Tasawuf

Kedudukan Ilmu Hisab dalam Islam

5 Mins read

Oleh: Djarnawi Hadikusuma*

KH. A. Dahlan pendiri Muhammadiyah bukanlah orang pertama di Indonesia yang mencetuskan gagasan menentukan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha dengan hisab. Beliau berguru hisab kepada KH. Dahlan bin KH. Abdullah, menantu Kiai Saleh Darat di Semarang. Mereka adalah ahli hisab yang termasyhur seperti halnya Syekh Jamil Jambek di Sumatera Barat.

Kedudukan Ilmu Hisab

Ilmu Hisab adalah pengetahuan berdasarkan Ilmu Falak (Ilmu Hai’ah) untuk menghitung letak, gerak, ukuran serta lingkaran benda di langit, terutama matahari dan bulan, guna mengetahui hitungan bulan dan tahun, yakni awal bulan Qamariyah atau Syamsiyah. Dengan Ilmu Hisab ini dapat ditentukan tanggal yang berhubungan dengan ibadah, seperti awal Ramadlhan, tanggal 1 Syawwal dan 10 Dzulhijjah. Dengan demikian, kedudukan hisab dalam agama amatlah penting, yaitu menjadi wasilah atau “sarana” untuk mengetahui batas waktu ibadah, seperti shalat, puasa, dan haji. Tentang ini Allah telah berfirman:

 Allah yang telah menjadikan matahari bercahaya dan bulan bersinar, dan Dia telah menetapkan manazilnya agar supaya kamu dapat mengetahui bilangan tahun serta perhitungannya. Allah telah jadikan yang demikian itu semata-mata dengan haq. Demikian itulah kami menjelaskan tanda bukti kekuasaan Kami secara terperinci bagi mereka yang bersedia mengerti” (Qs. Yunus: 5).    

 Allah yang membuka waktu malam untuk ketenangan, dan menjadikan peredaran matahari dan bulan untuk perhitungan. Demikianlah ketetapan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana” (Qs. Al-An’am: 96).

 Matahari dan bulan beredar dengan perhitungan yang tetap” (Q.s Ar-Rahman: 5).

Apa yang tersebut di atas hanyalah beberapa daripada ayat-ayat firman Allah yang banyak jumlahnya, yang menerangkan taqdir (ketentuan) Allah atas peredaran alam benda-benda langit yang merupakan perkara yang haq, yang nyata dan pasti, dengan tujuan agar supaya dipelajari serta digunakan oleh manusia. Dan tujuan ini jelas terkandung dalam firman-Nya: li ta’lamuu ‘adadas siniina wal hisaaba.

Sunnah Rasul

Yang dinamakan Sunnah Rasul ialah segala perbuatan dan perkataan Rasulullah SAW, baik mengenal perkara yang wajib, sunnah maupun mubah. Kesemuanya itu ada yang mengenal ibadah, ada yang mengenal akhlak dan ada pula yang menjelaskan hukum.

Baca Juga  Hermeneutika Hadis Rukyat Demi Terwujudnya Kalender Islam Pemersatu

Sunnah Rasul yang mengenai ibadah, antara lain untuk menjelaskan perintah Allah dalam al-Qur’an tentang cara, waktu, dan ketentuan ibadah itu misalnya: pertama, dalam memerintahkan wudlu untuk shalat, Allah hanya berfirman agar kita membasuh muka dan kedua tangan hingga siku serta kepala dan kaki hingga mata kaki (Qs. Al-Maidah: 6). Maka Rasulullah memberikan tuntunan berwudlu secukupnya.

Kedua, secara garis besar Allah mewajibkan berzakat kepada orang yang mampu. Maka Rasulullah menjelaskan kadar nishab harta yang wajib dizakati dan berapa besar zakat masing-masing. Ketiga, firman Allah mewajibkan shalat kepada orang mu’min dengan pemerintah yang ringkas. Tetapi Rasulullah menjelaskan dan menuntunkan cara dan bacaan shalat itu serta waktu-waktunya.

