Diskursus mengenai Ilmu Sosial Profetik masih belum mendapatkan benang merah yang terang baik pada persoalan relevansi maupun implikasi serta upaya pada pengembangannya. Hal ini lantaran profetisme dalam pemikiran Kuntowijoyo masih memiliki berbagai kekurangan di beragam aspek, terutama dalam bangunan paradigmatik.
Ilmu pengetahuan hanya dapat dibangun dengan dasar paradigma yang kokoh. Berangkat dari paradigma tersebut, pengembangan konseptual suatu ilmu dapat diproduksi dengan jelas. Ilmu Sosial Profetik (ISP) yang menjadi warisan intelektual seorang cendekiawan muslim yang satu ini, patut diakui. Kita dapat melihat bahwa harapan besar dari Kuntowijoyo adalah terciptanya suatu paradigma baru dalam memandang Islam dan pengetahuan dalam rangka mewujudkan wacana pembaruan islam.
Selain daripada itu, upaya pembaruan Islam tidak semata hanya memproduksi gagasan. Lebih dari itu, ia harus mewujud menjadi suatu gerakan intelektual yang transformatif. Dalam gerakan intelektual, ilmu pengetahuan memiliki dua fungsi, yakni; sebagai objek kajian sekaligus subjek dalam gerakan. Dengan demikian, sebuah wacana dapat dilanggengkan. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah; apakah Ilmu Sosial Profetik dapat memiliki fungsi tersebut?
Kuntowijoyo dalam Pusaran Wacana Pembaruan Islam
Sejarah telah mencatat bagaimana wacana pembaruan Islam di Indonesia selalu menjadi spirit di balik segala bentuk gerakan kemanusiaan dan pembebasan bahkan sejak perjuangan kemerdekaan Indonesia. Cendekiawan muslim dari generasi ke generasi melahirkan gagasan yang berangkat dari pemaknaannya terhadap nilai-nilai Al-Qur’an dan sunah yang memiliki konteks “rahmah” bagi kemajuan peradaban bangsa.
Seakan tengah bersaing, orkestrasi pembaruan Islam melahirkan gagasan-gagasan yang “fit and proper” bagi kemajuan zaman dan mampu memperbaiki tatanan masyarakat secara berangsur-angsur. Gerakan intelektual muslim mampu mendorong revolusi di berbagai penjuru dunia. Pasalnya Islam akan selalu mengalami kemunduran ketika terjerembab dalam jurang kejumudan, oleh sebab itulah pembaruan menjadi jalan keluar. Hal ini bukanlah pandangan yang baru, karena sejarah peradaban Islam telah mengatakannya dalam anasir bagaimana runtuhnya masa kejayaan Islam di masa lampau.
Pembaruan Islam selalu menjadi pembahasan yang tak pernah tuntas di Indonesia. Belum lepas dari ingatan kita tentang bagaimana sosok alim ulama dan intelektual islam yang tetap berpegang pada nilai keislaman dan tak meninggalkan dimensi keindonesiaan. Semua dilakukan agar Islam tak ditelan oleh zaman dan Indonesia menjadi daarul ‘ahdi wa syahaadah.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan atas orientasi dari wacana tersebut; menjunjung sakralitas Islam sebagai agama yang telah sempurna atau menjadikannya objek kajian yang kemudian melahirkan konsep dalam pembangunan masyarakat.
Di tengah perdebatan tersebut, Kuntowijoyo hadir dengan mencoba mengilustrasikan bagaimana Islam dapat dijadikan objek kajian sekaligus subjek gerakan pembebasan dan kemanusiaan yang mana dengan upaya itulah Islam dapat menjadi agama yang memiliki nilai universal dan tetap berdiri sebagai suatu hal yang sakral.
Membaca Profetisme Kuntowijoyo
Selalu menjadi kesulitan tersendiri saat kita mencoba menguraikan dengan jelas bagaimana bangunan gagasan profetisme Kuntowijoyo. Tak lain hal tersebut disebabkan beliau merupakan cendekiawan jenius. Kuntowijoyo yang sohor dipandang sebagai sejarawan, budayawan, sosiolog, agamawan, dan sastrawan. Ia telah melewati perjalanan intelektual yang panjang yang pada gilirannya membentuk pemikirannya dalam memandang islam sebagai ilmu.
Mengkaji profetisme dalam pemikirannya ibarat menyusun potongan-potongan puzzle yang indah nan megah terutama bagi peradaban Islam. Karya-karya sastra dan ilmiahnya bernas dan sesak dengan substansi mengenai bagaimana merajut keterpaduan kehidupan bermasyarakat dengan nilai-nilai keberagamaan. Kepakarannya dalam berbagai kajian serta kekayaan wacana intelektual yang ia miliki mendorong kita untuk turut serta melakukan eksplorasi dalam pemikirannya.
