Perspektif

Kesalahan Trump dan Hikmah Kerusuhan di Amerika

4 Mins read

Ramai di timeline saya bukan karena masalah New Normal, tapi karena kerusuhan yang terjadi di Amerika diperparah dengan kesalahan Presiden Trump. Seperti yang kita tahu, beberapa waktu yang lalu memang ada kejadian menggemparkan dan kerusuhan di Amerika. Seorang warga Afrika-Amerika bernama George Floyd terbunuh saat proses penangkapan oleh polisi. Rasanya tak ada orang waras yang akan coba-coba membenarkan tindakan polisi tersebut.

Meski saya tidak pernah ke Amerika, pun tak pernah kenal orang dari sana, kejadian ini bukan yang pertama saya tahu. Beberapa tahun silam, juga gempar peristiwa di mana polisi menembak seorang African American. Padahal, yang bersangkutan sama sekali tidak membahayakan polisi. Silahkan Anda baca kasus Walter Scott untuk cerita lebih lengkap.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Amerika memang masih memiliki masalah dengan rasisme. Persis seperti negara kita dan berbagai negara di dunia. Saya yakin bahwa bukan hanya Amerika yang punya PR besar ini. Hanya saja, akhir-akhir ini Amerika sedang berubah. Sejak Donald Trump menjadi presiden dengan American First policy-nya, kita tahu Amerika sebetulnya sedang masuk ke dalam fase baru.

Kesalahan Trump

Amerika, sejak bertahun-tahun yang lalu selalu mengambil posisi menjadi pemimpin dunia. Ia selalu menempatkan dirinya sebagai world leader dalam perkara HAM dan kebebasan ekonomi. Orang Amerika pun bangga betul dengan status ini. Anda bisa lihat cerminan kebanggaan warga Amerika atas negaranya di berbagai film Hollywood.

Dari film seperti Black Hawk Down sampai Captain America, negara tersebut menyebarkan pandangan sebagai panutan segala bangsa. Bahkan, saat melakukan war on terror pun, dalihnya murni untuk menjadi pembebas dunia dari kebatilan. Bukan untuk minyak, apalagi untuk menghukum lawan yang tidak mau tunduk dalam hegemoninya.

Baca Juga  Fikih Unsuriyyah: Bagaimana Rasisme dalam Islam?

Tapi Trump ini mengambil jalur beda. Di saat China mulai menanjak, Trump dengan lucunya malah memosisikan Amerika tidak sebagai leader lagi. Amerika di bawah Trump memosisikan dirinya untuk Amerika saja. Ini bisa dibilang sebagai kesalahan Trump.

Ia yang biasanya penuh retorika “mengayomi” dan mengatur negara yang lain, sekarang berteriak American first! Ia yang biasanya berlagak menjadi pioneer HAM, kini secara vulgar ingin membangun tembok di perbatasan dengan Meksiko. Tak tanggung-tanggung, those Mexicans have to pay it!

Amerika di Bawah Kekuasaan Trump

Saya tak bilang bahwa Amerika sebagai pemimpin jauh lebih baik dibanding Amerika yang nasionalistik di bawah Trump. Dalam beberapa hal, Amerika di bawah Trump justru mampu mengatasi ketegangan dengan beberapa negara seperti dengan Korea Utara. Tapi di sisi lain, ia sama saja dengan Amerika yang hegemonistik sebelumnya. Jadi bagi kita di luar Amerika, tentu kondisinya tak sesederhana itu.

Yang simple justru bagi warga Amerika sendiri. Di bawah Trump, meski American First menggaung di udara, sebetulnya yang terjadi adalah suatu kemunduran. Apalagi ketika American First tersebut tidak bersifat inklusif ke semua golongan Amerika.

American first-nya si Trump dekat sekali dengan kelompok konservatif dan supremasi kulit putih. Jadi, beberapa tahun belakangan ini –sejak Presiden Trump menjabat– Amerika bukan hanya secara sukarela melepaskan posisi pemimpin dunia. Tetapi juga “membakar” rumahnya sendiri.

Trump menciptakan banyak sekali kontroversi yang membuat sentimen rasial menajam. Padahal, Amerika merupakan salah satu negara yang sangat multikultur di dunia. Kalau bukan sedang membakar rumahnya sendiri, apa selayaknya kita sebut tindakan Trump itu?

Dan hal ini terbukti di kasus George Floyd. Tewasnya Floyd seolah menjadi puncak kekecewaan kelompok anti Trump. Sebab yang menimpa Floyd ialah konfirmasi atas rasisnya Amerika di bawah Trump. Demonstrasi pecah di sana-sini. Sebagian damai, sebagian ricuh. Kerusuhan di Amerika bahkan menyebabkan penjarahan terjadi di beberapa tempat.

Baca Juga  New Normal: Kemanusiaan Baru atau Hukum Rimba yang Terjadi

Demonstrasi Rusuh yang Jadi Kontroversi

Kontroversi mengenai persoalan bakar-membakar dan penjarahan ini dibicarakan di mana-mana, di berbagai belahan dunia. Perbincangan ini pun sampai juga di timeline akun sosmed dan grup WA saya. Ada yang membenarkan kerusuhan dan penjarahan, tapi ada juga yang menentangnya habis-habisan.

Yang mendukung kerusuhan (bahkan penjarahan) umumnya berpendapat bahwa bila mereka berdemo dengan damai, protes mereka tidak akan didengar. Sedangkan yang menolak kerusuhan (apalagi penjarahan) beralasan bahwa apapun kondisinya, merusuh seperti itu tidak benar. Dosa.

Saya bisa memahami kenapa banyak orang yang tidak mendukung demonstrasi rusuh. Sebab yang rugi biasanya sesama rakyat. Lalu setelah itu malah terjadi konflik baru antara rakyat vs rakyat. Kontraproduktif. Tapi begini. Masyarakat, apalagi dalam massa yang besar, seringkali tidak bisa berpikir jernih seperti saya dan Anda yang cuma duduk di depan laptop.

Pun, pikiran dan perilaku manusia juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-politik lingkungannya. Saat Trump naik dengan retorika yang demikian ekslusif berpihak pada golongan tertentu, otomatis para minoritas dan orang-orang demokrat akan menjadi apatis dengan pemerintahannya. Mereka merasa tersisih. Mereka merasa tidak dirangkul.

Dalam kondisi yang polaritasnya tajam begini, satu peristiwa saja bisa memantik kerusuhan yang besar. Apalagi bila negara tersebut sedang tidak baik ekonominya. Dan seperti yang kita tahu, performa ekonomi Amerika memang bermasalah di tengah pandemi Covid-19 dan setelah melakukan perang dagang dengan China.

Dengan kata lain, bertengkar mengenai apakah demonstrasi yang rusuh ini justified atau tidak, sama sekali tidak esensial. Bukan tidak boleh, tapi tidak begitu bermakna. Daripada kita berdebat panjang lebar, ambil saja hikmahnya untuk negara kita.

Hikmah Bagi Indonesia

Dari kesalahan Trump dan apa yang terjadi di Amerika ini, kita bisa belajar bahwa pemimpin seperti Trump harus dan selalu mesti ditolak. Apapun kondisinya dan apapun tawaran yang ia gaungkan selama kampanye. Dari dulu sampai sekarang, pemimpin dengan retorika yang eksklusif selalu menghasilkan peristiwa berdarah-darah. Kalaupun tidak terjadi saat itu, maka bertahun-tahun kemudian efeknya masih akan terasa.

Baca Juga  Kecia Ali, Pengkaji Isu Gender Islam dari Amerika

Kedua, kejadian di Amerika ini juga bisa menjadi pelajaran teruntuk buzzer-buzzer sekalian. Bagi Anda, para buzzer, mungkin perkaranya hanya ketikan dan uang yang dihasilkan. Tapi ujaran Anda yang narasinya sangat polar bisa menyebabkan si Ahmad, atau si Michael, yang tak tahu apa-apa menjadi korban kekerasan.

Kita tidak dalam kondisi ideal saat ini. Belum juga luka-luka bekas pemilu tertangani, kita dihadapkan pada pandemi Covid-19. Dan kalau yang terjadi di Wuhan saja bisa sampai ke sini, yang terjadi di Amerika pun bisa berlaku di sini apabila kita tak hati-hati.

Editor: Zahra/Nabhan

2 posts

About author
Suka menulis di m.kwikku.com/novel/read/dari-nol
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds