Perspektif

Keragaman dan Dinamika Konsep Khilafah

4 Mins read

Oleh: Nurfarid, Lc.*

Belajar dari Eropa

Ketika negara-negara Eropa terpukul mundur oleh Amerika dan Uni Soviet pasca Perang Dunia II, seketika negara-negara bangsa Eropa dikuasai Amerika dan Uni Soviet. Dan negara-negara jajahan Eropa menjadi jajahan Amerika dan Uni Soviet. Negara-negara Eropa terpuruk-hancur dan tidak berdaya melawan hegemoni kedua negara adi daya tersebut.

Namun perhatikan apa yang dilakukan negara-negara Eropa untuk keluar dari keterpurukannya dan mempertahankan kekuasaannya dari hegemoni Amerika dan Uni Soviet?

Seketika, negara-negara Eropa memahami realitas yang ada. Mereka menyadari bahwa kalau mereka tetap bertahan sebagai negara-negara bangsa yang tersekat secara geografis dan terpecah secara historis, mereka tidak akan berdaya menghadapi kekuatan Amerika dan Uni Soviet yang jauh lebih besar.

Negara-negara Eropa menyadari bahwa diperlukan kekuatan yang sebanding dengan kekuatan Amerika dan Uni Soviet untuk mampu menang dari dominasi keduanya. Maka seketika negara-negara Eropa pun bersatu. Bermula dari kesatuan ekonomi yang disebut Masyarakat Ekonomi Eropa. Hingga kepada kesatuan politik (1993) yang kita kenal degan Uni Eropa.

Singkatnya, Eropa ‘mulai’ beralih—meski tidak seluruhnya—dari konsep negara bangsa dan berupaya menerapkan konsep ‘imperium’ dalam konteks dunia modern. Dalam khazanah peradaban Islam, konsep persatuan negara-negara yang dipraktekan Eropa bisa disebut khilafah.

Dinamika Pemikiran Khilafah

Bagi kita umat Islam, tidaklah sulit untuk bersatu sebagaimana bersatunya bangsa-bangsa Eropa sekarang. Karena kita punya sejarah, karena kita punya khibrah (pengalaman) dalam pelaksanaannya.

Sejarah dan khibrah dalam mempraktekkan sistem kekhilafahan selama 14 abad yang lalu. Hanya saja tugas kita sekarang adalah bagaimana agar kita bisa men-tajdid-nya (memperbaharuinya) sesuai dengan konteks kekinian.

Sebagai kader umat yang menyerukan pebaharuan, melantangkan pencerahan, dan menyuarakan kemajuan, mari kita buang logika-logika sederhana dalam menyikapi masalah khilafah. Logika yang melokalisir khilafah hanya pada ISIS dan HTI saja. Atau menafikan relevansinya karena membatasi persepsi khilafah hanya pada satu model. Atau bersikap apatis dalam penerapannya hanya karena para pengusungnya berkhilaf, padahal mereka hanya berikhtilaf.

Baca Juga  Merealisasikan Kampus Merdeka di Tengah Wabah Corona

Saya sangat kagum dengan guru kita Prof. Din Syamsuddin dengan spirit ijtihad dan semangat tajdid-nya. Ia telah berupaya untuk menyelesaikan masalah ini dengan menyuguhkan konsep baru tentang Khilafah Perenial dan Khilafah Kultural.

Meski penulis tidak sepakat seluruhnya, namun upaya tersebut sangat konstruktif dan solutif. Memecahkan kejumudan pandangan kaum tradisionalis terhadap khilafah secara khusus dan mencerahkan pemikiran masyarakat secara umum.

Upaya men-tajdid konsep khilafah juga telah dilakukan oleh para pembaharu baik pada masa detik-detik menjelang kejatuhan Khilafah Utsmaniyyah, atau pasca kejatuhannya, hingga hari ini.

Tajdid Konsep Khilafah

Pertama, pada masa menjelang kejatuhan Khilafah Utsmaniyyah, para pembaharu Pan Islamisme telah menyuguhkan konsep pembaharuan Khilafah Utsmaniyyah. Sayyid Jamaluddin al Afghāni melontarkan konsep al Lā Markaziyyah (Desentralisasi), beliau menyerukan agar pemerintahan tidak terpusat di Istanbul akan tetapi di wilayah-wilayah lain. Pribumi diberikan kebebasan untuk mengatur urusannya sendiri, namun tetap di bawah kekuasaan Khilafah Utsmaniyyah.

Sedangkan Imam Pembaharu Muhammad Abduh, beliau melontarkan tiga poin untuk memperbaharui Khilafah Islamiyyah, yang terangkum dalam gagasan Pan Islamisme-nya; 1) Islam adalah agama dan syariat, akan tetapi ia tidak pernah mengenal negara agama atau negara teokrasi. 2) Kerakusan bangsa Eropa yang merasuk ke Dunia Islam menuntut kaum muslimin untuk mereformasi Kesultanan Turki Utsmani, bukan malah menghancurkannya. 3) Peran Islam, sebagai ikatan aqidah, adab dan ruh, yang menyatukan seluruh umat Islam, tidak menghalangi pemeluknya untuk mendirikan suatu negara atas dasar kebangsaan.

