Kasus sastra Indonesia tercermin dari praktik kesepakatan paradigmatik. Hal ini masih memberi ruang bagi pemikiran sastra di luarnya. Keragaman sastra Indonesia sudah ada sejak awal kelahirannya. Sehingga, penentuan produk karya sebagaimana mewakili sastra Indonesia cukup mengalami kesulitan.
Pada tahun 1970-an, kecenderungan sastra terklaim seakan seragam. Meski, belum terbilang jelas akan otensitasnya atas kesepakatan khalayak. Pengakuan muncul di tahun 1980-an perihal kecondongan baru, misalnya sufisme. Hingga memasuki tahun terakhir dekade 1980-an sampai 1990-an, kancah pemikiran sastra terintegrasi oleh gagasan postmodernisme (Syaifuddin, 2006: 22-23).
Melihat betapa riuhnya dinamika sastra di Indonesia, kemudian menarik untuk didiskusikan tentang konsep “sastra”. Penulis di sini ingin membahas sastra dalam bingkai Al-Qur’an. Tentu saja, tak terlepas dari argumentasi perihal eksistensi Al-Qur’an itu sendiri yang terbentuk sebagai pesan puitis untuk menentang kaum Quraish.
Tulisan ini mengurai bagaimana sastra dipandang dalam bingkai Al-Qur’an. Secara sistematis, rumusan masalah tersebut memuat pembahasan terkait definisi sastra, hukum bersastra, dan hikmah sastra dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, maka akan mengantarkan kepada tujuan utamanya, yaitu untuk mengetahui serta memahami konsep sastra dalam bingkai Al-Qur’an.
Pengertian Sastra
Dalam Surah al-Baqarah [2]: 23, dengan lantangnya Allah Swt berfirman yang bunyinya:
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad Saw.), buatlah satu surah (saja) yang semisal Al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah Swt., jika kamu orang-orang yang benar”
Ayat di atas menjelaskan bahwa Al-Qur’an diciptakan sebagai bukti atas kemukjizatan-Nya. Tiada satu pun manusia yang sanggup menyaingi Al-Qur’an. Padahal, secara kultural, masyarakat Arab terkenal kepandaiannya dalam menyusun sastra (syair, prosa, dan pidato). Maka, ingkar pada kerasulan Nabi Muhammad Saw akan terancam masuk neraka (Al-Zuhayli, 2013: 01/72). Sastra ditinjau melalui makna dasarnya, lahir oleh dorongan individual untuk mengungkap diri tentang kemanusiaan atau semesta. Karya sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. Seseorang dapat dikatakan sebagai sastrawan, bukan dengan cara teknis akademik, melainkan melalui karya sastra yang holistik (Purba, 2010: 7).
Maka dari itu, tiada upaya selain mendefinisikan sastra dalam Al-Qur’an dengan sebuah mukjizat yang Allah Swt. turunkan pada setiap lafaz serta maknanya. Karena, kompleksitas Al-Qur’an pada hakikatnya melampaui definisi sastra itu sendiri. Al-Qur’an berada di atas bahasa Arab, meski telah Allah Swt. sampaikan dengan lisan arabiyyah (Akbar, dkk, 2020: 73).
Hukum Bersastra
Awal kelahiran Islam telah bersentuhan dengan kesusastraan Arab yang sudah mapan, yaitu sastra Jahiliyah, sebuah tumpuan ekspresinya berasal dari berhala. Ketika interaksi begitu berjalan dan supremasi Islam semakin dominan, sebagaimana Al-Qur’an adalah inti pedomannya, maka tradisi kesusastraan Jahiliyah pun dianggap pudar (Syaifuddin, 2002: 50).
Hukum fiqih Islam sendiri tetap membolehkan karya sastra, sejauh substansinya memuat dan mengandung kebenaran Al-Qur’an, ditambah lagi Hadits (Sunhaji, 2015: 49). Fenomena unsur kesusastraan tereksplanasi pada Surah al-Shu’ara [26]: 221-227. Ayat-ayat tersebut menjelaskan perbedaan perkara kenabian perihal perdukunan dan syair.
Dalil kesesatan para penyair disebutkan dengan dua hal. Pertama, mereka terjerumus dalam persoalan yang tiada mengandung manfaat. Kedua, mereka tidak mengikuti jalan kebenaran. Tidak diperdulikan apa yang ia ucapkan dan sebagian besar di antaranya pendusta. Ucapan terkadang menunjukkan kemuliaan, namun secara hakiki tidak melakukannya (Al-Zuhayli, 2013: 10/235).
Singkatnya, tradisi bersastra dalam sudut pandang hukum fiqih adalah diperbolehkan, selagi nilai kebenarannya seiras dengan Al-Qur’an dan Hadits, agar pesan-pesan intrinsik pendidikan dapat tersampaikan sebaik mungkin. Sastra bukanlah buruk pada asalnya, tetapi dianggap celaka karena isinya. Hal ini tak salah jika pengaruh efek besar bagi kaum Arab begitu andil.
Hikmah Esensial Sastra
Al-Qur’an memiliki metode tersendiri ketika menjelaskan ungkapan sastra. Sehingga, tak sedikit para akademisi yang menemukan keajaiban di balik pandangan mereka terhadap bahasa Arab itu sendiri. Terdapat tiga hikmah esensial dari keberadaan sastra sebagaimana tereplika di dalam Al-Qur’an (Purba, 2010: 93-94), yaitu:
- Memperindah dan menghias kosakata bahasa Arab. Sejak Al-Qur’an turun dengan keistimewaannya sistem kebahasaan, bahasa Arab terpengaruh oleh Al-Qur’an, mulai dari segi penggunaan lafaz-lafaz, susunan gaya ekspresi, kedalaman isi makna, hingga kepada kefashihan penyampaian pesan puitisnya.
- Muncul istilah-istilah baru dalam bahasa Arab untuk memahamkan syari’at Islam, seperti shalat, zakat, mukmin, kafir, dan sebagainya. Hal tersebut tentu dimaknai bukan seperti pemahaman khayalak umum.
- Menjaga bahasa Arab dari kemusnahan dan menjamin keabadiannya. Menariknya lagi, dalam Surah al-Hijr [15]: 9, Allah Swt menjaga Al-Qur’an itu sendiri untuk menepis tuduhan bohong kaum musyrik tentang Nabi Muhammad Saw. sebagai orang gila yang menerima Kalam-Nya (Al-Zuhayli, 2013: 07/285).
Dari penyebutan tiga hikmah berkembangnya sastra, konteks di kawasan Arab, Rasulullah Saw telah merubahnya dengan pola pikir kosmopolitan. Untuk itu, konsep paling tepat jika dikemukakan secara umum, semakin sastra diminati sebagai langkah kemajuan peradaban, maka begitu terbuka keragaman estetika bahasa untuk dimanfaatkan dalam komunikasi sehari-hari.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan alur pembahasan di atas, telah diketahui konsep sastra dalam bingkai Al-Qur’an. Keberadaan sastra yang terkandung dalam Al-Qur’an, diartikan sebagai mukjizat sebagaimana Allah Swt ciptakan atas setiap lafaz dan maknanya. Sedangkan, hikmah dari sastra dalam Al-Qur’an, kebijaksanaannya terarah pada pengaruh kegunaan bahasa Arab.
Editor: Soleh