Dalam tiga hari ini, saya menerima pertanyaan bertubi-tubi tentang kebakaran di tiga district di Los Angeles, Amerika Serikat. Saking banyaknya, sejujurnya hampir merasa kesal dan malas merespon. Hampir semua mata tertuju ke kota Hollywood itu dengan ragam konklusi yang disampaikan. Belum lagi berbagai media, baik media mainstream, apalagi media sosial yang menyampaikan dan menampilkan informasi yang belum tentu akurat tentang kebakaran itu.
Kenyataannya memang berbagai informasi yang menyebar ke berbagai penjuru dunia, ada yang benar dan akurat. Tapi tidak sedikit juga yang termanipulasi, bahkan dengan menggunakan “artificial intelligence”(AI) untuk menambah dan mendramatisir kejadian yang sesungguhnya. Baik pada aspek gambar/video maupun pada sisi statemen atau kesimpulan yang disampaikan.
Semua ini menunjukkan bahwa kita memang berada di alam informasi (dan misinformasi) yang sangat cepat dan tak terkontrol. Sekaligus menggambarkan bagaimana media, khususnya media sosial saat ini mampu menguasai cara pandang (mindset), persepsi dan perasaan, bahkan keyakinan banyak orang. Orang menyimpulkan dengan perasaan seraya meyakini tentang sesuatu dari informasi media yang berkeliaran.
Informasi yang tidak akurat (misinformasi) yang sampai kepada kita, baik secara keseluruhan maupun sebagian itulah yang disebut hoax. Hoax ini yang rentang menimbulkan keresahan, kesalahpahaman, bahkan fitnah di tengah masyarakat. Masyarakat dan dunia Islam diakui menjadi korban (victim) terbesar dari misinformasi yang (sebagian) memang disengaja disebarkan untuk membangun persepsi yang salah tentang Islam.
Kebakaran di Los Angeles, California
Sebenarnya kemarin saya telah menuliskan beberapa catatan singkat tentang hal ini di group-group WA dan media sosial lainnya. Catatan itu saya maksudkan untuk merespon banyak pertanyaan yang sampai ke saya pribadi, maupun lewat media sosial lainnya.
Namun karena masih saja banyak yang mengotak via WA, media sosial, bahkan menelpon, saya ingin kembali menyampaikan poin-poin yang sudah pernah saya sampaikan. Yang pasti saya dan keluarga jauh dari lokasi kebakaran. Kami di New York (Timur) sementara daerah kebakaran di Barat. Membutuhkan lima jam penerbangan untuk sampai ke daerah itu.
Pertama, Negara bagian (State) California sesungguhnya kita kenal memang sering mengalami kebakaran hampir setiap tahun. Hal itu karena daerah ini memang daerah tropis, kering dan berangin kencang.
Kedua, beberapa tahun lalu CA (California) pernah mengalami kebakaran yang lebih luas dan lama, yang menyebabkan lebih banyak rumah warga yang terbakar. Namun ketika itu tidak terlalu diekspos karena daerah itu hanyalah perkampungan penduduk biasa dan miskin yang mayoritasnya dari kalangan Hispanic.
Ketiga, Kebakaran di LA kali ini mencakup 3 lokasi. Sebagian lokasi ini Kebetulan dihuni oleh para bintang Hollywood sehingga sangat diekspos dan didramatisir. Eksposur peristiwa ini secara luas dan besar-besaran ini mengindikasikan adanya “systemic racism” (rasisme sistem) yang ada dalam masyarakat Amerika. Karena korban kebakaran kali ini adalah kelas atas dan mayoritas warga putih, maka semua harus merasakan kesedihan dan seharusnya bersimpati dan memberikan dukungan.
Keempat, banyak juga eksposur dalam bentuk video-video yang didramatisir, ditambah-tambah dan dengan komentar yang dilebih-lebihkan. Bahkan sebagian menggunakan “artificial intelligence” untuk mendramatisir peristiwa kebakaran itu. Artinya, tidak semua yang kita lihat/baca di berbagai media itu akurat alias hoax.
