M Quraish Shihab, dalam Islam yang Saya Pahami (2018) menjelaskan bahwa praktik politik dalam pandangan Islam adalah mengelola kebutuhan masyarakat guna kemaslahatan mereka-dengan perintah,larangan,tuntunan dan segala yang berkaitan dengannya termasuk menetapkan peraturan dan perundangan demi meraih kemaslahatan atau mencegah mudharat.
Namun ada Sebagian yang mempertentangkan politik dengan agama. Bukan tanpa sebab, karena praktik politik yang tidak lagi berakhlak dan melampaui batas kewajaran dengan menggunakan segala cara untuk menggapai kekuasaan.
Tapi siapa yang bisa meraih kekuasaan dengan cara yang benar-benar “bersih” secara mutlak? Terlebih itu dikaitkan dengan Islam. Demokrasi di Indonesia punya “style” tersendiri, dimana konstituen yang beragam punya banyak parameter dalam memilih pemimpin. Bagaimana umat Islam bangkit dari sisi politik tanpa menggunakan siasat yang bersih? Sementara lawan-lawan politik bertindak sebaliknya.
Dalam sejarah Indonesia, sebuah “politik Islam” selalu menjadi perhatian, baik pemerintah kolonial ataupun nasional, tentunya siapa yang “gerah” dengan agama, bisa dipastikan mereka terpapar sekularisme. Bagaimana meredam Islam sehingga tidak menjadi ancaman bagi kekuasan.
Pada perang Paderi, pemerintah kolonial berpihak pada adat apabila terjadi pertentangan antara Islam dan adat. Namun selanjutnya pada abad ke 20 hal itu berubah, tidak lagi pertentangan antara Islam vs adat, melainkan antara Islam Politik vs Islam ibadah.
Islam politik ini digawangi oleh kalangan fundamentalis, “Islam militan” dan “Islam ekstrem, pada perkembangannya Islam politik tidak diberi ruang sedangkan Islam ibadah diberikan kebebasan. Bahkan dalam perspektif lain muncul dikotomi baru dimana “Islam politik” dan “Islam ibadah” digantikan oleh Islam pro pemerintah dan anti pemerintah. Dikotomi ini sadar atau tidak datang dari masyarakat dan negara.
Kerancuan Politik
Terdapat kerancuan berfikir dalam umat islam sendiri. Kegiatan politik umat islam didefinisikan terlalu umum. Semua berpandangan pada sisi dakwah amar maruf nahi munkar dan hal-hal kemanusiaan lainnya. Inilah yang menyebabkan agama “hanyalah” kekuatan akhlak atau moral saja.
Sedangkan dalam politik, tujuan harus benar-benar spesifik. Politik adalah kekuasaan dan bukan “hanya” kekuatan moral saja. Lebih jelasnya politik adalah masalah publik, bukan ketaatan personal. Sehingga agak sulit umat Islam terlibat dalam politik karena “terpaksa” memakai konsep sekular dalam menjalankan politik. Karena tentu saja tidak semua praktek politik diatur agama. Di sisi lain label fundamentalis atau literalis diberikan kepada orang yang menghendaki islam ontentik, islam yang kaffah, suatu konsep yang “dimusuhi” kalangan barat secular.
Kuntowijoyo dalam bukunya Identitas Politik Umat Islam (1997) menggambarkan umat Islam terbagi pada dua macam kesatuan, yaitu Kesatuan subjektif dan kesatuan objektif. Kesatuan subjektif merupakan kesatuan berdasarkan kesamaan agama QS Al-Hujurat (49):10, sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara (Innamal mu’minuna ikhwah).
Kesatuan ini merupakan inti kekuatan umat Islam yang menjadi pelaku sejarah, termasuk sejarah kebangkitan Islam melalui politik. Selain itu ada kesatuan objektif, yaitu kesatuan berdasarkan biologi (manusia secara keseluruhan). Misalnya kesatuan warga negara (Nasional, Kabupaten dan desa), antar negara (ASEAN, APEC dll). Kesatuan ini juga perlu menjadi kekuatan, sebab cita-cita umat Islam harus direalisasikan lewat sarana objektif bersama orang lain, termasuk non muslim.
Bagaimana Umat Islam Bisa Bangkit?
Kuntowijoyo memberikan gagasan bagaimana umat Islam bisa bangkit, khususnya dalam bidang politik. Pertama yaitu gradualisme (siasat untuk perubahan sosial). Kita semua percaya gradualisme merupakan jalan yang paling aman, semua dilakukan bertahap, kesatuan subjektif dan objektif tadi memang harus dimulai dari lingkungan sekitar.
Tahapan-tahapan perubahan itu harus dilakukan secara sungguh-sungguh. Seperti proses penciptaan semesta. Bisa saja tuhan menciptakan semesta dengan sekali saja Kun fayakun (jadilah, maka jadilah), namun tidak seperti itu. Allah menciptakan kehidupan ini secara bertahap. QS Al-Insyiqaq (84):19, sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).
Kedua, konsensus. Pada dasarnya islam tidak pernah mengajarkan konflik sebagai metode, namun tidak mengesampingkan akan adanya konflik. Sejatinya kita berupaya bersikap lemah lembut dalam melakukan perubahan ini. QS Ali-Imran (3):159, maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut.
Dengan menggunakan konsep ini, saya meyakini kebangkitan Islam akan tercapai, khususnya dalam bidang politik, tentu saja ini dilakukan secara gradual, bersungguh-sungguh, dan dengan konsensus. Kita bisa melakukan semua ini bersama-sama dengan non muslim lainnya. Karena kebangkitan Islam dalam politik yang kami maksudkan bukannya dalam konsep Khilafah, melainkan demokrasi Pancasila sebagaimana UUD kita.
Ini yang menjadi dasar umat Islam, dibalik gempuran paham sekularisme dan turunannya. Kita bisa merebut kembali kejayaan itu, bertahap dan tanpa kekerasan. Sesuai tesis Huntington, Islam merupakan “ancaman” bagi dunia barat. Namun berbeda dengan Huntington yang menuduh Islam militan sebagai pemicu. Saatnya Islam moderat yang mungkin bisa mengambil kendali.
Editor: Dhima Wahyu Sejati