Para sarjana Barat memiliki bermacam teori untuk menyatakan kemunculan agama. Sebagaimana yang akan ditunjukkan, teori-teori tersebut mengandung bias serta cacat logika yang akut. Tulisan ini akan mengulas teori-teori Barat tentang kemunculan agama itu secara kritis sembari kelak memberikan sanggahan dan respon atasnya.
Teori Kesadaran Jiwa
Teori pertama dicetuskan oleh Burnett Tylor (1832-1917) yang mempostulatkan bahwa agama muncul dengan didahului oleh pengetahuan dan keyakinan akan jiwa atau ruh. Misalnya, ketika manusia memimpikan dan berbicara dengan seseorang yang telah meninggal. Disitu Ia menganggap bahwa kematian tidak berarti akhir dari kehidupan, melainkan awal bagi kehidupan lain yang sifatnya imateri.
Manusia kemudian menciptakan berbagai keyakinan turunan untuk menjelaskan bagaimana perpindahan jiwa dari satu alam ke alam yang lain, bagaimana kondisi jiwa yang akan dimiliki pasca kematian dan berbagai hal berkaitan. Demikian itu yang akhirnya menjadi dasar bagi manusia untuk mengembangkan agama sebagai seperangkat pengetahuan tentang jiwa atau ruh yang imateri tadi.
Teori Kebodohan
Menurut teori ini, agama muncul karena kebuntuan akal manusia dalam menjawab berbagai fenomena alam. Mengapa laut pasang dan menyapu kapal-kapal yang bertambat? Mengapa gunung meletus dan laharnya melumat rumah-rumah sekelilingnya? Mengapa hujan tiada turun dan menciptakan kekeringan, paceklik dan puncaknya menjadikan kesengsaraan hidup pada manusia?
James G. Frazer (1854-1941), melalui teori ini, meyakini agama adalah produk dari kelemahan akal manusia yang mencari penjelasan instan dengan menunjuk entitas supranatural sebagai penyebab fenomena alam semesta. Manusia lalu menisbatkan entitas supranatural itu selaku sesembahan dan menciptakan agama untuk mengibadahi sesembahan itu.
Dalam yakin Frazer, manusia modern harusnya meninggalkan agama. Sebabnya berbagai fenomena alam telah dapat dijelaskan dengan baik oleh sains, baik melalui berbagai hasil amatan hingga percobaan. Maka dari itu, bagi penganut teori ini, mereka yang masih menganut agama sejatinya sedang berada di dalam kemunduran.
Teori Instrumen Kekuasaan
Bagi Karl Marx (1818-1883), agama adalah sistem norma dan keyakinan yang diterapkan penguasa kepada rakyat tertindas. Tujuannya semata hanya untuk memastikan para rakyat terninabobohkan dalam keyakinan adanya surga di dunia pasca kematian.
Teori ini menggambarkan agama bukan sebagai sesuatu yang Tuhan ciptakan untuk menjadi pedoman bagi manusia agar bisa hidup sesuai fitrah dan mencapai kebahagiaan paripurna. Melainkan, agama adalah makhluk yang dilahirkan dan dipelihara oleh penguasa untuk membungkam perlawanan dan menormalisasi kedzaliman.
Marx menunjuk bukti atas teori ini pada fakta-fakta sejarah mengenai kekuasaan dalam lintas sejarah. Fakta seperti kecenderungan raja-raja mengklaim sebagai pewaris kuasa Tuhan hingga perkongsian erat antara istana dengan gereja. Bukti-bukti itu menunjukkan tidak lain agama bukan sebagai barang suci yang membebaskan, melainkan memenjarakan kesadaran manusia.
Teori Perisai Kaum Lemah
Hampir senada dengan Marx, Friedrich Nietzsche (1844-1900) menolak sakralitas agama dan menuduh agama sebagai rekaan manusia. Bedanya, ketika Marx melihat agama sebagai alat penguasa dalam menindas, Nietzsche menyangka agama sebagai perisai bagi rakyat untuk melindungi diri dari kesemena-menaan.
Agama tidak lain adalah seperangkat aturan yang membatasi gerak-gerik atau kekuatan penguasa. Demikian menjadikan penguasa tidak bebas dan sekaligus memberi ruang bagi rakyat untuk bernafas sedikit lapang.
Puncak kritik Nietzsche adalah ketika ia menyatakan bahwa manusia yang ideal adalah manusia kuat yang mampu menciptakan nilai sendiri. Adapun manusia beragama adalah manusia yang lemah karena tunduk pada aturan yang diciptakan orang lain.
Teori Neurosis
Tokoh berikutnya adalah Sigmund Freud (1856-1939), sang pencetus dasar psikologi modern. Menurutnya, agama adalah bentuk respon adaptif terhadap problem neurosis yang dialami saat kecil. Pengungkapan libido kepada orangtua yang tertahan dan menciptakan rasa kecemasan hebat merasuk ke alam bawah sadar manusia dan bertahan hingga mereka dewasa.
Analisis Freud berikutnya mengungkapkan bahwa proses penyembuhan seseorang dari ‘agama’ hanya dapat dilakukan dengan membongkar kecemasan alam bawah sadar itu dan menciptakan momen pelepasan yang terapeutik. Singkat, melepaskan diri dari agama adalah suatu kesembuhan mental bagi Freud.
Teori Fungsi Sosial
Dalam pandangan Emile Durkheim (1858-1971), agama adalah seperangkat keyakinan yang komprehensif yang menjelaskan hal-hal mana yang suci serta mana yang tabu. Identifikasi atas yang suci dan yang tabu itu menghasilkan nilai dan ritual keagamaan yang mengatur kehidupan masyarakat. Masyarakat menjadi satu tubuh yang direkat oleh nilai-nilai dalam agama.
Durkheim melihat fungsi sosial agama yang penting sebagai pembentuk, penyangga dan pemelihara kohesivitas dalam masyarakat. Agama memang bukan satu-satunya sumber nilai, namun ia adalah salah satu dari sumber nilai yang paling efektif. Pendapat Durkheim ini secara implisit mengandaikan kemungkinan mengabaikan agama ketika manusia dapat membentuk sistem nilai lain, seperti demokrasi.
Kritik atas Bias dan Banalitas Keilmuan
Setidaknya ada dua problem yang mencuat di dalam teori-teori agama para sarjana Barat yang telah kita uraikan. Pertama, teori tersebut jelas mengandung bias yang muncul dari pandangan dunia mereka. Materialisme dan sekularisme sangat kentara dari penghargaan atas entitas indrawi dan keraguan atas yang imaterial-sakral.
Kedua, bias itu kemudian didukung dengan justifikasi yang tidak ilmiah. Klaim bahwa yang mereka katakan merupakan sebuah teori adalah berlebihan. Nyatanya, mereka menggunakan asumsi-asumsi yang dibalut dengan terma-terma ilmiah ketimbang memberikan bukti-bukti yang rasional atau minimal data-data primer relevan yang sejalan dengan standar norma empirik mereka.
Pada akhirnya, dua aspek kritik ini menunjukkan bahwa teori-teori agama yang dikemukakan bukanlah sebuah teori, melainkan hipotesis atau bahkan sekedar prasangka-prasangka. Artinya dapat dikatakan bahwa segenap teori itu hanya pepesan kosong yang nilainya tidak berbeda dengan ucapan orang tidak berilmu namun meracau penuh percaya diri tentang hal yang ia tidak ketahui.
Kesimpulan
Alih-alih agama sebagai wujud kebodohan, manipulasi sengaja sekelompok orang hingga suatu jenis sakit jiwa manusia, agama sejatinya adalah fenomena fitrah yang dapat dijelaskan secara rasional. Elaborasi yang detail mengenai itu tentu tidak akan cukup jika dijabarkan disini.
Namun, setidaknya dapat dikatakan bahwa memahami secara rasional harus dimulai dari memahami Tuhan itu sendiri. Apakah Tuhan sebagai yang maha kuasa dan pencipta adalah suatu premis yang bisa dibuktikan secara rasional?
Sebab pangkal masalah para sarjana barat dapat diibaratkan begini: mereka seperti seorang yang menelusuri ada-tidaknya pembuat jam dengan membuktikan ada-tidaknya jam ciptaannya. Ini jelas rancu karena yang sebenarnya dituju bukan ‘agama’ atau ‘jam’, melainkan pencipta jam atau Tuhan.
Bahkan jika para sarjana Barat teliti mereka patutlah merenungkan bagaimana hadirnya kemampuan rasional manusia untuk menjelajahi berbagai jawaban dan keraguan akan agama dan Tuhan. Apakah kemampuan rasional itu ada begitu saja atau terdapat maksud dan tujuan dari keberadaan kemampuan itu pada manusia?
Editor: Soleh