Kelima, sejujurnya saya pribadi tidak terlalu setuju dengan “penghakiman” bahwa peristiwa kebakaran ini karena balasan Allah atas peristiwa genosida dan pengrusakan total (total elimination) di Gaza. Bagi saya, sesuatu yang bersifat “ghoib” (theological in nature) biarlah itu menjadi ranah Tuhan. Saya teringat waktu Tsunami terjadi di Aceh, bagaimana sebagian menghakimi bahwa hal itu terjadi karena kemungkaran sudah semakin merajalela di tanah Rencong. Suatu penghakiman yang menurut saya sangat “unethical” (tidak etis) dan senseless (tidak punya perasaan).
Keenam, saya justru semakin tersadarkan bahwa ternyata Amerika mampu menyihir banyak orang untuk memberikan perhatiannya. Sehingga kebakaran pun menjadi perhatian banyak orang lain yang sebenarnya tidak punya kepentingan apa-apa. Kalau saja kebakaran ini bahkan mungkin saja menewaskan ratusan bahkan ribuan orang, seperti yang pernah terjadi di Bangladesh, apakah dunia akan seheboh ini?
Ketujuh, secara agama (Islam) saya juga mempertanyakan, apakah benar ketika ada orang, bahkan mereka yang tidak disenangi sekalipun, mendapat musibah, kita dianjurkan bertepuk tangan bergembira? Apakah secara etika, Islam mengajarkan demikian? Saya justru teringat ketika terjadi Tsunami, justru yang hadir ke Aceh adalah dua mantan Presiden Amerika; Bill Clinton dan George W Bush Jr.
Kedelapan, tidakkah kita sadari bahwa di zaman edan keterbukaan media, khususnya media sosial, terlalu mudah dan tanpa beban ada saja pihak-pihak yang dengan sengaja mengedit foto-foto/video, didramatisir lalu diviralkan. Tidak jarang pula video-video itu kemudian dibumbui pula dengan komentar-komentar yang menggunakan dalil-dalil keagamaan. Dan dengan itu pula kita merasa telah menang mengalahkan musuh (baca: Amerika).
Kesembilan, dengan melihat kepada perhatian dan respons luas umat Islam atas peristiwa ini, saya justru curiga jangan-jangan respons ini adalah bagian dari “inferiority complex” (jiwa inferior) yang melanda umat saat ini. Sebesar, sehebat, dan sepenting itukah Amerika di mata umat Islam termasuk umat Islam Indonesia?
Akhirnya, catatan saya ini tidak sama sekali menihilkan pentingnya untuk mengkritisi dengan segala daya yang ada atas kejahatan Amerika membantu pembunuhan massal dan genosida yang terjadi di Gaza. Kejahatan kemanusiaan Israel yang didukung penuh oleh Amerika harus terus dikritisi dan dilawan.
Namun hal itu tidak menutup mata bahwa Amerika sebagai bangsa (nation), bukan hanya pemerintah (government) memilki nilai-nilai positif yang perlu diapresiasi. Dua antaranya adalah satu, kebebasan beragama bagi Komunitas Muslim termasuk mendakwahkan agama ini. Dua, bahwa masyarakat memiliki kebebasan untuk mengkritisi pemerintah atas “blindness” (kebutaan) dan “heartlessness” (tidak punya hati) atas pembunuhan massal dan genosida di Gaza.
Kami Komunitas Muslim Amerika memegang nilai “wasathiyah” Atau memilih bersikap tawazun dalam menyikapi semua hal. Siap kerja sama di atas prinsip saling menghormati (mutual respect). Dan siap mengkritisi setajam-tajamnya untuk tujuan perbaikan (constructive criticism). Kami sadar jika perjalanan kami masih panjang. Jalan-jalan dan jembatan itu harus tetap kami pelihara agar kami tidak terjatuh ke dalam jurang kebinasaan. Wallahu a’lam!