Oleh: Nibros Hassani*
Dalam alam pikiran Saya, hubungan paling dilematis di dunia ini tidak hanya hubungan antar negara. Seperti Korsel-Korut, India-Pakistan, atau yang berat seperti Papua-Kita. Tetapi juga hubungan pacaran yang teman-teman saya alami menjadi salah satunya. Menurut temuan, dampak kekerasan dalam pacaran (KDP) bisa lebih mengerikan dari sekadar kekerasan emosional.
Mendefinisikan ‘Pacaran’
Pendefinisian pacaran itu bisa beragam bila menggunakan pendekatan sosial-ekonomi. Maksud saya, ada beda definisi pacaran antara kawan-kawan dengan latar sosial dan ekonomi yang mapan dengan mereka yang berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah.
Mulai dari lokasi yang diincar, hingga atribut yang dikenakan saja sudah beda. Belum lagi kalau mereka anak kyai/ustadz, anak pejabat, atau tokoh berkepentingan, pasti beda.
Lalu, apa saja kegiatannya? Berdasarkan pengamatan saya, aktivitasnya kurang lebih: curhat, bercanda, nonton film, dan makan malam bersama ketika satnite. Bagaimana dengan versi sexual-intercoursenya? Kasus pacaran yang demikian jarang terjadi di lingkaran pertemanan saya, kecuali hanya mendengar kisah-kisah dari tetangga sebelah.
Tapi, yang umum dari pacaran adalah relasi dan komitmen khusus yang terbangun secara intens antar laki-laki dan perempuan. Karena menyandang kata ‘khusus’, maka ada beda antara pacaran dengan berteman.
Sebelumnya, dalam tulisan “Kuat Fikih, Lupa Akhlak”, Yahya membahas seorang temannya yang memiliki paham keagamaan yang kuat namun sering melukai perempuan. Pemahaman agama yang tidak berimplikasi kepada perlakuan terhadap perempuan hingga menimbulkan luka sosial.
Pacaran dan Dampak Negatifnya
Saya sebagai mahasiswa sekaligus pengajar kursus privat bahasa, tidak jarang mendapat curhatan dari murid saya yang mengeluhkan (mantan) pacarnya. Sebut saja namanya mawar. Suatu kali, dia pernah bercerita terkait hubungannya dengan pacarnya. Namun, tidak membawa mereka jadi menuju jenjang yang lebih serius.
Karena Mawar adalah protestanis yang taat sedangkan laki-laki tersebut adalah muslim. Bukan agama yang menjadi alasan utama tidak langgengnya hubungan mereka. Tapi karena tiba-tiba laki-laki tersebut meminang perempuan lain—yang entah karena apa, terjadi mendadak begitu saja.
Hal yang paling buat saya heran adalah: Mawar sudah banyak berkorban untuk laki-laki tersebut. Mulai dari afeksi, kebutuhan fisiologis (makanan, minuman), hingga pembiayaan kuliah sampai tuntas. Namun, Mawar masih saja belum melepaskan perasaannya dari laki-laki tersebut hingga bertahun-tahun.
Jika dilihat dari perspektif feminis, Saya heran betapa Mawar sebagai perempuan yang menjadi korban perasaan laki-laki tersebut: kok masih loyal sekali ya dengan perasaannya? Saya juga pikir kasus yang 11:12 juga banyak terjadi di tempat lain.
Tak hanya kekerasan emosional, temuan lain juga mengindikasikan hubungan pacaran ini bisa berdampak lebih rumit. Seberapa rumit? Jauh lebih rumit dari sekedar membayangkan kekerasan yang menyerang fisik. Sebagaimana bisa diperiksa dalam temuan WHO mengenai dating violence atau abusive relationship. Kekerasan dalam pacaran (KDP) sudah lama menjadi satu indikator KtP (kekerasan terhadap perempuan).
Temuan Data KDP
KDP dalam definisi yang sederhana ialah kekerasan yang terjadi dalam relasi dekat (intimate) atas dasar perasaan cinta diluar hubungan pernikahan. Dalam KDP, terjadi tindakan pemaksaan, penyerangan, perusakan, pengendalian dan ancaman baik secara psikis, fisik, seksual maupun ekonomi, ataupun kombinasi keempatnya.
Maka, kerugian yang dimunculkan dari KDP juga memiliki dimensi yang berlapis: mulai dari kerugian psikologis, fisik, finansial, hingga sosial.
Membayangkan korban mendapat kekerasan secara fisik seperti ditendang, dipukuli, atau dihina secara verbal sudah mengerikan. Jangka panjangnya yang lebih mengerikan ialah: merasa takut dan menangis, susah tidur, membenci, tidak percaya, dan rasa curiga pada laki-laki yang ingin mendekat.
Bila laki-laki yang menjadi korban, bisa saja berlaku kerugian sama. Meski, harus kita akui, dalam budaya dimana laki-laki adalah pride dan qawwam, residu kerugian tidak serumit bila korbannya adalah perempuan.
Pusat Studi Gender dan Fakultas Psikologi UKSW Salatiga pernah mengadakan penelitian menggunakan kajian psikoanalisa terkait KDP. Hasilnya, faktor yang melatarbelakangi kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah adanya tindakan over-protective dari pelaku yang dibenarkan oleh korban. Mengapa? Karena pelaku adalah pacar korban, sehingga wajar bila terjadi tindakan sedemikian rupa dan justru dianggap sebagai bentuk kasih sayang.
Faktor lain yaitu korelasi kuat antara kelekatan hubungan pelaku dengan orangtua. Misal, masa kecil pelaku yang melihat ibu kandungnya mengalami kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya. Atau kurangnya komunikasi yang sehat, kasih sayang antar orangtua dan anak, dan lainnya.
Maka, KDP adalah bentuk bencana lain setelah KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Bila KDRT terjadi dalam hubungan pernikahan, bagaimana dengan pacaran yang tentu tidak legal secara hukum? ini menjadi pekerjaan berat bagi pegiat HAM dan pembuat kebijakan. Karena, pacaran berdasar dari perasaan saling suka.
Solusi Persoalan KDP
Saya ingin mengusulkan ada fikih kontemporer yang membahas KDP dan diulas oleh ulama-ilmuwan. Yaitu mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya berdasarkan temuan ini mulai dari dua fase : pre dan post hingga ketika menjadi penyintas pacaran.
Saya mengerti bahwa dalam Al-Qur’an sendiri sudah disebutkan: “menjauhlah kalian dari zina”, termasuk pacaran salah satunya. Tapi, perlu diingat kembali bahwa nilai-nilai pun ajaran dalam Qur’an—sebagaimana saya memahaminya hingga kini—selalu memiliki jarak dengan realitas sosial yang ada.
Maka kemudian dibutuhkan interpretasi yang baik dan bisa disesuaikan, seperti KDP yang menjadi problema endemik dan makin mengkhawatirkan hari-hari ini. Kalaupun tidak melulu solusi berupa hukum, kasus seperti KDP layak menjadi agenda penting yang dibahas.
Oh ya, tak hanya langkah terlembaga dan praksis yang bisa dilakukan. Karena selain itu, saya juga sangat mengapresiasi kawan-kawan yang telah menemukan beberapa dari ribuan antidote untuk kasus KDP ini.
Dibuatnya chat online konseling, terbangunnya komunikasi yang baik antar anak-orang tua, juga teman-teman yang menjadi good listener bagi teman-temannya ketika curhat adalah langkah-langkah yang juga preventif-efektif.
*Mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris 2016