Kedua, pasca keruntuhan Khilafah Utsmaniyyah para pembaharu yang menjadi pelanjut gerakan pembaharuan Pan Islamisme juga ikut mengambil bagian dari proyek pembaharuannya.

Abdurazzaq as Sanhuri Basya- pakar perundang-undangan di Timur Tengah—beliau menyuguhkan pembaharuan konsep Khilafah Islamiyyah yang lebih realistis dan sesuai dengan perkembangan zaman, sebagaimana tertera dalam desertasi kedua beliau tentang Fiqhu Khilāfah wa Tārikhuhā: Pertama, sistem Khilafah Islamiyyah yang harus didirikan kembali di masa mendatang harus lebih fleksibel. Kita semua meyakini bahwa syariat Islam tidak mewajibkan model tertentu dari sistem pemerintahan. Setiap sistem yang mampu memenuhi tiga karakteristik Khilafah Islamiyyah maka ia adalah sistem yang legal dan benar. Tiga karakteristik tersebut adalah a) penerapan Syariah Islamiyyah. b) persatuan umat Islam. c) membentuk lembaga urusan agama dan politik secara independen, namun keduanya dibawah kekuasaan Kholifah.

Baca Juga  Pergi Haji Saat Usia Muda, Siapa Takut!?

Ketiga, konsep Khilafah Islamiyyah yang bersifat sempurna dan bermodel sentralisasi untuk saat ini tidak memungkinkan, akan tetapi Khilafah Islam bisa diwujudkan dengan model persatuan bangsa-bangsa Islam sebagai lembaga kekholifahan yang mewadahi dan memayungi negara-negara Islam.

Kekhilafahan Menurut Hasan Al Banna

Tokoh pergerakan Islam Hasan Al Banna juga ikut berkontribusi dalam men-tajdid konsep khilafah. Dalam Risālah Muktamar Khāmis beliau berpandangan bahwa khilafah adalah simbol persatuan Islam dan manifestasi dari ikatan bangsa-bangsa Islam, sebagaimana ia juga adalah syi’ar Islam yang wajib bagi kaum muslimin untuk memikirkan dan memperhatikannya. Khilafah tidak memiliki model yang saklek seperti di abad pertengahan, namun bisa dalam bentuk Asosiasi Negara-negara Islam.

Filsuf Islam Malik bin Nabi juga memiliki pandangan yang sama dengan para pembaharu sebelumnya tentang urgensi persatuan negara-negara Islam khusunya di abad modern ini. Beliau menulis buku khusus berjudul The Idea of Islamic Commenwealth dan melontarkan gagasan Persemakmuran Islam sebagai suatu sistem yang menyatukan negara-negara Islam untuk mengeluarkan umat Islam dari ketebelakangan peradabannya dan melawan hegemoni poros Washington – Moskow.

Ragam Pemikiran Tentangnya

Dan juga banyak lagi pemikiran para pembaharu dari kaum moderat Islam tentang pembaharuan konsep kekhilafahan yang lebih elastis dan realistis. Pemikiran mereka bisa kita simpulkan ke dalam beberapa poin berikut:

  1. Islam tidak mewajibkan nama dan model kekhalifahan, hanya menunjukkan syarat dan karakteristiknya.
  2. Sistem Khilafah yang paling tepat untuk masa kini adalah sistem yang berangkat dari realitas umat Islam yang sudah tepecah menjadi negara-negara bangsa, seperti sistem Commenwealth Islam dan Liga Bangsa-Bangsa Islam. Dengan demikian sistem kehilafahan tidak menafikan keberadaan negara bangsa yang selama ini di hawatirkan banyak kalangan.
  3. Khilafah Islamiyyah masa kini harus dibangun dengan konsep desentralisasi.
  4. Sistem khilafah yang ingin ditegakkan juga harus memisahkan lembaga urusan keagamaan dengan urusan politik, namun keduanya dibawah pemerintahan kholifah.
Baca Juga  Untuk Direnungkan Pemuda Indonesia

Konsep para pembaharu di atas sangat menarik, karena kalau kita elaborasi lebih dalam lagi konsep kekhilafahan yang mereka lontarkan telah banyak menjawab pertanyaan dan kenyataan yang selama ini dibentar-benturkan oleh para penolaknya. Bahkan mampu meretas perseteruan dan menyatukan perbedaan diantara kedua kubu, karena bisa mewujudkan apa yang mereka inginkan yaitu persatuan dan kekuatan umat Islam, dan menepis apa yang mereka hawatirkan yaitu perpecahan dan kelemahan umat Islam.

Wallahu ‘alam Bissowwab.

*Kandidat Master, Akidah Filsafat, Fak. Kuliah Ulum Islamiyyah, Universitas Al Azhar, Cairo.

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds