Mas Afif, begitu saya biasa memanggilnya, adalah kakak kelas saya, tapi beda prodi, di Fakultas Psikologi UGM. Pada prodi masing-masing, kami dilatih dalam tradisi yang berbeda. Ia dilatih dalam tradisi psikologi sains, sedangkan saya dilatih dalam tradisi psikologi profesi.
Atas dasar perbedaan itu, Mas Afif yakin  bahwa tulisan terakhirnya tak kan saya sukai. Dan, ya, jika saya menyukainya, saya tak kan menulis sekarang ini. Tulisan ini saya niatkan sebagai penyeimbang tulisan Mas Afif terakhir yang sedikit benarnya, tapi banyak salahnya.
Kebahagiaan Manusia
Pada artikel tersebut, Mas Afif menyoroti fenomena obsesi manusia pada kebahagiaan. Obsesi itu ia katakan menghasilkan sikap yang tidak realistis, yaitu selalu ingin mengenyahkan ketidakbahagiaan. Bagi Mas Afif, kebahagiaan dan ketidakbahagiaan adalah dua hal yang melekat dalam diri manusia, keduanya datang bergantian ibarat siang dan malam. Meskipun bagi Mas Afif, kebahagiaan dan ketidakbahagiaan itu bukan seperti siang dan malam di bumi Indonesia, tapi seperti siang dan malam di negara subtropis yang sedang mengalami musim dingin. Artinya, ketidakbahagiaan yang lebih banyak dirasakan daripada kebahagiaan adalah fitrah manusia.
Untuk mendukung pernyataannya tersebut, Mas Afif mengutip pendapat Mihaly Csikszentmihalyi tentang kecenderungan pikiran manusia yang mudah terjatuh pada ketidakbahagiaan (dugaan saya, yang dimaksud oleh Mihaly C adalah pikiran manusia yang lebih mudah terjebak pada pikiran negatif daripada positif).
Sebagai ilustrasi, Mas Afif memberi gambaran tentang seseorang yang hendak melakukan wawancara kerja. Pada saat seseorang hendak melakukan wawancara kerja, ia menjadi lebih mudah memikirkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi daripada hal-hal baik. Dan ya, memang begitulah pengalaman saya juga.
Tapi, apakah pikiran-pikiran buruk yang muncul selama mempersiapkan wawancara kerja itu adalah bentuk ketidakbahagiaan? Apakah kekhawatiran tidak disukai dan ditolak pewawancara itu adalah tanda diri yang tidak bahagia?
Bagi saya, segala kecemasan dan perasaan tidak nyaman menjelang wawancara kerja lebih tepat disebut dengan pengalaman stress dibandingkan pengalaman ketidakbahagiaan. Dengan menggunakan ilustrasi tersebut, apakah Mas Afif berpendapat bahwa mengalami stress sama dengan menjadi tidak bahagia? Inilah pertanyaan dari saya yang belum di jawab Mas Afif di kolom komentarnya hingga tulisan ini saya tuliskan.
Tujuan Psikoterapi
Stress tentu saja bagian dari kehidupan manusia. Ia datang dan pergi setiap harinya dan menjadi bagian penting dari proses adaptasi manusia. Sekalipun menimbulkan ketidaknyamanan, namun stress diyakini memiliki dampak positif yang mendorong kita menuju pertumbuhan. Jika ada hal yang sangat tidak menyenangkan untuk dirasakan tapi baik bagi diri kita, maka itulah stress, bukan ketidakbahagiaan.
Apakah stress dan ketidakbahagiaan itu adalah dua hal yang berbeda? Ya, saya menduga demikian. Kita harus ingat bahwa stress terbagi menjadi dua, yaitu eustress dan distress. Eustress adalah stress yang membuat kita bersemangat mencari jalan keluar dan meningkatkan kemampuan, sedangkan distress adalah stress yang membuat kita lungkrah dan putus asa. Artinya, tidak semua stress menimbulkan ketidakbahagiaan.
Eustress yang berhasil diatasi akan membawa kita mencapai kebahagiaan, sedangkan distress yang berkepanjangan akan mengantarkan kita pada lubang ketidakbahagiaan. Dengan kata lain, kebahagiaan atau ketidakbahagiaan adalah hasil dari bagaimana stress itu kita proses dan selesaikan.
Selain rancu membedakan pengalaman stress dengan ketidakbahagiaan, Mas Afif juga gegabah menduga ilmu psikoterapi hanya bertujuan untuk membuat manusia selalu bahagia. Mas Afif tampaknya lupa bahwa salah satu prinsip client centered therapy yang dikembangkan oleh Carl Rogers adalah mengajak klien untuk terbuka terhadap semua pengalaman.
Ini artinya, klien didorong tak hanya menerima pengalaman positif yang membahagiakan, tapi juga menerima pengalaman negatif yang menyakitkan. Bagi Rogers, pribadi yang sehat adalah pribadi yang mau menerima dan merasakan emosi apa adanya. Inilah tujuan psikoterapi.
Baik bahagia maupun sedih, keduanya hanyalah respon emosi atas stimulus-stimulus tertentu. Bahagia atau sedih adalah konsekuensi dari proses kognitif manusia. Dan, yang perlu diketahui, merasa bahagia atau sedih, otak manusia memiliki mekanisme alami untuk membawa emosi itu kembali pada posisi netral.
Konsekuensi Logis
Di balik ruang konseling, psikolog memastikan klien mampu menunjukkan respon yang tepat dan proporsional terhadap suatu stimulus. Mampu merasa bahagia saat stimulusnya positif, mampu merasa sedih saat stimulusnya negatif, dan merasakan emosi yang netral saat memang tidak terjadi apa-apa.
Ketika seseorang tidak mampu memberi respon emosi yang tepat untuk stimulus yang tersedia, disitulah psikoterapi berperan untuk membawa emosi seseorang tersebut ke posisi netral. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang klien depresi yang berkonsultasi ke puskesmas, dengan perasaan yang sedih terus menerus, yang ia inginkan hanyalah emosi yang stabil. Â
Dalam psikoterapi, kebahagiaan tak pernah menjadi tujuan, tapi konsekuensi logis dari proses seseorang menemukan makna dan penerimaan diri.
Editor: Nabhan