Allah berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 102 yang artinya: “Sesungguhnya shalat itu atas orang mu’min merupakan kewajiban yang harus dilakukan pada waktu-waktu tertentu.” Maka Rasulullah memberikan petunjuk batas waktu salat itu, seperti tertera dalam banyak hadits antara lain yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Jabir bin Abdilah. Bahwa atas petunjuk Jibril, Rasulullah melakukan salat Dhuhur ketika matahari tergelincir dari puncak kepala, dan melaksanakan salat ‘Ashar ketika bayangan benda oleh cahaya matahari sama dengan bendanya, dan seterusnya (Kitab Nailul-Authar I bab Mawaqit).

Penerapan Hisab

Tentang mulainya ibadah puasa pada tanggal 1 Ramadhan Allah berfirman demikian: “Maka barangsiapa di antara kamu yang melihat (menyaksikan) bulan itu (Ramadhan) hendaklah berpuasa padanya” (fa man syahida min kumusy-syahra fal yashumhu) dalam surat Al-Baqarah ayat 185.

Sebagian orang mengartikan kata-kata “syahida” dengan “melihat” atau “menyaksikan” dengan mata kepala. Oleh karena seorang saksi yang melihat sendiri (eyewitness) dinamakan “syahid.” Oleh karena “syahida” diartikan “melihat,” maka kata-kata “as-syahra” oleh sebagian ulama diartikan “hilal,” yakni bulan-sabit tanggal satu. Dengan demikian, arti keseluruhanya menjadi sebagai berikut: “Barangsiapa di antara kamu melihat hilal, maka hendaklah berpuasa padanya (esok hari).

Dengan pengertian semacam itu, wajarlah kalau timbul paham bahwa yang diwajibkan mulai berpuasa pada hari itu (esoknya) hanyalah orang yang melihat sendiri hilal itu, sedang orang lain yang tidak melihat dengan mata kepala sendiri barulah berkewajiban berpuasa pada hari berikutnya (lusanya). Satu paham yang keliru tetapi wajar timbulnya akibat pengartian yang kurang sesuai.

Baca Juga  Tarekat Qadiriyah: Tarekat Terbesar & Tertua di Dunia

Maka Rasulullah telah menganggap cukup apabila ada orang yang dapat dipercaya telah menyatakan melihat hilal awal Ramadhan. Seperti tersebut dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin Abas, bahwa seorang Baduwi datang kepada Nabi menyatakan telah melihat hilal. Rasulullah bertanya, apakah ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang Baduwi itu mengiakan. Maka Rasulullah memerintahkan kepada Bilal untuk mengumumkan bahwa esok hari sudah mulai berpuasa. Demikianlah bahwa yang harus melihat sendiri hilal itu tidak tiap-tiap orang, seorang sudah cukup asal dapat dipercaya, dan tentu lebih baik apabila ada saksi-saksi yang dapat dipercaya pula.

Rukyah oleh Nabi

Dan demikianlah pada zaman Nabi, orang menggunakan rukyah untuk memulai dan mengakhiri bulan Ramadhan serta menentukan hari Idul Adha. Rasulullah bersabda antara lain:

Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berharirayalah kamu karena melihatnya juga. Apabila tertutup awan, maka genapilah bulan Sya’ban tiga puluh hari” (Riwayat Imam Bukhari).

Bulan itu dua puluh sembilan hari. Maka janganlah kamu berpuasa sehingga melihat hilal dan janganlah berhari raya sehingga melihat hilal pula” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim).

Perlu diketahui bahwa berusaha melihat hilal pada setiap akhir bulan adalah telah menjadi kebiasaan orang Arab sebelum terutusnya Nabi Muhammad SAW, bahkan sejak dahulu kala. Dan ini amat erat hubungannya dengan masa perjalanan kafilah mereka ke Syam dan Yaman serta dengan datangnya musim haji yang telah dilakukan orang sejak zaman Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

Maka jelaslah bahwa perintah menanti rukyah adalah perintah untuk tepat berpuasa pada tanggal 1 Ramadhan dan berhari raya tepat pada tanggal 1 Syawwal, bukanlah perintah untuk melihat rukyah itu sendiri, sebagaimana halnya Rasulullah memerintahkan menggosok gigi (siwak) dengan kayu arok. Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Thabrani, Nabi memerintahkan kepada utusan Abdil Qais. Tangan Nabi memegang sepotong kayu arok sambil berkata, “Gosoklah gigimu dengan ini!

