Oleh: Arif Jamali Muis
Ada 4 kebijakan Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di ujung tahun 2019, dengan tema utama merdeka belajar, yaitu Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional, RPP, dan Penerimaan Peserta Didik Baru dengan zonasi yang tujuannya adalah meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Penerapan kebijakan baru Mendikbud ini tentu akan berdampak bagi sekolah–sekolah. Pertanyaannya bagaimana dengan sekolah Muhammadiyah menghadapi kebijakan baru Mendikbud? Apa yang harus dilakukan agar kebijakan tersebut menjadi peluang besar bagi sekolah–sekolah Muhammadiyah?
Dampak Kedepan
Terlepas banyaknya kritik terhadap 4 kebijakan “merdeka belajar” jelas akan berdampak bagi pendidikan secara keseluruhan terutama sekolah.
Pertama, kebijakan tentang USBN yang di tahun 2020 akan dilaksanakan sendiri oleh sekolah. Konsenkuensi dari kebijakan ini adalah sekolah harus siap untuk melaksanakan ujian sendiri dan menentukkan kelulusan siswa secara mandiri.
Dalam konteks kebijakan USBN ini tentu sekolah sangat siap karena memang sudah terbiasa melaksanakan ujian sendiri dan sudah sejak lama menentukan kelulusan siswanya sendiri. Artinya selama ini kemerdekaan sekolah dalam menentukkan kelulusan dengan berbagai pertimbangan (tidak hanya hasil kongnitif saja) sudah dijalankan, penentuan kelulusan siswa tidak ditentukan oleh USBN.
Kebijakan Mas Nadiem tentang USBN ini sesungguhnya tidak mengubah apapun, sudah dilaksanakan sejak zaman Mendikbud sebelumnya. Persoalan kebijakan ini adalah siapa yang dapat menjamin kualitas alat uji USBN tersebut? Karena dari namanya saja Ujian Sekolah Berstandar Nasional. Apa yang disebut dengan standar nasional itu, siapa yang berhak mengatakan ujian ini standarnya nasional?
Kedua, Ujian Nasional yang ditahun 2021 sudah tidak ada lagi. Sama dengan USBN, ujian nasional sesungguhnya sudah bukan penentu atas kelulusan siswa baik ditingkat SMP maupun SMA. Sebenarnya ujian nasional bagi sekolah dapat dijadikan bahan evaluasi untuk meningkatkan capaian dan perbaikan pembelajaran didalam kelas.
Pada periode Mendikbud Prof Muhajir Effendi, UN diarahkan dengan soal yang berbasis Higher Order Thinking Skills (HOTS), dengan harapan pembelajaran didalam kelasnya pun mengarah ke pembelajaran HOTS. Nuansa pembelajaran HOTS sebenarnya sudah mulai tampak di sekolah–sekolah dan siswa mulai terbiasa dengan soal–soal HOTS.
Tahun 2021 UN sudah tidak ada lagi tetapi kelihatannya hanya berubah nama menjadi assessment kompetensi minimum yang juga dilaksanakan secara nasional. Bangsa ini memang suka berdebat pada tataran bungkus, yang seakan-akan mengubah kebijakan sebenarnya hanya menganti model saja.
Ketiga, RPP. Kebijakan ini tentu memberikan angin segar bagi guru–guru. Kebijakan RPP yang memberikan kebebasan guru untuk menentukan apa yang diajarkan di dalam kelas. Hanya saja, catatan kedepan, guru merdeka itu tidak bisa berhenti hanya memberikan kebebasan dalam membuat RPP. Tetapi kesejahteraan ratusan ribu guru honorer perlu dibuat kebijakan yang “radikal” agar mereka guru–guru honorer tersebut merdeka dalam arti yang sesungguhnya.
Keempat, PPDB zonasi. Sesungguhnya ini melanjutkan kebijakan yang sudah ada, hanya kelihatannya Mas Menteri ingin mereduksi pola zonasi dengan menurunkan kapasitas jalur zonasi menjadi 50% dan jalur prestasi menjadi 30%.
Peluang Sekolah Muhammadiyah
Bagi sekolah Muhammadiyah kebijakan Mendikbud ini bila dicermati dan dipelajari maka banyak peluang yang dapat dikerjakan dan dipersiapkan,
Pertama, ke depan ujian nasional sudah tidak ada lagi dengan begitu sudah tidak ada standar nilai untuk dijadikan dasar melanjutkan studi. Bagi siswa SMP yang lulus ingin melanjutkan ke SMA maka bukan lagi nilai hasil ujian yang menjadi standar, lalu apa? Wallahua’lam. Sampai tulisan ini dibuat belum ada ketentuan yang mengatur.
Konsekuensinya sekolah negeri tidak dapat lagi menggunakan nilai ujian nasional untuk menjadi alat seleksi. Selama ini sekolah negeri favorit yang menjadi rujukan masyarakat lebih disebabkan oleh banyaknya anak–anak yang nilai ujian nasionalnya tinggi memilih sekolah tersebut. Ke depan kita tidak tahu lagi nilai ujian nasional karena ujian nasional sudah dihapus. Inilah kesempatan sekolah Muhammadiyah untuk menunjukkan keunggulannya baik dalam manajemen pengelolaan sekolah maupun dalam mutu pembelajaran. Sehingga siswa dan orang tua siswa tertarik untuk menyekolahkan ke sekolah–sekolah Muhammadiyah karena memberikan nilai lebih ketimbang sekolah negeri.
Sekolah–sekolah muhammadiyah harus berbenah dengan mempromosikan kepada masyarakat atas prestasi dan keunggulannya. Program–program yang keren dan berkemajuan harus diciptakan. Misalkan sekolah yang sudah mapan seperti SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta (Muhi) atau SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta (Muha) sudah saatnya menuju sekolah standar dunia (world class). Membuka kerja sama dengaan berbagai lembaga pendidikan luar negeri, menawarkan konsep pendidikan Muhammadiyah ke dunia international.
Jejaring sekolah Muhammadiyah harus diperkuat untuk saling ta’awun dibawah koordinasi Majelis Dikdasmen. Sekolah–sekolah Muhammadiyah harus mulai serius memanfaatkan media sosial untuk berkomunikasi dengan masyarakat. FB, IG, Twitter, dan lainnya harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Jika momentum pemilihan dalam politik saja bisa menggunakan media sosial untuk kampanye, maka mengkampayekan sekolah–sekolah Muhammadiyah juga bisa menggunakan media sosial.
Kedua, kebijakan zonasi. Masyarakat hanya bisa memilih sekolah negeri yang sesuai dengan zonanya saja, di luar zona mereka harus ambil jalur prestasi yang tentu koutanya tidak terlalu banyak. Dulu di sekolah negeri hanya kumpulan siswa dengan batas nilai ujian nasional tertentu, boleh dikatakan dengan nilai relatif bagus dan sangat bagus, sekarang siswa siapapun dapat mendaftar di sekolah negeri dalam batas zonanya. Kebijakan ini bagus bagi sekolah negeri yang memang diperuntukkan bagi warga negara tanpa memandang status nilai apapun. Pun saat ini di sekolah negeri mulai terasa kemampuan siswa yang heterogen.
Dalam konteks ini sekolah–sekolah muhammadiyah dapat memberikan tawaran akan kualitas pembelajaran kepada masyarakat. Pengalaman panjang sekolah Muhammadiyah dalam mendidikan masyarakat harus menjadi keunggulan dalam mendidik anak bangsa.
Ketiga, kebijakan RPP. Inilah kesempatan guru–guru Muhammadiyah untuk lebih mengembangkan diri, merancang sendiri program pembelajaran secara merdeka. Dengan kekuatan Muhammadiyah yang ada para guru akan jauh lebih dapat berkembang, mengembangkan kompetensi diri. Membuat model pembelajaran yang mengajak peserta didik berfikir dan kegiatan apapun tanpa perlu khawatir dengan format-format adminsitrasi yang terasa memelenggu.
MGMP sekolah, MGMP antar sekolah muhammadiyah dapat lebih berdaya menjadi ajang laboratorium pengembangan diri para guru. Harus ada kesadaran dan semangat yang membara di guru–guru sekolah Muhammadiyah untuk maju dan mengembangkan diri.
***
Mungkin masih banyak peluang–peluang lain yang bisa dilakukan oleh sekolah–sekolah Muhammadiyah. Yang dibutuhkan sekolah Muhammadiyah adalah kepala sekolah yang bervisi kedepan dengan di dukung oleh warga sekolah yang juga berfikir kedepan.
Belajarlah dari KHA Dahlan, Kiai Suja’, Kiai Fakhrudin, dan generasi awal Muhammadiyah bagaimana membangun visi jauh kedepan dan memulai dengan langkah kecil dan terukur. Jika sekolah Muhammadiyah ingin mencerahkan semesta sebagaimana tema muktamar.
*) Wakil Ketua PWM DIY