Kekuasaan yang berlebihan pada akhirnya cenderung represif dan anti kritik. Di negeri ini, kekuasaan presiden memiliki batas. Kita tahu, demokrasi memberikan ruang yang lebar untuk bermusyawarah, adu pikiran, gagasan.
Dalam alam demokrasi, masalah tentu dilarang diselesaikan dengan kekerasan. Dalam sejarah demokrasi di Indonesia, kita mencatat dua presiden paling penting karena dianggap memiliki masalah dengan “kekuasaan”, yakni Presiden Soekarno dan Soeharto.
Di era Soekarno, kita menjumpai penyalahgunaan kekuasaan ada pada Demokrasi Terpimpin. Soekarno pun banyak dikritik karena melenceng dan otoriter dalam memimpin. Ia mengangkat dirinya sebagai panglima besar revolusi dan presiden seumur hidup. Para musuh politiknya disingkirkan. Orang-orang PSI dan Masyumi adalah korbannya.
Mohammad Hatta sendiri memilih mengundurkan diri terlebih dahulu karena sikap Soekarno. Ia menulis risalah kekecewaan dan pandangannya dalam buku Demokrasi Kita yang sempat dilarang beredar oleh Soekarno.
***
Presiden yang kedua adalah Soeharto. Pak Harto dianggap memiliki masalah yang cukup ruwet dalam hal kekuasaan. Mulai dari naiknya dirinya menjadi pemimpin penumpasan gerakan G 30 S, sampai dengan menjadi presiden, bahkan saat turunnya pun harus dipaksa. Konon dasar dari naiknya Soeharto adalah Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret yang sampai kini kita tidak pernah tahu keasliannya.
Di samping itu, Soeharto dikenal sebagai presiden yang kontroversial. Ia dianggap sebagai presiden paling bertangan besi. Memerintah dengan seluruh kekuatannya untuk mendukung dan melanggengkan kekuasaannya. Tak heran selama 32 tahun itu pula, ia berhasil mencengkeram dengan erat kekuasaannya.
Tapi jangan kira Pak Harto sendirian, ia didukung oleh militer yang mendukung dan memperkokoh kekuasaannya. Lihat saja berapa korban dari kebengisan dan kekejamannya mempertahankan kekuasaan. Banyak orang tiba-tiba diculik, diteror, dan hilang bahkan mati selama periode kekuasaannya.
Selama 32 tahun itu pula ia mencegah, menghadang kritik, hingga melenyapkan penentang-penentang kekuasaannya. Demikianlah sejarah kita memberi tamsil tentang betapa dahsyat akibat dari kekuasaan yang melenceng. Dan betapa hebat negara melalui Presiden memainkan alat dan tangan kekuasaannya untuk melanggengkan dirinya.
***
Rencana diskusi yang diadakan oleh Constitusional Law Society fakultas Hukum UGM Jumat (29/5/2020) dengan tajuk “Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” akhirnya dibatalkan. Panitia dan pembicara mendapatkan teror dan intimidasi dari pihak yang tidak bertanggungjawab. Teror dan ancaman memang begitu memukul secara psikologis dan batiniah. Ia tidak hanya mengakibatkan trauma, tapi juga mengakibatkan korban dihantui oleh ketakutan. Saat teror menyerang, ia mengancam tidak hanya akal sehat kita, tapi juga keselamatan kita.
Reformasi yang bergulir selama 22 tahun pada kenyataannya masih belum mampu untuk mengatasi persoalan teror yang bersifat mengamankan kekuasaan. Saya jadi ingat kisah teman saya yang hendak berencana mendemo Prabowo sebelum Pemilu yang sengit kemarin. Baru rencana demonstrasi, kawan saya ditangkap oleh lima orang tak dikenal. Ia dimasukkan langsung ke dalam mobil dan diinterogasi macam-macam. Setelah puas mengancam dan mengintimidasi, kawan saya disekap matanya dan dikembalikan ke tempat semula. Alhasil, demonstrasi pun tidak jadi digelar.
Bila melihat pesan teror yang diterima Ayah dan Ibu salah seorang panitia kita jadi miris. Tuan dan Puan pun bisa merasakan betapa kalimat yang dilontarkan peneror mengancam tidak hanya psikologis tapi juga keselamatan yang diteror. “ Halo Pak, bilangin tuh ke anaknya******* kena pasal atas tindakan makar. Kalau ngomong yang beneran dikit lahh. Bisa didik anaknya gak pak!!! Saya dari ormas Muhammadiyah Klaten. Jangan main-main pakk. Bilangin ke anaknya. Suruh datang ke polres sleman. Kalo gak mau apa mau dijemput aja? Atau gimana? Saya akan bunuh keluarga bapak semuanya kalau gabisa bilangin anaknya.” Pembicara pun diteror oleh orang tak dikenal di rumahnya, bahkan hingga lima kali dalam sehari.
***
Ada dua hal yang membuat kita miris. Pertama, ancaman pembunuhan yang dilontarkan oleh pelaku teror. Kedua, tertera jelas nama instansi dari kepolisian dalam pesan tersebut yang bermuara tentu pada negara. Kita memang sedang diuji dan didera oleh wabah Covid-19 yang tak kunjung sirna.
Pemerintah sendiri terlihat memiliki beban yang cukup berat antara mengantisipasi kelumpuhan ekonomi dan menuntaskan Covid-19 terlebih dahulu. Belum lagi beban yang ditanggung negara untuk memberikan bantuan kepada semua warga terdampak Covid-19. Sementara tidak semua tatanan dan bidang di pemerintahan siap sedia dan berpikir kreatif menghadapi situasi pandemi yang cukup panjang ini. Maklum, dunia, termasuk Indonesia sama-sama menghadapi ujian seperti ini baru pertama kalinya.
Dalam masa situasi sulit seperti sekarang ini, kita menyesali adanya sifat kekuasaan yang represif, menebar teror, dan anti kritik. Kita jadi ingat di periode pertama pemerintahan Jokowi, banyak mahasiswa yang hendak mengkritik dan menggelar demonstrasi kepada pemerintahan Jokowi. Jokowi lebih persuasif kepada para pengkritiknya termasuk mahasiswa. Namun berbeda dengan situasi pada periode kedua ini.
***
Saat Jokowi dipercaya kembali oleh rakyat Indonesia, kita berharap Jokowi bisa tegas dan konsisten dengan Nawacita yang diusungnya. Namun yang terjadi justru sebaliknya, kebijakan Jokowi justru tampak terang-terangan membela pengusaha dan cukong. Bahkan di masa pandemi, mengesahkan diam-diam RUU Minerba yang telah direvisi demi kepentingan para pemodal dan tidak mempertimbangkan keselamatan sumber daya alam kita.
Kini, saat rakyat sedang memberi kritik dan menggelar mimbar akademik, mereka justru dihadang oleh teror dan tindakan represif dari negara. Teror yang mengancam panitia diskusi di Fakultas Hukum di UGM itu seperti mengisahkan sejarah yang berulang. Saat kekuasaan terlalu lama, ia cenderung represif dan anti kritik.
Editor: Arif