Sebagai manusia yang menghuni dunia ini tidak seorang diri, bertemu dengan istilah ‘konflik’ agaknya merupakan suatu keniscayaan. Sebab, kita tidak memahami dunia ini dengan pikiran kosong.
Cara kita memahami itu disebut dengan beragam istilah seperti persepsi, asumsi, wawasan, keyakinan, pemikiran, prasangka, prinsip, aksioma, dan sebagainya. Semua istilah itu terangkum dalam kata, paradigma (Ahmad, 2021).
Paradigma adalah jendela untuk melihat realitas. Pikiran atau tindakan apapun didasari oleh suatu paradigma. Orang realistis dengan idealis tentulah memiliki kesimpulan yang berbeda ketika melihat suatu hal, walaupun objek yang dilihatnya sama sekalipun.
Paradigma terbentuk dari cara-cara kita dibesarkan, pengalaman-pengalaman serta pilihan-pilihan kita selama ini. Setiap individu mustahil memiliki pengalaman yang sama persis. Oleh karenanya, mereka tumbuh dengan paradigma yang berbeda-beda.
Konflik Sebagai Proses Instrumental Pembentukan Integritas Sosial
Menurut hemat penulis, adanya konflik seperti konflik antara orangtua dan anak, pejabat pemerintah dan rakyat, kaum tekstualis dan kontekstualis, semua dikarenakan adanya keragaman paradigma.
Sebagai gejala sosial, konflik tentu saja hal yang lumrah terjadi dalam setiap masyarakat. Konflik juga tidak bisa selalu dinilai sebagai hal yang negatif. Bisa saja konflik mengarah pada pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial.
Dalam bahasa sederhana, setiap orang berhak memiliki pendapat yang berbeda dengan syarat pendapat tersebut argumentatif. Maka, perbedaan pendapat yang argumentatif akan melahirkan dialektika antar individu dalam melihat realitas yang ada. Saling mengoreksi: menambah, mengurangi, menguatkan, bahkan mengganti sebuah konsep yang telah terbentuk di kepala.
Untuk sampai di keadaan di mana konflik justru menjadi sebuah proses instrumental yang mengarah pada integritas sosial, setiap individu dalam sebuah masyarakat pertama-tama diharuskan memiliki kemampuan memahami dan menyampaikan (baca: literasi) sesuatu dengan baik.
Faktanya, berdasarkan hasil survey Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Develepment (OECD) pada 2019, Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, dengan kata lain Indonesia menjadi 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.
Perlu dipahami bersama bahwasanya literasi tidak hanya melek aksara (baca-tulis). Jika, mengacu pada standar literasi yang disyaratkan UNESCO, setidaknya ada empat tingkatan literasi.
Pertama, tersedianya akses pada sumber-sumber informasi terbaru. Kedua, kemampuan memahami bacaan secara tersirat dan tersurat. Ketiga, kemampuan menghasilkan ide-ide, gagasan, kreativitas, dan inovasi. Keempat, kemampuan menghasilkan karya dan jasa yang bermanfaat bagi khalayak.
Memahami Struktur Bahasa Sebagai Titik Awal Memahami Dunia
Terdapat tiga jenis orang dalam sebuah proses komunikasi. Pertama, orang yang kesulitan menuturkan apa yang ingin dituturkan hingga ia terjebak pada kesalahan struktur kemudian menjadikan kalimat yang dibentuknya tidak efektif sehingga sulit dipahami oleh penerima pesan. Kedua, orang yang hanya paham mengenai tata bahasa tetapi tidak paham secara paradigma. Akibatnya, kalimatnya benar secara struktur tapi kurang tepat secara paradigma, karena tidak valid dengan realitas yang ada.
Semisal, kucing menggulung tikar. Kalimat tersebut sah secara struktur bahasa, tapi tidak secara paradigma, karena realitasnya kucing tidak bisa menggulung tikar. Ketiga, orang yang tidak paham baik tata bahasa maupun paradigma, lantas bagaimana mungkin ia akan menanggapi pesan yang ada berdasarkan konteksnya?
