Oleh: Farid Arifandi
Video berurasi 30 detik yang beredar di sosial media tentang perundungan yang dialami korban siswi SMP Muhammadiyah Purworejo mengundang reaksi keras dari masyarakat. Dalam video tersebut tergambarkan seorang siswi yang dipukuli berkali kali oleh 3 siswa laki-laki. Korban nampak tidak melawan, hanya mencoba menutupi dirinya, terdiam hingga menangis.
Bagaimana tidak mengecam, 3 pelaku yang memukuli siswi tersebut, dengan keasyikan menikmati kekerasan yang dilakukan tanpa rasa bersalah. Mulai dari tendangan, pukulan di tangan dan kepala berkali kali serta memukul dengan sapu. Apalagi belakangan diketahui siswi tersebut disabilitas. Tentunya menambah perasaan tidak tega, trauma dan mengecam keras.
Sekolah menyampaikan korban adalah siswi yang selalu mendapat perundungan, seperti diejek, di palak, intimidasi, ancaman, paksaan, kekerasan. Siswi tersebut biasa mendapatkan kekerasan karena anak lemah. kurang bersosialisasi dan keterbelakangan mental.
***
Gubernur Jawa Tengah yang langsung dimention netizen segera bertindak dengan menelpon Kepala Sekolah SMP tersebut dan mengirim Kadisdik Jawa Tengah untuk menyampaikan pesannya dan memberi santunan. Harapannya agar orang tua sementara menemani anak dan merayu orang tua agar memindahkan anaknya, bahkan ada wacana penghapusan sekolah, karena siswanya yang minim.
Pihak kepolisian telah menetapkan status tersangka kepada 3 siswa yang melakukan perundungan di kelas. Alasan perbuatan kejam itu terjadi, karena korban melapor guru. Yang membuat 3 siswa tersebut berang. Namun polisi melakukan proses Restorasi Justice dalam kasus kekerasan ketiga siswa tersebut, dengan tidak ditahan. Meski sebelumnya diberitakan tiga siswa yang melakukan perundungan dijerat Pasal 80 Undang-undang Perlindungan Anak dan terancam penjara 3,5 tahun.
Orang tua korban sendiri tidak terima atas perlakuan yang diterima anaknya. Apalagi setelah kondisi korban mendapat perhatian yang sangat luas.
Penanganan kasus perundungan di Jawa Tengah banyak diapresiasi netizen dan berbagai pihak. Karena hanya dalam hitungan 2 jam kasus tersebut dapat ditangani berbagai pihak secara paralel. Baik Gubernur Jawa Tengah, Dinas Pendidikan Jateng, Dinas Pendidikan Kebumen, Sekolah, Orang tua pelaku dan korban dibawah koordinasi Kepolisian.
Penanganan kasus ini melebihi ekspetasi dari Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang memandatkan penanganan kasus anak dibatasi hanya 7 hari di penyidik. Hal tersebut sejalan dengan perintah Presiden saat Ratas bersama KPAI yang menginginkan pelayanan satu atap dan tindakan yang cepat dalam penanganan kasus kasus kekerasan anak di lembaga pendidikan, pesantren, masyarakat dan keluarga.
***
Membaca perkembangan berita di berbagai media atas kasus ini (disadari atau tidak) penanganan peristiwa perundungan bagi anak disabilitas masih di bayang bayangi perilaku diskriminasi, stigma dan labelisasi.
Semisal kata ‘kerap mendapatkan perundungan (artinya sering mendapat intimidasi, ancaman dan kekerasan)’, ‘sering diejek’, ‘di palak’, ‘dimintai uang’, ‘sudah biasa mendapatkan kekerasan (apakah sebelumnya tidak ada laporan kepada guru, sekolah ataupun orang tua?)’, penyebutan orang normal ‘sebagai orang normal harusnya lebih bagus dari dia’ (artinya untuk korban, disebut tidak normal), anak merepotkan, keterbelakangan mental, mesake atau kasihan, dipukul 10 kali tidak terluka (apakah luka hanya dilihat faktor luar?), serahkan ke sekolah?, dirayu?, dipindahkan?. Meski kata kata ini tidak bisa dipermasalahkan karena menjawab realita yang ada.
Saya tulis dalam tanda tanya, karena penting persepsi kita dalam memahami kasus. Kita perlu belajar bersama, karena disini ada anak disabilitas (Anak Berhadapan dengan Hukum atau ABH) yang tidak bisa membela dirinya sendiri dan perlu perspektif, sensitifitas dan keberpihakan banyak pihak.
Begitu juga kata ‘sering di ejek’ atau ‘di palak’ bagai melanggengkan kekerasan dan pembiaran yang terjadi di lingkungan sekolah. Disisi lain adalah bentuk ekspresif beban sekolah dalam menangani siswa siswi yang bersekolah disana.
Masing masing anggapan itu telah membuat korban, ‘seolah olah’ sudah terbiasa mendapatkan perlakuan salah, disisi yang lain stigma dan labelisasi menyebabkan alasan melakukan kekerasan kepada anak disabilitas ataupun korban dianggap pantas menerima perlakuan tersebut.
Keingintahuan netizen tentang jenis disabilitas anak tersebut, apakah karena anak yang lemah, keterbelakangan mental, disabilitas inteletual? Yang kemudian kepolisian ingin ada penelitian lebih lanjut mengenai jenis disabiitasnya.
***
Negara mendorong anak disabilitas mendapatkan Pendidikan berkualitas melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Dimana anak anak (seperti korban) dapat bersekolah umum, tanpa di bedakan dengan siswa lainnya. Begitupun Permendikbud nomor 85 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Di Lingkungan Satuan Pendidikan. Bagaimana sekolah melakukan mekanisme pencegahan, penanggulangan, pelaporan dan rujukan tentang tindak kekerasan di sekolah.
Seringkali ada anggapan menerima anak disabilitas di sekolah, menjadi beban sekolah dalam melayani pendidikannya. Apalagi jumlahnya yang hanya sedikit, haruskah mengorbankan siswa lainnya? Berbagai alasan menjadi penyebab seperti ketidak-mampuan, pelayanan disabilitas mahal, keterbatasan perhatian guru, tidak ada fasilitas. Yang berujung barisan panjang penolakan dalam pencarian sekolah.