Report

Sukidi: Terkoyaknya Kebhinekaan, Hilangnya Kebebasan Berkeyakinan

2 Mins read

IBTimes.ID – Masyarakat Indonesia tengah mengalami peristiwa terkoyaknya kebhinekaan. Hal ini bisa dilihat pada beberapa hal. Pertama, rendahnya penghargaan terhadap kemajemukan. Kedua, maraknya prasangka antar kelompok. Ketiga, banyaknya ujaran kebencian yang dialamatkan kepada orang-orang yang berbeda keyakinan, berbeda pilihan politik, hingga berbeda etnis. Sehingga tidak ada lagi kebebasan berkeyakinan.

Maka, pembaharuan Islam harus dilakukan dalam konteks untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Dulu, Cak Nur menyebut bahwa umat Islam mengalami kejumudan ketika menawarkan pembaharuan pemikiran Islam. Sekarang, umat Islam menjadi semakin jauh dari spirit yang diajarkan oleh Alquran. Hal tersebut disampaikan oleh Sukidi, alumnus studi Islam dari Harvard, dalam kegiatan Pekan Cak Nur dengan tema Keharusan Pembaharuan Islam, Rabu (25/8).

“Alquran mengajarkan toleransi, tapi umat Islam bersikap intoleran. Alquran mengajarkan untuk menghormati mereka yang berbeda keyakinan, tapi justru sebagian umat Islam melakukan persekusi terhadap kelompok lain. Alquran mengajarkan tentang pentingnya menghagai kebhinekaan, tetapi sebagian kecil umat Islam bertindak melawan kebhinekaan itu sendiri,” ujar Sukidi.

Menurut Sukidi, agenda pembaharuan Islam harus diletakkan dalam konteks bagaimana Islam terinternalisasi ke dalam bukan hanya pikiran, tapi juga sikap dan moral. Ini adalah fondasi bangsa. Fondasi ini sudah diletakkan oleh para pendiri bangsa agar masyarakat bisa hidup dalam Bhineka Tunggal Ika. Ini adalah nilai yang digali dari kearifan bangsa jauh sejak sebelum Indonesia merdeka.

Masyarakat, imbuh Sukidi, menerima moto Bhineka Tunggal Ika secara taken for granted. Sehingga, sebagian masyarakat menerima saja tanpa mampu memahami dan menyelami makna di balik Bhineka Tunggal Ika. Hal ini berimplikasi pada terkoyaknya kebhinekaan itu sendiri.

“Ini adalah warisan para founding fathers kita yang justru kita khianati. Yang justru tidak kita rawat dengan sebaik-baiknya,” tegas Sukidi.

Baca Juga  Tarmizi Taher: 'MATI' di Era Klenik

Sukidi menyebut bahwa Bhineka Tunggal Ika yang awalnya akrab dengan tradisi Hindu dan Budha adalah juga menjadi tradisi bangsa Indonesia, menjadi moto bangsa. Jika kebhinekaan ini tidak dirawat dengan baik, maka, menurut Sukidi, akan terjadi kutukan kebhinekaan. Kutukan kebhinekaan berarti bahwa kebhinekaan tidak lagi menjadi modal sosial untuk menjalin pertalian ikatan keadaban, namun justru menjadi instrumen untuk melemahkan ikatan keadaban itu sendiri.

Tuhan menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bukan untuk membenci satu sama lain, bukan untuk menebar fitnah satu sama lain, bukan pula untuk berpecah-belah satu sama lain. Melainkan untuk mengenal satu sama lain.

Kebhinekaan bisa tegak dengan tiga hal. Pertama, mengenal satu sama lain. Namun, tidak cukup dengan itu. Perlu ada yang kedua, yaitu pengakuan satu sama lain. Ketiga, hidup dengan mutual respect. Mutual respect mengandaikan suatu spirit kesetaraan. Padahal, masalah terbesar yang dialami oleh Indonesia adalah diskriminasi, intoleransi, dan ketidaksetaraan.

“Ketidaksetaraan adalah problem kita bersama. Tanpa kita sadari, hubungan antar kita sering kali berjalan tidak setara. Ada kategori mayoritas minoritas. Itu saja sudah tidak benar. Terutama karena mayoritas akan mendapatkan privilege, sementara minoritas tidak mendapatkan hal itu, terutama kalau dikaitkan dengan kebebasan beragama,” ujar intelektual Muhammadiyah kelahiran Sragen, Jawa Tengah tersebut.

Menurutnya, kita semua adalah setara, terutama pada kesetaraan dalam kebebasan berkeyakinan. Kesetaraan ini penting karena da diskriminasi, intoleransi, dan persekusi yang sudah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia. Keyakinan itu berada di dalam nurani.

Sehingga, ia menjadi hal yang privat, personal, murni hubungan manusia dengan Tuhan. Keyakinan bukan pemberian dari negara, kelompok agama, tetapi bisa dimaknai sebagai pemberian dari Tuhan.

Baca Juga  Yudi Latief: Kita Mengalami Diskoneksi dengan Pemikiran Masa Lalu

Hal tersebut adalah hak natural yang inheren dalam diri manusia. Manusia berhak memperoleh perlakuan yang adil dan setara dari negara. Maka, kebebasan berkeyakinan harus diberikan kepada semua warga negara tanpa terkecuali. Bahkan, sekalipun dia tidak percaya kepada Tuhan, dia berhak diperlakukan secara adil dan setara.

“Negara yang mengatur bagaimana warganya berkeyakinan adalah persekusi menurut Roger Williams. Persekusi menurut Roger Williams adalah intervensi eksternal terhadap ruang internal dalam nurani manusia. Setiap intervensi pada diri kita, itu sudah merupakan persekusi,” tegasnya.

Pembaharuan Islam, imbuh Sukidi, harus dilakukan untuk menopang tegaknya kebhinekaan. Karna itu, masyarakat harus memaknai kembali pesan-pesan di dalam Alquran untuk menopang kebhinekaan dan kebebasan berkeyakinan.

Reporter: Yusuf

Avatar
1420 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Report

Hilman Latief: Kader Muda Muhammadiyah Harus Paham Risalah Islam Berkemajuan

2 Mins read
IBTimes.ID – Hilman Latief, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia menyebut, kader muda Muhammadiyah harus paham isi daripada…
Report

Ema Marhumah: Islam Agama yang Ramah Penyandang Disabilitas

1 Mins read
IBTimes.ID – Ema Marhumah, Dosen Tafsir dan Hadis Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta mengatakan bahwa Islam adalah agama yang ramah terhadap…
Report

Salmah Orbayinah: Perempuan Penyandang Disabilitas Berhak Atas Hak Pendidikan

2 Mins read
IBTimes.ID – Salmah Orbayinah Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah (PPA) menyebut, perempuan penyandang disabilitas berhak atas hak pendidikan. Pendidikan menjadi hak dasar…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds