Ramadhan dan Kesalehan Sosial
Bulan Ramadhan adalah momen atau kesempatan untuk menyucikan diri, hati dan pikiran. Waktu untuk muhasabah tentang apa saja yang sudah kita kerjakan selama ini.
Di bulan ini, kita dilatih untuk menahan diri dan banyak berbuat baik kepada sesama. Kita tidak hanya berlomba-lomba dalam kebaikan, tapi bersama-sama mengerjakan kebaikan.
Satu ungkapan yang sangat familiar bagi kita adalah ketika bulan Ramadhan tiba, para setan dibelenggu.
Pernyataan itu bukan tanpa dasar, karena menurut hadis riwayat Bukhari-Muslim, dikatakan bahwa ketika masuk bulan Ramadhan setan-setan dirantai. Pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup.
Gus Mus menjelaskan, meskipun mata kita tak dapat melihat secara faktual bagaimana pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup, tapi dalam bulan Ramadhan kita merasakan perbedaan spirit di setiap hari-harinya.
Kita pasti merasakan banyak kemudahan dalam melakukan kebaikan, ingin membaca Al-Qur’an berasa mudah tanpa beban. Berinfak begitu ringan tanpa ragu-ragu, lebih mudah beristighfar daripada menghujat dan lain sebagainya.
Bulan Ramadhan menjadi momentum untuk meningkatkan kualitas iman dan kesalehan diri setiap individu. Menjadi pribadi yang lebih baik dari pada sebelumnya dan istikamah dengan kebaikannya.
Namun, menurut saya sedikit egois jika hanya kesalehan diri saja yang kita cari tanpa ada relasi timbal balik terhadap kehidupan sosial kita. Artinya, selain kesalehan diri, perlu adanya peningkatan kesalehan sosial.
Sehingga, peningkatan kehidupan keagamaan yang bersifat ritual mampu membuahkan kesalehan sosial. Realitanya, banyak di antara kita umat Islam memahami bahwa kesalehan di mata Allah cukup dengan kesalehan individu saja.
Semetara, dimensi sosial dan kemanusiaan sebagai kesalehan sosial dinilai tidak begitu penting. Ramadhan, terutama berpuasa, mempunyai hikmah dan kebajikan yang multidimensional.
Mengapa demikian? Karena tidak hanya moral dan spiritual saja yang menjadi aspek di dalamnya, tapi juga sosial. Maka dalam berpuasa terutama di bulan Ramadhan, membentuk kesalehan diri (individual) dan menumbuhkan kesalehan sosial.
Membentuk Kesalehan Sosial
Indonesia adalah salah satu negara dengan mayoritas warganya beragama Islam. Bahkan muslim di Indonesia terkenal islami.
Disebutkan dalam buku Islam in Politic Sphere: The Politics of Identity and the Future of Democracy in Indonesia, menyebutkan 99 persen orang Islam di Indonesia mengaku salat dengan 78 persennya menunaikannya secara tertib dan rutin.
Spirit ritual keagamaan ini agaknya belum sejalan dengen pembumian ajaran Islam dalam dimensi sosial dan kemanusiaan.
Hasil survei yang dilakukan oleh S. Rehman dan Hossein Askari tentang seberapa islami negara-negara Islam, Indonesia berada di posisi 104 dari 208 negara yang diteliti.
Data di atas membuktikan bahwa masyarakat muslim Indonesia cenderung menjadikan ibadah keagamaan sebagai urusan individu tanpa mempedulikan kehidupan sosial.
Padahal, dalam kita beragama, sudah sangat paham dengan kalimat sakral, hablumminallah dan hablumminnas. Dua kata itu sudah seharusnya mengarahkan kita pada sikap keberagamaan, saleh secara ritual dan saleh secara sosial.
Hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan kemanusiaan juga diterapkan dalam konteks ibadah puasa Ramadhan. Artinya, kepatuhan diri terhadap Tuhan sekaligus relasi kemanusiaan yang dijalankan sebagai hikmah dalam menjalankan puasa.
Sebagai contoh, di bulan Ramadhan terdapat perintah untuk membayar zakat. Zakat ditunaikan tidak hanya untuk menggugurkan kewajiban atau untuk mengurangi kecemburuan sosial antara si kaya dan si miskin.
***
Pada batas interpretasi tertentu, zakat dimaknai sebagai upaya menyucikan harta, dalam pengertian lain untuk menghilangkan kesewenang-wenangan dalam memiliki kekayaan dan juga sebagai implementasi dari kesalehan sosial.
Tidak hanya membayar zakat saja yang menjadi ukuran atau indikator dalam terbentuknya kesalehan sosial. Dalam ajaran tasawuf, seperti yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Qadir Jaelani, terdapat dua dimensi dalam puasa yaitu lahiriah dan batiniah.
Dari segi lahiriah, puasa sebagai sarana untuk menahan diri dari makan dan minum serta berhubungan suami istri.
Sementara batiniah, berpuasa juga mampu menahan diri dari segala perbuatan dosa seperti ghibah, sifat pelit, takabur, makar, dan maksiat yang menciptakan jurang pemisah dengan Tuhan.
Maka, puasa tidak hanya mengantarkan diri kita dekat dengan Tuhan, tapi dapat menyebarkan kasih sayang dan toleransi kepada sesama manusia sebagai perwujudan dari tidak melakukan ghibah, pelit, takabur, dan sebagainya.
Bentuk kesalehan sosial yang lain diwujudkan dengan menjaga keharmonisan antar sesama, bahkan antar umat beragama. Maka, terdapat dua jalan jihad yang dihadapkan umat Islam pada momentum Ramadhan, yaitu meredam hawa nafsu dan berbuat kebaikan.
Gerakan Kesalehan Sosial Melalui Masjid
Masjid bisa menjadi akar gerakan kesalehan sosial. Karena, masjid mempunyai peran strategis dalam membangun kesadaran akan dimensi sosial dan kemanusiaan masyarakat muslim.
Masjid juga mempunyai fungsi dalam menyampaikan pesan-pesan perdamaian. Pesan-pesan tersebut dimasukkan dalam setiap ceramah yang disampaikan kepada jamaah, yang memotivasi umat untuk hidup rukun, tolong menolong, dan tidak saling curiga apalagi sampai saling tuduh.
Terdapat dua cara yang bisa kita lakukan dalam menjadikan masjid sebagai akar gerakan kesalehan sosial. Pertama, menjadikan masjid sebagai ruang literasi keagamaan. Dalam konteks ini, masjid menjadi pusat arah pendidikan keagamaan yang tidak hanya bersifat normatif, tapi mengandung makna kemanusiaan dan sosial.
Literasi keagamaan yang dibangun atas kesadaran menjadikan seseorang akan paham terhadap keagamaanya sendiri dan agama selain Islam, sehingga terbangun kesepahaman mengenai kehidupan yang damai.
Kedua, menjadikan masjid sebagai lahan atau candradimuka bagi semua golongan. Sehingga, selain masjid ramah untuk semua golongan, juga tidak ada lagi saling rebut masjid, yang memunculkan eksklusivitas masjid.
Dengan demikian, representasi Islam di Indonesia menjadi contoh baik bagi negara Islam lainnya. Hubungan vertikal kepada Tuhan harus diikiti dengan hubungan secara horizontal, yaitu kepada manusia.
Artinya, kesalehan secara ritual juga harus menumbuhkan kesalehan secara sosial yang dapat kita manifestasikan bersama melalui akhlak mulia sesuai dengan apa yang menjadi warisan Nabi Muhammad SAW.
Editor: Yahya FR