Aksi 212 masih menjadi sorotan bagi kalangan peneliti dan akademisi, baik di dalam maupun luar negeri. Beragam teori muncul untuk menjelaskan bagaimana peta politik umat Islam di Indonesia terkini. Dalam tilikan M. Amin Abdullah, Aksi 212 tidak bisa lepas dari pengaruh peristiwa akbar Reformasi (1998) yang telah membuka keran demokrasi di Indonesia. Alam demokrasi memberikan ruang kebebasan bagi tiap individu maupun kelompok untuk menyampaikan aspirasi kepada negara.
Ketika aspirasi Umat Islam lewat organisasi-organisasi Islam maupun Partai-partai Islam tidak terakomodasi dan tersalurkan, maka lahirlah gelombang massa oposisi yang memiliki kepentingan politik tertentu di luar organisasi-organisasi Islam maupun Partai-partai Islam yang telah mapan.
Bagaimana latar belakang, proses pembentukan, dan dampak dari munculnya massa oposisi Islam di Indonesia? Redaksi IBTimes.ID mendapat kesempatan untuk berdiskusi bersama mantan Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah yang juga mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga belum lama ini.
Apa yang menyebabkan Aksi 212 begitu fenomenal?
Sebetulnya, saya melihat ada dua penyebabnya. Pertama, situasi di tanah air pasca Reformasi yang berubah total. Itulah era transformasi secara besar-besaran di Indonesia. Salah satu implikasinya adalah desentralisasi yang melahirkan Perda-perda Syariah, muncul kebebasan pers, kebebasan berasosiasi atau berorganisasi. Kedua, situasi di luar negeri juga turut men-support kondisi di dalam negeri.
Pasca tahun 1990, ada gerakan Trans-nationalism yang telah “memporak-porandakan” Timur Tengah. Sampai saat ini, gerakan ini belum juga selesai. Nah, umat Islam di Indonesia banyak juga yang berafiliasi dengan gerakan-gerakan di Timur tengah, entah lewat mereka yang sedang studi di luar negeri atau lewat media sosial yang begitu mudah diakses. Dua penyebab itulah, saya kira, yang menjadikan peta politik dan pemikiran umat Islam di tanah air berbeda dengan apa yang terjadi pada era Orde Baru.
Bagaimana pengaruhnya terhadap pemikiran Islam di Indonesia?
Saat ini, kita sedang memasuki fase demokratisasi dalam pemikiran Islam. Ada dua jenis wajah Islam di Indonesia. Saya meminjam term Ibrahim Abu Rabi’ untuk menginisiasi apa yang disebut dengan Official Islam. Wajah Islam dalam pengertian elite, seperti kita menyebut ada Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis, Perti, Nahdatul Wathan, dan lain-lain. Karena era demokratisasi yang terbuka, maka muncullah Oppositional Islam.Di sini, posisi state pun bagian dari Official Islam karena ada Kementerian Agama.
Aksi 212 dalam kacamata ini termasuk dalam kategori Oppositional Islam. Mereka bukan sekedar ingin beda dengan Official Islam, tetapi juga ingin berubah bersama state, namun di luar elite (Official Islam). Harus dicatat di sini bahwa mereka yang ikut Aksi 212 sebagian besar dari kalangan warga Muhammadiyah dan NU. Ini berarti bahwa gejala Oppositional Islam telah masuk ke dalam tubuh ormas-ormas yang mapan.
Orang-orang Muhammadiyah dan NU di luar struktur elite rupanya juga memendam sesuatu, memiliki impian atau aspirasi, supaya mereka bisa bertindak seperti apa yang dilakukan oleh para elite kedua ormas ini. Itulah yang perlu kita sikapi secara kritis. Gejala semacam ini memang dampak dari worldview dalam demokrasi, karena setiap individu memang dijamin kebebasan untuk berpendapat, menyalurkan aspirasi. Saya amati, pasca Aksi 212, Conservative Turn memang menguat kembali dan bertujuan untuk meraih kekuasan politik. Saya menyebut gejala ini sebagai highly political spirituality, yaitu mereka mengangkat simbol-simbol dan spiritualitas Islam tetapi untuk tujuan politik kekuasaan.
Dalam konteks semacam ini, kita tidak bisa melihat Islam secara monolitik. Wajah Islam itu bermacam-macam. Di dalam negeri saja, hitungannya sudah tidak cukup menggunakan jari-jari. Kita sebut saja HTI, FPI, Laskar Jundullah, Ansharut Tauhid, Ansharud Daulah, Mujahidin, dan lain-lain. Nah, kelemahan kita adalah bagaimana berinteraksi secara sosiologis-politis dengan kelompok-kelompok seperti itu. Jujur saja, dalam hal ini kita memang baru belajar.
Mungkinkah kita terlambat dalam mengatasi persoalan ini?
