Berbagai cara ditempuh oleh mufasir Al-Qur’an guna menyajikan kandungan dan pesan-pesan firman Allah tersebut. Dalam rentang perjalanannya, aktivitas menafsirkan Al-Qur’an memunculkan corak, ragam, dan kecenderungan yang bervariasi. Ada yang menyajikannya sesuai koherensi ayat seperti dari ayat pertama Surat Al-Fatihah hingga ayat terakhir dari Surat An-Nas. Juga, ada yang menyajikan berdasarkan tema atas kumpulan beberapa ayat Al-Qur’an, dan lain sebagainya.
Tidak cukup di situ, corak tafsir Al-Qur’an pun beragam. Mulai dari corak fiqhi, lughawi, isy’ari, falsafi, adabi, dan sebagainya. Keragaman tafsir atas Al-Qur’an adalah rahmat. Dengan kata lain, keragaman tafsir atas Al-Qur’an adalah suatu keniscayaan. Diversitas tafsir Al-Qur’an ini merupakan domain kreatif yang dimiliki oleh mufasir, tak terkecuali di Indonesia.
Quraish Shihah: Ragam Tafsir Al-Qur’an Ibarat Hidangan Prasmanan
Menurut Quraish Shihab sebagaimana terekam dalam karyanya, Wawasan Al-Qur’an, bahwa pesan dan kandungan Al-Qur’an bisa dihidangkan secara ekstensif dan variatif. Artinya tidak terpaku hanya pada satu model tafsir dan cara penyajiannya. Ia bisa dihidangkan secara rinci dan luas mencakup aneka persoalan yang muncul dalam benak sang penafsir, baik yang berhubungan langsung maupun tidak dengan ayat yang ditafsirkannya. Bagaikan menyajikan hidangan prasmanan, masing-masing memilih sesuai seleranya serta mengambil kadar yang diinginkan dari meja yang telah ditata itu.
Ada juga yang memilih topik tertentu, lanjut Shihab, lalu menghimpun sejumlah ayat yang inheren dengan topik tersebut. Ada juga yang menghidangkannya tanpa terikat dengan urutan ayat dan surat sebagaimana terlihat dalam mushaf, dan tanpa menjelaskan hal-hal yang tidak berkaitan dengan topik walaupun hal yang tidak berkaitan itu secara tegas dikemukakan oleh ayat yang dibahasnya.
Di sini, sang penafsir – menurut Shihab – bagaikan menyodorkan sebuah kotak berisi hidangan yang telah dipilih dan disiapkan kadar dan rasanya, sebelum para undangan tiba. Yang memilih dan memilah serta menetapkan porsi adalah tuan rumah, sehingga para tamu tidak lagi direpotkan, karena makanan telah siap untuk disantap.
Dalam hal ini, Quraish Shihab menganalogikan fenomena di atas yang kemudian masyhur dinamai metode tahlili atau tajzi’i. Metode ini adalah bagaikan hidangan prasmanan itu. Sedangkan menyodorkan kepada para tamu sebuah kotak makanan adakah ilustrasi daripada metode maudhu’i (tematik) atau tauhidi (kesatuan). Jikalau kita tidak punya banyak waktu, alias sibuk, maka kita akan mengambil kotak berisi makanan yang telah tersedia. Dan sebaliknya, jikalau kita memiliki waktu yang agak banyak dan cukup santai, secara otomatis memilih hidangan prasmanan.
Namun, Quraish Shihab berpesan bahwa janganlah anda sekalian mengeluh tentang waktu, atau upaya yang harus anda lakukan dan jangan juga merasa bosan atau jenuh karena pasti tidak semua yang dihidangkan anda butuhkan. Boleh jadi ada sekian banyak di antara yang terhidang yang ditolak oleh selera anda, demikian sebaliknya.
Gus Baha tentang Keragaman Penafsiran Al-Qur’an
Keragaman tafsir atas Al-Qur’an ini juga pernah diutarakan oleh KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau kerap disapa Gus Baha, ulama Indonesia ahli tafsir cum fiqh. Menurut Gus Baha, ayat Al-Qur’an mengandung dua unsur makna yang tak terpisahkan; makna mafhum dan manthuq. Secara sederhana, makna mafhum adalah makna tersirat yang tidak ter-cover pada lafal ayat. Sementara, makna mantuq adalah makna tersurat yang langsung ditunjukkan oleh lafal ayat tanpa tedeng aling-aling (baca: ditutup-ditutupi).
Dalam pengajiannya, Gus Baha mengatakan makna mafhum ini kemudian yang mengilhami kemunculan tafsir isy’ari (corak tafsir yang bernuansa sufistik). Senada dengan Quraish Shihab, bahwa tafsir itu memang bermacam-macam. Lalu, Gus Baha melukiskan Quraish Shihab misalnya, ia adalah spesialis mufasir atas nama lughat (kosakata) dan pandai sekali ketika mencocokkan kandungan ayat dengan lughat (kosakata) ayat. “Pokoknya apa saja, beliau itu bisa mencocokkan karena maddah al-kalimat (kosakata)”, ujar Gus Baha.
Meskipun dalam tataran tertentu, Gus Baha cenderung kurang setuju atas kerja tafsir yang dilakukan oleh Quraish Shihab. Sebagai misal, tadabbur itu maknanya berpikir. Secara lafdzi, tadabbur berasal dari kata dabbara. Tadbir maknanya mengatur. Jadi, jika susunan kalimat terdiri dari huruf dal, ba’, dan ra’, maka maknanya berpikir atau mengatur. Tadbir al-ma’isyah berarti mengatur kehidupan. “Ciri utama berpikir itu melihat ke belakang”, ujar Gus Baha dalam mencontohkan tafsir Quraish Shihab. Karenanya, sesuatu yang di belakang itu namanya dubur. “Aduh, saling mencocokkan kok bisa sampai ke situ, itu mulai keberatan saya”, tutur Gus Baha dengan nada gayeng atau guyon.
Kendati demikian, Gus Baha tetap memuji dan menghormati Quraish Shihab karena beliau adalah orang ‘alim, mufasir kontemporer, pakar tafsir Quran, sekaligus keturunan Nabi saw. Sebagai penutup, keragaman dalam penafsiran Al-Qur’an merupakan realitas sejarah yang tak dapat dimungkiri. Karena setiap mufasir, tentu memiliki latar belakang keilmuan, preferensi dan kontek sosial yang berbeda-beda. Dengan demikian, dalam khazanah penafsiran Quran pun dijumpai beragam kitab tafsir dengan corak, metode dan kecenderungan penafsiran yang berbeda-beda pula. Wallahu a’lam.