Kita tidak bisa bertahan hidup tanpa bahasa, karena kehidupan kita terhubung dengan kehidupan orang lain. Maka dari itu, semua yang hadir dalam kehidupan kita, kita lihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberi makna.
Dapat disimpulkan di sini bahwasanya fungsi bahasa adalah memudahkan. Jika tanpa bahasa dua orang yang saling ingin memahami sudah dapat memahami satu sama lain, bahasa kehilangan kedudukannya.
Walaupun bahasa bukan hanya sekadar struktur, melainkan makna, bahasa harus dibentuk sebagaimana mestinya hingga dapat dipahami oleh pihak yang sedang berbahasa.
Seperti yang telah dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913) seorang ahli bahasa berkebangsaan Swiss yang menjadi pelopor kajian linguistik modern, bahwa bahasa memiliki ciri konvensional (Soeparno, 2002).
Menurut beliau, dalam salah satu konsep penting dari empat konsep yang masing-masing ditampilkan secara dikotomis yakni konsep signifier (penanda) dan signified (petanda), ciri dasar tanda bahasa adalah arbitraritas (kesemenaan).
***
Hubungan antara signifier dan signified bersifat arbiter atau tidak ada hubungan wajib antara keduanya. Lambang yang berupa bunyi itu tidak memberi ‘saran’ atau ‘petunjuk’ apapun untuk mengenal konsep yang diwakilinya (Abdul, 2012). Semisal gagasan ‘rumah’ dengan konsep ‘tempat tinggal manusia’ tidak ada hubungan intern sama sekali dengan urutan bunyi r-u-m-a-h yang merupakan penandanya.
Padahal, penanda dapat diungkapkan oleh bentuk apapun, sebagai bukti terdapat perbedaan antara bahasa-bahasa dan adanya bahasa-bahasa yang berbeda (Ferdinand 1996).
Kata semena-mena bukan wewenang individu untuk mengganti sebuah lambang bahasa karena lambang itu sudah melembaga dalam suatu masyarakat bahasa. Kata arbiter tidak boleh memberi gagasan bahwa penanda tergantung dari pilihan bebas penutur.
Bahasa adalah milik bersama dan terberi ke dalam benak individu secara konvensional. Hanya dengan milik bersama itu, setiap individu bisa saling berkomunikasi satu sama lain. Jadi, kalau kearbiteran bahasa terletak pada hubungan antara penanda dan petanda, maka kekonvensionalan bahasa terletak pada kepatuhan para penutur bahasa untuk menggunakan lambang itu sesuai dengan konsep yang dilambangkannya agar tidak menghambat komunikasi antara penutur dan pendengar (Abdul, 2012).
Bahasa adalah Cara Pikir
Rasanya tidak berlebihan bila Ivan Lanin—seorang pakar internet Indonesia—mempropagandakan penggunaan bahasa Indonesia baku serta memperkenalkan padanan dari istilah-istilah asing di beberapa situs web seperti Facebook dan Twitter karena itulah bahasa yang telah disepakati bersama sebagai alat komunikasi rakyat Indonesia yang memiliki ragam bahasa.
Lebih dari semua itu, berbahasa adalah cara berpikir. Kemampuan seseorang dalam berbahasa dengan baik, menandakan bahwasanya seseorang itu memiliki tingkat kesadaran yang tinggi. Kesadaran akan dirinya dan kesadaran akan realitas yang dihadapinya.
Tingkat Literasi Berbanding Lurus dengan Tingkat Kebahagiaan
Ada satu fakta kecil menarik tentang literasi. Bahwasanya, ia berbanding lurus dengan kebahagiaan. Hal ini terbukti, kelima negara yakni Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia sebagai negara dengan tingkat literasi yang tinggi, juga termasuk ke dalam 10 negara paling bahagia pada 2014-2016 menurut World Happines Report 2017.
Dengan demikian, literasi mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa. Literasi yang tinggi memungkinkan seseorang untuk mengenal lingkungannya dengan lebih baik. Itulah mengapa ayat al-Qur’an yang pertama kali turun redaksi awalnya berbunyi, ‘Iqra’!’ sebuah perintah membaca yang tidak hanya membaca buku melainkan juga realitas, alam semesta.
Editor: Yahya FR