Salah satu kerajaan maritim di pantai timur Sumatera adalah Kesultanan Deli. Kesultanan ini sangat terkait dengan seorang tokoh bernama Sri Gotjah Pahlawan, yang dalam sumber lain dikenal sebagai Yazid. Ia dianggap keturunan dari kerajaan Pagarruyung. Karena berbeda pendapat dengan ayahnya, ia kemudian merantau ke Aceh Darussalam.
Di tempat inilah ia memulai karir politiknya. Dengan kemampuan strategi perang yang handal, Sri Gotjah Pahlawan berhasil menaklukkan wilayah Bengkulu, Johor, dan Pahang. Berkat jasa-jasanya, beliau dipercaya untuk menjadi wakil Sultan di Deli.
Tugasnya adalah menumpas perlawanan kerajaan Haru beserta sekutunya, Portugis, serta melakukan Islamisasi di pedalaman Sumatera. Dalam kurun waktu yang tidak begitu lama, Sri Gotjah Pahlawan mampu membawa Kesultanan Deli menjadi kerajaan terunggul di Pantai Timur Sumatera, terutama di jalur pantai yang memiliki potensi besar dalam perdagangan dan pelayaran.
Labuhan Deli sebagai Jantung Perdagangan Rempah Sumatera Timur
Labuhan Deli menjadi pusat kegiatan perdagangan rempah-rempah di Pantai Timur Sumatera. Lokasinya yang diapit oleh dua sungai besar menjadikannya sebagai penghubung utama antara pedalaman dan pantai. Kedua sungai tersebut langsung terhubung ke pusat-pusat perkebunan rempah di pedalaman.
Sungai-sungai ini merupakan jalur transportasi utama untuk mengangkut hasil bumi dari daerah hulu ke hilir, kemudian diperdagangkan dan diekspor ke luar, terutama ke Semenanjung Malaya. Sebaliknya, barang-barang dari luar juga dibawa melalui sungai ke daerah pedalaman untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tinggal di hilir sungai.
Labuhan Deli menjadi bandar teramai di Pantai Timur Sumatera. Komoditas andalannya adalah rempah yang sangat dicari oleh pedagang asing, seperti lada dan kapur barus. Demikian juga dengan hasil pertanian lokal berupa beras, tembakau, ikan kering, hasil-hasil hutan, dan emas.
Berdasarkan catatan Anderson, sekitar 3.500 ton lada setiap tahunnya diekspor ke Malaka, Penang, dan Singapura. Masifnya budidaya lada di Kesultanan Deli menjadikan pelabuhan ini terkoneksi pada jaringan perdagangan internasional. Para pedagang asing ini membawa komoditas impor berupa tekstil, candu, keramik, sutra, kopi, emas, timah dan barang konsumsi lainnya.
***
Perdagangan telah menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Muslim di Deli, dengan hampir seluruh penduduk terlibat aktif dalam proses perniagaan yang dinamis. Fenomena ini tercermin dari rumah-rumah tinggal yang difungsikan ganda sebagai tempat berdagang, dengan serambi-serambi dijejali baik oleh barang-barang bermerek internasional maupun komoditas lokal yang sangat diminati oleh pedagang asing di pelabuhan.
Bagi komunitas Muslim Deli, pasar bukan sekadar tempat transaksi, melainkan berfungsi sebagai ‘melting pot’ yang vital, menjadi ruang pertukaran yang kaya akan ilmu pengetahuan, budaya, dan wacana politik. Kehidupan di Bandar Deli semakin diperkaya oleh keberagaman etnis, di mana berbagai suku seperti Melayu, Batak, Tiongkok, dan India hidup dan berinteraksi bersama.
Ramai dan majunya aktivitas perniagaan di Labuhan Deli didorong oleh pengelolaan bandar yang efektif oleh Kesultanan Deli. Kesultanan secara strategis mengangkat pejabat Syahbandar, yang memainkan peranan krusial tidak hanya dalam bidang perdagangan tetapi juga dalam keamanan dan pertahanan pelabuhan.
Tugas utama Syahbandar sangat vital: mereka bertanggung jawab memungut cukai dari setiap barang dan tongkang yang masuk atau keluar, yang merupakan sumber pendapatan penting bagi Kesultanan. Selain itu, Syahbandar juga bertugas menjaga keamanan maritim dari potensi gangguan dan ancaman, khususnya serangan bajak laut, sehingga menjamin kelancaran dan keselamatan arus perniagaan.
Kesultanan Deli: Poros Penyebaran Islam di Pantai Timur Sumatera
Letak geografis Kesultanan Deli di tepi Selat Malaka memberikan keuntungan besar secara ekonomi dan politik. Selat Malaka adalah jalur perdagangan tersibuk di Asia Tenggara sejak abad ke-15, menjadi rute utama antara dunia Islam (Arab, India, Persia) dan dunia Timur (Cina, Nusantara).
Kesultanan Deli tidak hanya dikenal sebagai pusat perdagangan yang makmur, tetapi juga menjadi poros keagamaan dan intelektual Islam yang sangat penting di sepanjang pesisir timur Pulau Sumatera. Posisi strategisnya, yang diperkuat oleh aktivitas perniagaan yang padat, mengubah Deli menjadi simpul penyebaran Islam melalui dua jalur utama: perdagangan dan pendidikan.
Aktivitas perniagaan yang ramai di Labuhan Deli menjadikan pelabuhan ini sebagai tempat ‘melting pot’ bagi berbagai etnis, budaya, dan tentu saja, ajaran agama. Para pedagang Muslim yang datang dari berbagai kawasan Nusantara hingga mancanegara membawa serta keyakinan dan praktik Islam mereka.
***
Interaksi antara pedagang dan penduduk lokal, seperti yang tergambar di pasar yang ramai, menjadi medium dakwah kultural yang efektif. Melalui kontak dagang inilah, nilai-nilai, etika, dan hukum Islam perlahan meresap dan membentuk karakter masyarakat Deli.
Selain perdagangan, peran Deli sebagai pusat penyebaran Islam diperkuat oleh hadirnya jaringan ulama terkemuka. Deli menjadi titik pertemuan bagi para cendekiawan Muslim yang memiliki pengaruh besar di kawasan regional. Para ulama ini datang dari wilayah-wilayah yang sudah mapan dalam tradisi keilmuan Islam, seperti:
- Aceh: Dikenal sebagai Serambi Mekah, ulama dari Aceh membawa tradisi sufi dan fiqh yang mendalam.
- Minangkabau: Para ulama membawa tradisi keilmuan yang kuat dalam bidang hukum Islam dan reformasi keagamaan.
- Semenanjung Malaya: Ulama dari semenanjung memperkaya Deli dengan wawasan Islam yang berinteraksi dengan tradisi Melayu yang luas.
Kehadiran ulama-ulama dari berbagai latar belakang ini mengubah masjid dan madrasah di Deli menjadi lembaga pendidikan Islam yang ramai dikunjungi, melahirkan generasi baru yang memahami ajaran Islam secara komprehensif. Dengan demikian, Deli tidak hanya kaya secara ekonomi tetapi juga kaya secara spiritual dan keilmuan, menjadikannya jantung peradaban Islam di Pantai Timur Sumatera.
Editor: Soleh

