Oleh: Djarnawi Hadikusuma
Kiai Dahlan adalah anak dari orang yang berada. Dia sendiri pun sebagai Khatib Amin Masjid Besar Kauman, Yogyakarta, mempunyai penghasilan yang cukup, apalagi di samping itu berdagang batik pula. Jika ingin hidup senang dan tenang, dia sudah memperolehnya. Tetapi rupanya dia berkeinginan lain. Dia inginkan yang jauh melebihi itu, yaitu kesenangan dan kebahagiaan akhirat yang abadi di bawah ridha Ilahi. Kemantapan ini tercermin dalam sepanjang hayatnya dalam memimpin Muhammadiyah yang telah menjadi bagian dari kehidupannya.
Sang Anak Sakit Keras
Pada suatu hari, ketika dia sedang asyik pengajian, datanglah istrinya dengan wajah sedih. Sang istri meminta Khatib Amin pulang karena penyakit anaknya bertambah parah. Murid-muridnya pun menganjurkan dia supaya segera pulang. Setelah berpesan kepada meraka agar tetap menunggu dalam ruangan pengajian, pendiri Muhammadiyah ini pun kembali ke rumahnya dan mendapati anaknya memang sakit keras.
Direnungkannya wajah anaknya yang sedang sakit itu dengan tenang, lalu katanya: “Wahai anakku Jumhan, berdoalah kepada Allah agar engkau lekas sembuh; karena Dialah yang mentakdirkan engkau sakit dan Dia pula yang akan menyembuhkan. Tetapi jika Allah takdirkan engkau sampai pada ajalmu, pergilah dengan tawakal dan engkau akan bertemu di sana dengan kakakmu Johanah yang telah pergi terdahulu. Maka tetapkanlah hatimu, tenanglah!”
Setelah mencium kening anaknya, dia berpaling kepada isterinya yang tengah berurai air mata. Sekejap cahaya kesedihan terlihat pada wajahnya, lalu dengan kata yang agak tersendat-sendat dia berkata kepada isterinya itu: “Wahai Nyai, janganlah engkau menyangka bahwa jika aku tetap menunggui anakmu ini, dia akan sembuh. Dan jika aku tinggalkan dia, dia akan mati. Tidak Nyai, mati dan hidup di tangan Allah, Tuhanmu dan Tuhanku, dan Tuhan dari Jumhan juga.”
Khatib Amin Sakit Keras
Kejadian seperti di atas terulang pula pada saat-saat akhir hayat Kiai Dahlan, tetapi kali ini mengenai dirinya. Telah hampir sebulan dia terbaring di atas tempat tidur. Badannya telah lemah dan kurus karena sakit keras. Suaranya sayup-sayup antara kedengaran dan tidak. Murid-murid dan teman sejawatnya, pengurus Muhammadiyah, bergantian menjenguk dan banyaklah sudah air mata yang ditumpahkan mereka.
Tetapi sang pendiri Muhammadiyah ini melarang mereka bersusah hati dan bahkan dengan suaranya yang semakin lemah menanyai mereka tentang perkembangan perkumpulan Muhammadiyah. Apabila mereka memberi laporan, kelihatan dia mendengarkan baik-baik di sela anggukan dan senyum, meskipun sesudah itu dia mengerang.
Dokter yang merawatnya berpesan agar dia sementara sakit tidak usah lagi memikirkan Muhammadiyah. Dia tenang saja mendengar ucapan dokter itu. Tetapi ketika isterinya berpesan demikian pula, wajahnya kelihatan berkerut dan bibirnya gemetar: “Aduhai, kalau tadi sore setan merupakan diri sebagai dokter dan melarangku memikirkan Muhammadiyah, maka kini setan itu memperalat isteriku! Wahai, Nyai, bertobatlah engkau kepada-Nya yang telah menjadikan engkau!”
Dengan terisak-isak, Nyai Dahlan memohon maaf kepada suaminya dan membaca istighfar berkali-kali.
Sumber: Buku ”Matahari-matahari Muhammadiyah” karya Djarnawi Hadikusuma (1977). Pemuatan kembali di www.ibtimes.id secara berseri lewat penyuntingan dari redaksi
Editor: Arif