Namun di sisi yang lain, seperti “two sides of a single coin” hal tersebut menjadi kekurangan dari profetisme Kuntowijoyo. Ia mendambakan akan hadirnya ilmu pengetahuan yang memiliki nilai praksis bagi masyarakat, akan tetapi bangunan keilmuan profetisme Kuntowijoyo belum dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan karena memiliki kerapuhan epistemologis dan tidak mempunyai kerangka paradigmatik yang jelas.
Kritik atas Pemikiran Kuntowijoyo
Hal ini berimplikasi pada gerakan intelektual maupun gerakan sosial yang menggunakan profetisme sebagai wacana pergerakan; pertama, Ilmu Sosial Profetik sebagai objek kajian selalu berujung pada konsepsi gerakan yang abstrak. Kedua, gerakan sosial profetik tak mampu mencapai tujuannya karena terjebak pada kerancuan dalam memandang perbedaan nilai, prinsip, dan etika profetisme. Ketiga, kerangka keilmuan yang rapuh mengakibatkan turunan kerangka konsep yang kerap kali keliru.
Ilmu pengetahuan hanya didapatkan dari kerangka paradigmatik yang jelas. Paradigma harus dibangun di atas asumsi dasar, nilai-nilai, dan model-model bagaimana pengembangannya. Sehingga ia bisa berkembang baik serta memiliki theoretical frame-work (kerangka teoretis), conceptual frame-work (kerangka konsep), dan metode yang jelas. Dengan demikian ia dimungkinkan untuk diuji, diteliti, dan dikembangkan. Sehingga pada gilirannya ilmu pengetahuan yang dibangun dapat mengidentifikasi, membuktikan, serta memecahkan suatu persoalan secara objektif.
Berangkat dari pandangan tersebut, Prof. Heddy Shri Ahmisa-Putra melakukan kritik dan pengembangan terhadap pemikiran Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo. Ia menggagas fondasi paradigmatik ilmu sosial profetik. Ahimsa menilai bahwa Kuntowijoyo belum sampai pada suatu kesimpulan mengenai akan menjadi seperti apakah Ilmu Sosial Profetik.
Secara gamblang dari pangkal sampai ujung, Ahimsa membedah Ilmu Sosial Profetik melalui bukunya “Paradigma Profetik Islam”. Kuntowijoyo melupakan salah satu agenda transformasi utama dalam pembaruan Islam, yakni; transformasi individu. Ahimsa memandang transformasi sosial yang diharapkan Kuntowijoyo takkan mampu diwujudkan ketika tidak melalui transformasi individu terlebih dahulu.
Melalui kritik serta pengembangan paradigmatik, ia memberikan gambaran bagaimana konsep ilmu pengetahuan dan penelitian dengan dasar Ilmu Sosial Profetik dapat dilakukan. Transformasi yang komprehensif dan epistemologi yang jelas menjadi gagasan utama dalam Paradigma Profetik Islam yang telah ia gagas. Dengan demikian secara tegas Ahimsa menggambarkan bagaimana mewujudkan cita-cita pembaruan Islam yang mempunai dimensi transformatif yang berangkat dari pemikiran Kuntowijoyo.
Catatan Penutup
Akhir kata, mengutip dari ucapan Kuntowijoyo di masa-masa akhir hayatnya pada Sartono Kartodirjo yang disampaikan oleh Ahimsa pada suatu diskusi, “Saya sudah selesai, tinggal anda kembangkan…”.
Tak diragukan lagi bahwa kehadiran profetisme Kuntowijoyo memperkaya khazanah wacana keilmuan sosial dan islamic studies. Pandangannya terhadap islam sebagai rahmah selalu dijadikan kompas petunjuk arah haluan pembaruan Islam. Gagasan mengenai posisi wahyu sebagai sentral dan upaya integralisasi ilmu pengetahuan dan ilmu agama serta analisisnya terhadap kebudayaan, sejarah, dan masyarakat kerap dijadikan landasan teoretis cendekiawan muslim saat ini. Mengingat bahwa wacana pembaruan Islam yang juga belum usai ditambah dengan perubahan kebudayaan yang semakin kompleks, profetisme Kuntowijoyo patut kita terima sebagai wacana yang belum rampung. Hanya dengan pandangan itulah proses pengujian dan rekonstruksi serta pengembangan teradapnya dimungkinkan.
Editor: Yahya