Fenomena agama bukan sebuah fenomena yang berdiri sendiri dan kunci. Melainkan, agama adalah perangkat penjelas bagi para pengikut agama itu dalam hal tata-cara menyembah dan mengimani Tuhan. Demikian pula dalam agama Islam diatur syahadat sebagai bentuk ikrar seseorang terhadap keesaan Allah selaku Tuhan sejati. Syahadat itu pula dibacakan dalam ibadah mereka di lima waktu.
Atas dasar itulah membuktikan keberadaan Tuhan secara rasional merupakan aktivitas ilmiah utama para filsuf Muslim. Pembuktian tersebut menjadi ciri khas dari filsafat Islam yang diulas satu filsuf ke filsuf lainnya. Adapun hingga kini dikenal tiga argumen yang telah dikembangkan dan menjadi dasar yang kuat untuk mendukung premis ‘Tuhan itu Ada’. Berikut ini akan diuraikan ketiga argumen filosofis tersebut.
Wajibul Wujud
Para filsuf muslim mengajak kita untuk memikirkan segala ‘yang ada’ di dunia ini. Mulai dari pohon-pohon, meja, manusia, dan semua yang bisa kita pikirkan. Satu kesamaan diantara mereka semua adalah mereka merupakan wujud imkan. Wujud imkan adalah wujud yang pernah dalam kondisi ‘potensi’ yaitu di antara ada dan tiada. Wujud ini butuh kepada yang lain agar keluar dari ‘potensi’ sehingga ‘aktual’ ada.
Lantas para filsuf itu bertanya, apakah realitas atau dunia ini hanya berisikan yang ‘mungkin Ada’? Katakan jika semua ‘yang Ada’ membutuhkan selain dirinya, apakah realitas itu sendiri akan ada? Para filsuf menyatakan realitas mustahil dapat terbentuk dengan hanya berisikan yang ‘mungkin Ada’ (wujud imkan).
Bagaimana cara membuktikannya? Filsuf muslim kemudian menggunakan analogi pasukan yang akan berperang. Katakan pasukan A hanya menyerang jika pasukan B menyerang. Pula pasukan B menyerang hanya jika pasukan C menyerang. Demikian seterusnya, pasukan C, D, E dan tidak terhingga hanya menyerang jika ada yang lain yang menyerang.
Jika seluruh pasukan seperti itu maka tidak akan terjadi perang. Sebab itu dibutuhkan satu pasukan yang akan menyerang karena kehendak dan dayanya sendiri. Harus ada satu pasukan yang tidak bergantung kepada selain dirinya. Demikian pula realitas. Mustahil ada realitas jika tanpa satu dzat yang Ada karena dirinya sendiri. Dzat itulah yang kemudian disebut dengan Wajibul Wujud (wujud niscaya) atau Tuhan.
Keteraturan Alam
Selain argumen wajibul wujud, filsuf muslim juga memiliki argumen lain yang lebih sederhana dan bermakna. Argumen ini dikenal dengan argumen keteraturan alam. Bahwa alam semesta bekerja demikian harmonis dan apik pastilah karena ada dzat yang maha kuasa yang mencipta dan memelihara keteraturan alam itu. Keteraturan alam semesta mustahil merupakan suatu hal yang acak.
Analogi yang digunakan para filsuf adalah pada pembuatan sebuah buku. Buku itu pastilah tercipta karena ada agen-agen yang terlibat yang dengan daya mereka mengolah dan menghadirkan buku itu. Mustahil buku tersebut tercipta secara acak tanpa ada desain dibaliknya.
Katakan misalnya lembaran kertas, tinta dan lem yang membentuk buku itu menyatu secara acak. Mana mungkin keacakan itu menghasilkan sesuatu yang tersusun rapi, berurut dan dapat terbaca jelas dan bermakna. Terlalu kecil kemungkinan, misalnya, tinta yang menetes secara acak dapat membentuk satu kata yang memiliki arti bagi pembaca. Jelas, buku itu harus dibuat dengan perencanaan oleh seseorang.
Sama halnya dengan pencetakan sebuah buku tadi, alam semesta juga pastilah diciptakan dengan perencanaan yang sengaja dan dari dzat yang sangat berilmu. Buktinya, benda-benda langit berjalan sesuai orbitnya, dan rotasi-revolusi planet-planet itu mengikuti hukum-hukum yang dapat dijelaskan. Ateis pun harus bersyukur bahwa mereka tinggal di bumi yang diciptakan Tuhan penuh dengan sumber daya.
Fitrah Manusia
Setiap makhluk memiliki fitrah atau kecenderungan yang baik. Fitrah itu ada sejak mereka lahir di dunia dan dapat ditemukan semua makhluk yang satu spesies. Fitrah tidak didapatkan melalui pembelajaran atau pengondisian sosial, melainkan sudah tertanam dalam diri setiap makhluk. Pada setiap tempat dan setiap saat, fitrah pada makhluk itu dapat ditemukan.
Hewan karnivora, misalnya, bisa saja memakan anak-anaknya. Namun, fitrah mereka menjadikan mereka cenderung melindungi ketimbang mengonsumsi anak-anak mereka. Fitrah pada hewan karnivora itu yang menciptakan batasan agar tidak menjadi kanibal dan memakan anak-anak mereka walaupun itu mungkin saja.
Naluri suatu makhluk dapat kita selidiki dengan melakukan penalaran induktif. Yakni, dengan mengamati dan memeriksa semua hewan dalam satu spesies. Manusia pun sama pula memiliki fitrah yang memberikan mereka kelebihan ketimbang hewan. Otak mereka diciptakan lebih besar dan kompleks sehingga manusia mampu merenung, berimajinasi, memilih dan berbagai aktivitas kognitif tingkat tinggi lainnya.
Fakta terakhir mengenai fitrah ialah bahwa ia berhubungan dengan sesuatu yang nyata ada di luar. Fitrah dorongan biologis karena ada lawan jenis. Fitrah rasa takut tercipta karena memang ada hal-hal yang mengancam diri. Manusia sendiri mudah menemukan bahwa ia memiliki fitrah untuk menyembah Tuhan. Adanya fitrah itu berhubungan dengan eksistensi Tuhan yang memang ada di luar mental manusia.
Al-Qur’an sendiri menjelaskan adanya fitrah itu seperti dalam Ar-Rum ayat 30,”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui hal ini’.
Kesimpulan
Seluruh argumen yang telah dijelaskan, baik wajibul wujud, keteraturan alam dan fitrah manusia merupakan argumen filosofis yang dapat diakses semua orang apapun agama mereka. Argumen itu telah membuktikan secara rasional bahwa Tuhan sebagai dasar bagi fenomena agama adalah dzat yang nyata Ada.
Keberhasilan membuktikan eksistensi Tuhan itu pada akhirnya menjadi bukti kebenaran agama. Bahwa agama bukan suatu rekaan imajinatif manusia yang mereka ciptakan demi kepentingan kelompok atau bentuk kegagalan berpikir. Agama bukan produk bumi yang fana dan terbatas.
Melainkan, agama adalah fitrah yang terbenam dalam kesadaran manusia. Agama adalah satu hal yang lekas diterima seorang manusia berakal sehat selama ia tidak memperolok diri dengan menyatakan bahwa alam muncul dan bekerja secara acak. Bahwa ada dzat Tuhan yang niscaya ada, merancang, mencipta dan memelihara alam semesta dan seluruh isinya.
Editor: Soleh
Betul. Jika ada yang tidak percaya poin nomor dua dengan melihat alam semestela sebagai hasil dari ketidakberaturan, maka seyogyanya dia dan pikirannya adalah ketidakberaturan tanpa makna.