Belum sempat mereda benar kontroversi verbal tentang Papua yang digulirkan Menteri Sosial Tri Rismaharini, peristiwa lebih memilukan kembali terjadi. Kali ini justru berupa kekerasan fisik, juga dari kalangan petugas negara, TNI, kepada warga Bumi Cenderawasih itu. Atau, sementara orang bolehlah menyebutnya oknum.
Video kekerasan personel TNI terhadap seorang warga di Papua itu pun sempat menghebohkan jagat maya Selasa malam lalu (27/7). Terlihat ada warga yang sedang cekcok di warung makan di Merauke. Dua aparat TNI-AU berpakaian dinas Polisi Militer Angkatan Udara (Pomau) lantas datang untuk berupaya melerai. Tapi, tindakan dua aparat tersebut, Dimas Ardianto dan Rian Pebrianto, sangat berlebihan, bahkan cenderung barbar: menginjak kepala salah satu warga yang terlibat cekcok itu. Belakangan diketahui korban bernama Steven Yadomahang dan, sedihnya, seorang difabel tunawicara.
Keras kepada Papua
Kasus kekerasan terhadap warga Papua, baik secara verbal maupun fisik, adalah fenomena gunung es. Jika diudar lebih dalam, banyak peristiwa pilu yang lebih besar. Terlebih, friksi antara aparat keamanan semacam TNI-Polri dan warga setempat. Penyelesaian konflik di sana yang terus-menerus mengandalkan kekerasan fisik, alih-alih dialog, memperuncing permasalahan yang ada sejak bertahun-tahun silam.
Kelakuan dua aparat yang menginjak leher dan kepala korban sangat jauh dari manusiawi. Tragedi ini juga mengingatkan saya, kalian, dan kita semua terhadap George Floyd, seorang warga kulit berwarna, di Amerika Serikat 25 Mei tahun lalu. Kejadiannya pun mirip: seorang aparat yang menginjak leher korban hingga tewas. Kematian yang lantas memicu demonstrasi besar-besaran di Negeri Paman Sam itu, bahkan juga menjalar di negara-negara lain, tak terkecuali Indonesia. Hingga lahirlah gerakan bernama Black Lives Matter.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai, kasus kekerasan di Merauke memajankan rasisme perlakuan aparat terhadap orang Papua yang cenderung lebih keras dan kasar daripada penduduk dari daerah lain. ”Misalnya, soal demonstrasi. Di daerah lain hanya dibubarkan atau mendapat kekerasan. Jika terjadi di Papua, dikriminalkan sebagai makar. Bahkan untuk aksi damai sekalipun,” ujar Asfin (Jawa Pos, 29 Juli 2021).
***
Apa yang disampaikan Asfin ada benarnya. Data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengungkap, sepanjang 2020 terjadi 40 peristiwa kekerasan di Papua yang dilakukan TNI, Polri, maupun keduanya terhadap masyarakat Papua. Kasus kekerasan yang terjadi itu didominasi tindakan penembakan, penganiayaan, hingga penangkapan sewenang-wenang.
Peristiwa itu pun mengakibatkan 276 orang menjadi korban, baik korban luka, tewas, maupun ditangkap. Kontras juga mengungkap bahwa kekerasan yang terjadi di Papua itu merupakan buah dari pendekatan keamanan yang cenderung represif yang terus dipakai pemerintah untuk menjawab permasalahan. Pendekatan yang hingga kini tak berjalan sangkil-mangkus.
Peristiwa dua tahun lalu di Surabaya juga masih belum hilang dari ingatan. Kala itu, asrama mahasiswa Papua di Kota Pahlawan dikepung massa buntut dari kasus (dugaan) pembuangan bendera Merah Putih. Dorlince Iyowau, juru bicara Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Surabaya, kala itu menyebut oknum aparat merusak pagar asrama dan mengeluarkan kata-kata rasisme.
Pelabelan makar terhadap warga Papua yang melakukan unjuk rasa juga kerap terjadi. Sepanjang 2019–2020, dari dokumen yang diterima Tempo, terdapat 120 aktivis dan warga sipil Papua yang dipenjara atas tuduhan makar. Lalu, nasib 109 tahanan politik belum diketahui.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga turut melaporkan data sepanjang 2015–2018. Ditemukan 42 orang tewas dan 93 orang luka akibat pelanggaran HAM di Papua. Lalu, masih ada 22 ribu warga yang mengungsi dan 194 di antaranya tewas ketika kerusuhan di Wamena. Komnas HAM juga menyebut 43 orang ditangkap atas tuduhan makar.
Hegemoni Ras
Jika melihat sejarah, hegemoni terhadap ras kulit berwarna (hitam/negro) telah berlangsung sejak abad ke-18. Diskriminasi dan rasisme muncul akibat superioritas orang kulit putih terhadap orang kulit hitam yang menjadi budak yang dibawa dari Afrika Amerika hingga tahun 1966.
Sebagaimana diulas Wening Udasmoro dalam buku Hamparan Wacana: Dari Praktik Ideologi, Media, hingga Kritik Pascakolonial (2018), sebutan hitam, negro, atau apalah itu tak terlepas dari faktor historis hingga institusional. Secara historis, kata negro (dari bahasa Spanyol yang berarti hitam) menjelaskan sebuah kondisi ketika terjadi diskriminasi terhadap orang-orang kulit hitam, terutama di Amerika Serikat. Tentu saja kata ini (negro/hitam) masih digunakan hingga saat ini, terutama dari kelompok-kelompok yang masih memosisikan kulit hitam/berwarna sebagai inferior/terhegemoni.
Secara konstitusional, kata negro berkaitan dengan negara dan kewarganegaraan yang memuat ketimpangan hubungan antara kulit putih (termasuk kulit sawo matang ala suku Austronesia) dan kulit berwarna. Segregasi etnisitas antara kulit putih dan kulit berwarna di ruang-ruang publik adalah contoh konkret terinstitusionalnya kata hitam/negro.
Di negeri kita, meskipun sudah ada perwakilan pemimpin dari tanah Papua yang menjadi orang penting di jajaran pemerintahan, nyatanya rasisme, hegemoni, dan marginalisasi masih marak kita temui. Kehadiran Paulus Waterpauw (tokoh kelahiran Papua dan mantan Kapolda Papua) di jajaran petinggi Polri, misalnya, seharusnya bisa menjadi pemecah kebuntuan.
Ada benang merah yang bisa ditautkan antara kejadian di Amerika Serikat tahun lalu dan peristiwa di Indonesia, tepatnya di Merauke, Selasa itu. Sama-sama kebarbaran ras kulit putih/sawo matang yang bertitel petugas terhadap warga biasa berkulit warna, yang dianggap liyan (the other). Para pemegang kekuasaan telah sewenang-wenang mendayagunakan pangkat dan jabatannya terhadap warga yang lemah, penyandang difabel sekalipun. Akankah Black Lives Matter jilid II menggema di seluruh penjuru Nusantara?
Editor: Yahya FR