Setidaknya di lingkaran pergaulan yang saya temui, generasi millenial (saya adalah salah satunya) menurut saya adalah generasi yang buruk. Ketika bersosialisasi dengan orang yang lebih tua, kurang bisa menghormati. Ditunjukkan dengan bahasa sopan yang belepotan dan bahasa tubuh yang terkesan sedikit terlihat sombong. Ketika bersosialisasi dengan orang yang lebih muda, tak bisa mengayomi. Cenderung mengandalkan marah daripada sabar.
Saya sendiri merasakan bahwa keadaan itu terjadi begitu saja. Seakan generasi millenial tidak bisa berlaku sebagaimana mestinya secara alami. Dalam hal sopan santun, entah bagaimana, seperti semacam ada ketersambungan dengan masa lalu yang terputus. Kalau generasi sebelum generasi millenial, mungkin saja secara alami bisa peka terhadap aturan – aturan sosial—budaya yang berlaku. Kemudian bisa mempelajari tentang bahasa dan bahasa tubuh yang ideal (menurut budaya yang berlaku) secara alami ketika bersosialisasi dengan orang lain.
Generasi millenial, tidak bisa seperti itu. Harus diajari secara lebih intens. Dan dulu ketika bersekolah, secara umum menurut pengalaman saya, tidak diajari hal semacam itu secara intens. Pelajaran semacam bahasa dan tata krama yang ideal berlalu begitu saja, tanpa ada pengajaran intensif yang menunjukkan hasil yang maksimal.
Saya tidak mau menyalahkan pihak manapun. Saya meyakini bahwa setiap generasi, paling tidak umurnya dihitung sekira dua puluh tahun (untuk generasi millenial lahir tahun 1980 – 2000), mempunyai karakternya masing-masing.
Di dalam perkuliahan jurusan pendidikan, memang sudah ada mata kuliah psikologi perkembangan. Tetapi mata kuliah itu tidak dijadikan mata kuliah yang serius, yang lebih diseriusi oleh kampus kebanyakan tentang administrasi pendidikan.
Apalagi mencoba memahami psikologi perkembangan di masyarakat sekitar. Buku induknya saja, Psikologi Perkembangan karya Elizabet B. Hurklock berdasar penelitian di Amerika, padahal karakter orang Indonesia dan Amerika berbeda.
***
Psikologi perkembangan memang tidak berfokus mempelajari sebuah generasi. Yang dipelajari dalam psikologi perkembangan adalah kondisi–kondisi psikis di setiap perkembangan manusia dalam artian sebagai individu. Manfaatnya tentu saja supaya seseorang bisa memahami orang lain sesuai perkembangan yang dialami orang lain. Tetapi, saya kira itu berkelindan langsung dengan sosiologi yang secara khusus mempelajari generasi. Keduanya harus saling berintegrasi satu sama lain.
Karena ketidakseriusan dalam memahami manusia, baik itu sesuai perkembangan umurnya ataupun secara umum dalam sebuah generasi kita cenderung gagal dalam pendidikan. Kalau dikaitkan dengan generasi millenial, bisa dikatakan pendidikan kita telah gagal mendidik generasi millenial.
Kalau dijelenterehkan, tidak hanya perihal bahasa verbal dan bahasa tubuh saja titik kegagalan generasi millennial ini. Masih banyak contoh lain.
Pertama, cenderung pemalas: bisa menghabiskan banyak waktu untuk rebahan, nonton film, atau kegiatan apapun yang fungsinya sekadar membunuh waktu dalam waktu yang lama.
Kedua, menganggap pekerjaan berat seperti bertani, mencari ikan seperti nelayan, kuli, serta berbagai pekerjaan berat yang menghasilkan banyak keringat sebagai pekerjaan rendahan.
Ketiga, tidak visioner: keputusan-keputusan yang diambil cenderung menuruti emosi sesaat dan tidak dipikir jangka kedepannya.
Keempat, bukan pejuang yang tangguh: memutuskan sesuatu, tetapi ketika keputusan itu belum sampai tujuan, sudah kendor di tengah jalan. Tergantung kepada imbalan materi, contoh ini sangat kentara ketika ada kegiatan gotong royong, generasi millennial cenderung berpangku tangan, banyak omong, dan sedikit bekerja.
Bukan berarti deretan–deretan keburukan atau kegagalan itu membuat generasi millenial tak ada sisi baiknya. Sejauh ini, yang saya temui kebanyakan generasi millenial cenderung tidak tahan dengan ketidakjujuran.
Maka, ketika bekerjasama dengan generasi–generasi sebelumnya perihal ketidakjujuran, para generasi millenial ini cenderung berontak. Merasa tidak cocok sehingga lebih baik menjauh saja. Kalaupun ada yang tetap mau mengikuti, biasanya karena terpaksa.
Namun, sebagaimana umumnya manusia, di umur–umur tertentu generasi millennial tersebut sadar dengan sederet kegagalannya menjadi manusia yang memberikan kemanfaatan kepada orang lain dengan nilai lebih yang dimilikinya.
***
Maka di umur–umur 27 tahun ke atas, atau setidaknya setelah menikah, generasi millenial ini biasanya mulai sadar. Berusaha mengubah kebiasaan buruknya secara perlahan.
Berbagai catatan buruk tersebut bukan sebentuk rasa pesimis terhadap generasi millenial, tetapi sebagai semacam evaluasi saja bahwa kita di Indonesia ini, dalam mengelola pendidikan masih sangat buruk.
Sudah terlalu jauh dunia pendidikan kita mengubah seseorang menjadi alien di dusun atau kampungnya sendiri. Seperti generasi millenial itu, misalnya anak petani tetapi anti dengan bertani, karena menganggap bertani pekerjaan rendahan.
Bagaimana dengan generasi berikutnya ? Bisa dibayangkan, generasi millenial saja yang umurnya lebih tua, yang di masa kecilnya dipenuhi dengan hegemoni sosial, budaya yang entah dari mana datangnya dengan intensitas tidak setinggi sekarang, ditambah perkembangan teknologi yang belum sepesat ini, runtuh jati dirinya. Bahkan cenderung gagal menjadi manusia, apalagi dengan generasi berikutnya.
Maka, tidak mengherankan kalau ada anak SD yang mengucapkan sumpah serapah yang tentu saja tidak pantas kepada guru, bahkan orangtuanya sendiri.
Ini menjadi keprihatinan kita bersama. Namun, keprihatinan tanpa aksi yang nyata hanya omong kosong belaka.
Terakhir, itu hanya sebatas amatan saya, dari apa yang saya alami. Jangan digeneralisasi.