Saya kira, kita belum terlambat mempelajari bagaimana pola-pola interaksi sosiologis-politis dengan kelompok-kelompok tersebut. Sebab, menurut saya, di Indonesia tidak ada kejadian yang sampai brutal. Inilah saya kira nilai-nilai keindonesiaan yang perlu dirawat secara terus menerus. Berbeda dengan yang terjadi di Timur Tengah, semuanya terjadi secara brutal dan berdarah-darah. Baik di Irak, Yaman, Saudi, Mesir, Lybia, Suriah, dan lain-lain, sebenarnya problem intinya sama, antara elite dan oposisi.
Mengapa saya katakan kita belum terlambat? Karena apa yang terjadi di Indonesia adalah competing discourse, entah di media atau di forum, tidak membawa senjata. Inilah yang harus dirawat dengan baik. Jangan sampai “Oposisi Islam” di Indonesia menjadi milisi. Ini akan sangat berbahaya. Apa yang terjadi di Timur Tengah bisa terjadi di Indonesia jika mereka, Oppositional Islam, berubah menjadi milisi.
Dalam situasi ekstrim, cara berpikir kita sering terjebak pada oposisi binner: benar-salah, menang-kalah, muslim-kafir, halal-haram, dan seterusnya. Bukankah cara berpikir seperti ini sangat berbahaya?
Ada dua kata kunci yang harus didiseminasikan kepada para generasi milenial. Agar tidak terjebak pada perspektif oposisi binner dalam memahami setiap problem, gerakan mahasiswa, perguruan tinggi, LSM, dan lain-lain, maka kita perlu me-refresh cara berpikir. Bahkan, mungkin bukan sekedar me-refresh, tetapi perlu menginisiasi cara berpikir baru.
Pertama, kita perlu terlatih memahami problem menggunakan complex problem solving. Sebab, dunia ini tidak bisa diselesaikan dengan pola pikir oposisi binner. Contoh kasus di Bantul (pengrusakan ritual labuhan laut oleh kelompok Muslim tertentu), kita tidak bisa menegasikan begitu saja praktik budaya semacam itu. Karena mereka juga memiliki perspektif dan keinginan tertentu. Kita harus menggunakan pilihan-pilihan bahasa yang baru untuk menjelaskan pemecahan masalah yang rumit. Itulah yang sering saya sebut dengan multi-disiplin, trans-disiplin, atau inter-disiplin.
Jadi, bukan binary opposition, bukan dikotomi, tetapi inter-disiplin. Kita tidak lagi bicara pluralisme atau multikultural. Karena kultur yang bersifat multi, tetapi pada kenyataannya bersifat separated, terpisah-pisah antara satu dengan yang lain. Nah, yang kita butuhkan adalah interculturalization, yang secara tidak langsung melatih kita untuk memecahkan masalah secara kompleks. Kita memang belum terlatih dalam hal ini. Makanya, pendidikan kita akhirnya menjadi hitam putih.
Kedua, saya ingin menambah satu point bagi generasi milenial, selain menggunakan pendekatan complex problem solving,juga dibutuhkan fairness dalam menyelesaikan masalah. Para generasi milenial perlu fleksibel dalam mengatasi setiap permasalahan yang rumit. Inilah yang sebut cognitive flexibility.
Dalam berfikir, bertindak, bersikap, kita perlu apa yang disebut fleksibilitas. Kita berhadapan dengan orang-orang, kelompok atau ormas-ormas yang sangat rigid. Saya tidak menggunakan istilah relativism—karena nanti beresiko terjebak pada oposisi binner (absolut vs relatif), tetapi menggunakan istilah “fleksibilitas.” Itulah yang sedang dicari-cari oleh dunia, seperti Jack Ma, Mark Zuckerberg. Dulu, Danah Zohar mengenalkan istilah Emotional Quotient (EQ). Tetapi menurut saya, kognisi kita perlu fleksibilitas agar mudah menyelesaikan permasalahan yang rumit.
Bagaimana agar kita mampu berpikir secara kompleks dalam melihat masalah?
Dalam melihat fenomena, apapun bentuknya, maka kita harus adil. Apakah adil itu? Jika pengertian adil didefinisikan sebagai, wad’u syaiin fi makhallihi, jelas sudah tidak relevan lagi. Malah kita sudah terjebak pada pola pikir oposisi binner: meyakini satu definisi dan menegasikan definisi yang lain. Sebab, konsep ini hanya mewakili kepentingan kelompok tertentu, yang sudah pasti akan berbeda dengan kepentingan kelompok lain.
Di sini, kita melihat tidak multi-disiplin. Maka, perlu pemaknaan baru terhadap konsep adil. Kita perlu multi-perspektif dalam melihat permasalahan ini. Dibutuhkan perspektif sosiolog, antropolog, budayawan, psikolog, agamawan, dan lain-lain untuk saling mendengar dan memahami sehingga terjadilah dialog. Prinsip mau mendengar dan memahami inilah yang disebut cognitive flexibility.