Baca Juga  Sufisme Ottoman, Tarekat yang Memiliki Pengaruh Politik

Yang menjadi pokok perintah ialah membersihkan gigi, adapun kayu arok adalah alat penggosok gigi yang paling lazim dan paling baik pada zaman itu. Adapun zaman sekarang sikat gigi plastik dan tapal gigi tentu lebih baik pula daripada kayu arok itu. Maka agaknya orang harus berfikir lebih dahulu untuk mengatakan bahwa kita sudah meninggalkan Sunah Rasul karena menggosok gigi dengan sikat dan tapal, tidak dengan kayu arok; dan agaknya pula harus berfikir lebih dalam lagi untuk mengatakan bahwa berpuasa dan berhari raya dengan hisab telah meninggalkan Sunnah.

Apakah Rukyah adalah Sunnah Rasul?

Kalau orang mengatakan bahwa melakukan rukyah itu Sunnah Rasul, maka ia harus juga mengatakan bahwa menggunakan kayu arok serta melihat ke arah matahari apakah sudah tergelincir dari puncak kepala dan mengukur bayangan apakah sudah sama panjang dengan bendanya sebagai tanda masuknya waktu Dhuhur dan ‘Ashar, juga Sunnah Rasul.

Apabila kesemuanya Sunnah Rasul, apakah kesemuanya itu mutlakharus digunakan sekarang ini dan tidak boleh diganti dengan cara lain, seperti hisab untuk menentukan awal bulan dan hisab yang tertuang dalam jarum jam ?

Apabila kesemuanya itu Sunnah, apakah itu bukan Sunnah yang mengenai wasilah (min umuril wasail) yang boleh diganti dengan wasilah lain yang lebih sesuai dengan kemajuan fikiran manusia? Dengan menggunkan jam untuk mengetahui masuknya waktu shalat sebenarnya kita sudah meninggalkan rukyah (melihat menggelincirnya matahari) dan memakai hisab. Apakah memang ada perbedaan, berhisab untuk awal dan akhir Ramadhan itu menyalahi Sunnah sedang berhisab untuk mengetahui waktu Shalat tidak menyalahi Sunnah?

Sunnah Rasul yang langsung mengenai ibadah seperti cara berwudlu, shalat, puasa, zakat dan haji, memang tidak boleh diubah karena maqashid bukan wasail. Wajib dikerjakan adanya adanya seperti yang dituntunkan oleh Rasulullah, tidak boleh dikurangi dan tidak boleh ditambah. Tetapi dalam mencuci benda yang kena najis mughalladhah, setelah dicuci dengan air tujuh kali dan dengan debu seperti yang diajarkan oleh Nabi, tentu boleh ditambah dengan sabun atau kreolin agar lebih bersih. Bahkan, ada yang berpendapat tidak perlu dengan debu cukup dengan sabun yang ternyata lebih praktis dan lebih membersihkan.

*) Sumber: SM No. 1 & 2 Th. Ke-53 1973 dengan penyuntingan

Editor: Nabhan

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (3): Praktik Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah tidak menjadikan tasawuf sebagai landasan organisasi, berbeda dengan organisasi lainnya seperti Nahdlatul Ulama. Akan tetapi, beberapa praktik yang bernafaskan tentang tasawuf…
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (2): Diskursus Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah pada awal mula berdirinya berasal dari kelompok mengaji yang dibentuk oleh KH. Ahmad Dahlan dan berubah menjadi sebuah organisasi kemasrayarakatan. Adapun…
Tasawuf

Urban Sufisme dan Conventional Sufisme: Tasawuf Masa Kini

3 Mins read
Agama menjadi bagian urgen dalam sistem kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pasti memiliki titik jenuh, titik bosan, titik lemah dalam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds