Setiap bulan November, bangsa ini larut dalam euforia memperingati Hari Pahlawan. Spanduk bertema “Semangat Kepahlawanan” menghiasi jalan-jalan, pidato-pidato heroik menggema, dan wajah para “pahlawan nasional” kembali diabadikan dalam berbagai bentuk penghormatan. Nama-nama pahlawan baru diresmikan dengan segala logika penghargaan sekaligus kontroversi yang menyertainya.
Di tengah gegap gempita dan euforia pemberian gelar itu, muncul pertanyaan sederhana namun mendalam: untuk siapa sebenarnya semua ini ditujukan? Apakah para pahlawan yang telah wafat masih membutuhkan penghormatan tersebut? Ataukah gelar kepahlawanan kini justru telah berubah menjadi komoditas politik yang menguntungkan pihak-pihak yang masih hidup?
Lalu, bagaimana Islam memandang konsep kepahlawanan? Apakah anugerah gelar pahlawan dikenal dalam khazanah peradaban Islam?
Islam memiliki cara pandang yang berbeda. Dalam Islam, kepahlawanan tidak lahir dari upacara kenegaraan, bukan pula dari penghargaan resmi atau sorak-sorai publik. Ia tumbuh dari ketulusan niat dan pengorbanan di jalan Allah (fī sabīlillāh). Kepahlawanan sejati bukan hasil kultus sosial, melainkan buah dari jiwa tauhid—kesadaran bahwa hanya Allah yang layak menjadi tujuan akhir perjuangan.
Rasulullah SAW pernah ditanya, siapa yang benar-benar berjuang di jalan Allah? Beliau menjawab:
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Artinya: “Barang siapa berperang agar kalimat Allah menjadi yang tertinggi, maka dia berada di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hakikat Kepahlawanan Islam
Hadis ini menegaskan bahwa kepahlawanan dalam Islam tidak diukur dari keberanian fisik semata atau pengakuan sosial. Seseorang bisa saja dipuja masyarakat karena prestasinya, tetapi jika niatnya hanya untuk kebanggaan atau kekuasaan, perjuangannya kehilangan nilai di sisi Allah. Sebaliknya, seorang guru desa yang sabar mendidik anak-anak miskin dengan niat tulus bisa jauh lebih mulia di hadapan Allah daripada seorang jenderal yang berperang demi pamrih duniawi.
Islam menegaskan dua fondasi utama kepahlawanan: ikhlas (ketulusan niat) dan jihad (perjuangan sungguh-sungguh). Tanpa keikhlasan, perjuangan hanyalah panggung ego. Tanpa jihad dalam makna luas—yaitu upaya total menegakkan kebenaran, kepahlawanan kehilangan makna spiritualnya.
Jihad sering disalahpahami sebagai perang semata. Padahal, jihad adalah perjuangan moral dan spiritual yang hidup di setiap zaman, mencakup perjuangan melawan hawa nafsu, ketidakadilan, kebodohan, dan penindasan.
Allah berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al-‘Ankabut: 69).
Di era sekarang, jihad tidak lagi identik dengan peperangan fisik. Jihad bisa berupa memperjuangkan keadilan ekonomi, menolak korupsi, membangun integritas birokrasi, atau mencerdaskan kehidupan bangsa. Seorang akademisi yang menanamkan nilai kejujuran kepada mahasiswanya, seorang aktivis yang menolak kompromi terhadap kebatilan, atau seorang pejabat yang menolak gratifikasi, semuanya adalah pahlawan Islam, selama perjuangannya dilandasi ketulusan demi Allah.
Al-Qur’an menggambarkan pahlawan sejati sebagai mereka yang beriman, sabar, dan berani menegakkan kebenaran:
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ ۚ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh…” (QS. At-Taubah: 111).
Kemenangan dalam Islam tidak diukur dari hasil lahiriah, melainkan dari kemurnian niat. Nabi SAW juga bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Artinya: “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kata keadilan di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Dalam bahasa masa kini, pahlawan Islam bukanlah mereka yang tunduk pada kepentingan politik, melainkan yang berani menegakkan kebenaran dengan adab dan integritas.
‘Pahlawan” Digital
Namun, zaman modern kerap menampilkan wajah kepahlawanan yang berbeda. Banyak tokoh dipuja karena keberhasilan duniawi, ekonomi, politik, atau popularitas. Namun, miskin ketulusan. Ada pula “pahlawan digital” yang viral di media sosial, tetapi kehilangan esensi kejujuran dan kebijaksanaan. Kepahlawanan yang dijadikan komoditas politik biasanya hanya memunculkan kontroversi: satu golongan mempahlawaninya, golongan lain justru menganggapnya penjahat. Kepahlawanan semacam ini rapuh, mudah digeser, dan cepat dilupakan.
Islam menolak heroisme semu. Bagi Islam, pahlawan sejati tidak memerlukan panggung duniawi. Panggungnya adalah nurani, dan satu-satunya penonton yang ia pedulikan adalah Allah.
Meski bersifat sangat teologis, semangat kepahlawanan Islam tetap relevan di kehidupan modern. Seorang ekonom Muslim yang memperjuangkan sistem keuangan tanpa riba, tenaga medis yang melayani dengan empati, guru yang menanamkan kejujuran, kiai kampung yang mengajar Al-Qur’an sepanjang hayat tanpa pamrih, atau pemimpin yang amanah—mereka semua adalah pahlawan dalam makna sejati.
Masa Kejayaan Kepahlawanan Islam
Sejarah Islam membuktikannya. Salahuddin Al-Ayyubi menaklukkan Yerusalem dengan keadilan dan kasih sayang, bukan kebencian. Bilal bin Rabah berjuang melawan perbudakan dengan keteguhan iman. KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari mengajarkan bahwa jihad bisa berupa pendidikan, pencerahan, dan amal sosial. Kepahlawanan Islam bersifat humanis sekaligus spiritual, membela manusia karena kemanusiaannya, bukan karena suku, bangsa, atau ideologi sempit.
Kepahlawanan dalam Islam tidak selalu dikenang dengan tugu, nama jalan, atau gelar resmi. Banyak pahlawan sejati yang berjuang dalam kesunyian: mendidik dengan ikhlas, menolong tanpa pamrih, menegakkan kebenaran tanpa bendera. Mereka mungkin tidak dikenal manusia, tetapi dikenal oleh malaikat.
Di dunia yang semakin haus pengakuan, Islam mengingatkan: pahlawan sejati tidak butuh sorak-sorai manusia. Ia hanya butuh ridha Allah. Kepahlawanan bukan soal ketenaran, sertifikat, atau pengakuan politik, melainkan kebermaknaan abadi.
Dan setiap Muslim yang berani jujur serta adil di tengah kegelapan zaman, sesungguhnya telah menjadi pahlawan dalam pandangan Islam.
Editor: Assalimi

