Opini

Ketika “Citizen Journalism” Bertemu “Nahi Munkar”: Refleksi No Viral No Justice

2 Mins read

Linimasa kita dalam beberapa waktu terakhir menyajikan dua wajah kontras dari kekuatan media sosial. Belum lekang dari ingatan, kita disuguhi tontonan ironis: video anggota dewan berjoget ria yang kemudian viral di jagat maya. Video itu memicu kemarahan kolektif publik yang sedang terimpit krisis, hingga berujung pada aksi vandalisme dan anarki di rumah-rumah para pejabat terkait. Ini adalah wajah media sosial yang penuh dengan amarah.

Lalu, baru-baru ini, wajah itu berubah. Saat bencana banjir melanda beberapa daerah di Sumatera, kita menyaksikan bagaimana bantuan logistik yang sempat tertahan birokrasi, akhirnya turun deras setelah rekaman video amatir warga yang memperlihatkan kondisi terkini viral di media sosial. Video itu meruntuhkan alasan “akses sulit” dan menyelamatkan banyak nyawa. Ini adalah wajah media sosial yang penuh harapan.

Dua peristiwa berurutan ini menunjukkan runtuhnya fungsi Gatekeeping (penjaga gawang informasi) yang dulu dipegang media massa. Kini, publik mengambil alih kendali. Menariknya, apa yang dalam ilmu komunikasi disebut sebagai “Partisipasi Warga” (Citizen Participation), ternyata memiliki resonansi kuat dengan konsep “Nahi Munkar” (mencegah keburukan) dalam Islam. Namun, batas antara “anarki” (kasus pertama) dan “koreksi” (kasus kedua) kini setipis layar ponsel.

Bahaya “Echo Chamber” dan Jebakan Anarki

Belajar dari kasus pertama (anggota dewan), kita melihat bagaimana media sosial bekerja dengan logika Echo Chamber (Ruang Gema). Algoritma mempertemukan kita dengan orang-orang yang sepemikiran, sehingga rasa benci terhadap satu objek (misal: pejabat yang nir-empati) teramplifikasi berkali-kali lipat. Di sinilah letak titik kritisnya. Kemarahan kolektif yang diamplifikasi algoritma meledak menjadi Mob Justice (Pengadilan Massa).

Dalam istilah agama, ini adalah pergeseran fatal dari Ishlah (niat memperbaiki) menjadi Fasad (perusakan). Niat awal melakukan Nahi Munkar (mencegah perilaku pejabat yang tidak patut) ternoda karena caranya justru melahirkan kemungkaran baru berupa anarki fisik dan perusakan aset. Ini menjadi pelajaran mahal: viralisasi tanpa kendali emosi hanya melahirkan kekacauan.

Baca Juga  Viral Lalu Minta Maaf, Tradisi Barukah?

Memecah “Spiral of Silence” dengan Dalil Langit

Namun, kasus kedua (banjir Sumatera) membuktikan bahwa kita tidak boleh antipati terhadap viral. Ada teori komunikasi bernama Spiral of Silence (Spiral Keheningan). Teori tersebut mengatakan bahwa orang cenderung diam saat melihat masalah karena takut melawan arus kekuasaan atau birokrasi. Selama bertahun-tahun, korban bencana sering diam menerima nasib saat bantuan lambat.

Fenomena #NoViralNoJustice mematahkan teori ini. Netizen kini bising dan berani bersuara demi kemanusiaan. Jawabannya mungkin terletak pada konsep fiqih sosial bernama Tadzallum. Sering kali kita mengira agama melarang total penyebaran aib atau keluhan (Satrul Aib). Padahal, literatur fiqih memberikan “hak prerogatif” bagi korban kezaliman/musibah untuk bersuara lantang (Jahar).

Video warga Sumatera itu bukan sekadar jurnalisme warga biasa. Itu adalah manifestasi Tadzallum: jeritan korban yang “disahkan” oleh agama untuk menembus tembok tebal birokrasi. Di sini, viralitas berfungsi lurus sebagai alat penegak keadilan dan kemanusiaan.

Bayang-bayang UU ITE dan Dilema Etis

Keberanian warga untuk melakukan Tadzallum digital ini bukannya tanpa risiko. Di Indonesia, kita hidup di bawah bayang-bayang UU ITE. Pasal-pasal di dalamnya sering kali menciptakan apa yang dalam ilmu komunikasi disebut sebagai Chilling Effect (Efek Jera) yakni kondisi di mana warga takut bersuara karena ancaman kriminalisasi.

Di sinilah terjadi benturan menarik. Secara hukum negara (UU ITE), memviralkan keluhan berisiko dianggap pencemaran nama baik. Namun secara hukum agama (Fiqih), menyuarakan kezaliman adalah hak yang dijamin Tuhan. Fenomena viralnya video bantuan di Sumatera menunjukkan bahwa masyarakat kita mulai menempatkan “kewajiban moral” di atas “ketakutan hukum”. Viralitas menjadi bentuk perlawanan sipil yang unik: warga mengambil risiko dijerat aturan demi menyelamatkan nasib sesamanya.

Baca Juga  Di Sumatera Barat: Harapan Lama Sekolah Tinggi, Tapi Beasiswa Kuliah Masih Minim

Tabayyun di Era Algoritma

Dua kutub peristiwa ini mengajarkan kita tentang keseimbangan. Dalam ilmu komunikasi, ada disiplin Fact-Checking, sedangkan dalam agama, ada kewajiban Tabayyun. Kecepatan jempol sering kali melampaui kecepatan nalar. Ketika kita memviralkan kebencian (seperti kasus pertama), kita berisiko menjadi bahan bakar anarki. Namun ketika kita memviralkan fakta ketidakadilan (seperti kasus kedua), kita menjadi penyelamat.

Fenomena No Viral No Justice adalah pedang bermata dua. Teknologi (Algoritma) hanyalah alat pengeras suara. Ia butuh panduan moral (Agama) agar suara yang keluar adalah suara keadilan yang murni, bukan suara kebencian yang memecah belah. Keadilan harus ditegakkan, tapi ketertiban sosial dan adab juga tidak boleh ditinggalkan.

Editor : Ikrima

1 posts

About author
Peneliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, BRIN
Articles
Related posts
Opini

Gejala Tribalisme Birokrasi

2 Mins read
Indonesia dikenal sebagai negara dengan potensi luar biasa: kaya sumber daya alam, beragam budaya, bonus demografi yang menjanjikan, serta posisi geopolitik strategis…
Opini

Sumatera Tenggelam atau Tenggelam dalam Tafsir

4 Mins read
Banjir bandang dan tanah longsor wilayah Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda wilayah Aceh,…
Opini

Hutan, Bencana, dan Pesan Langit: Sebuah Refleksi Ekologis

3 Mins read
Bencana banjir dan longsor yang melanda Sumatra pada akhir November 2025 kembali membuka mata kita bahwa alam tengah memberi tanda yang tidak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *