Falsafah

Ketika Islam dan Kristen Bersatu

3 Mins read

Selama ini Islam dan Kristen selalu didera oleh berbagai konflik baik yang bersifat individual ataupun komunal, lisan ataupun tulisan, diskriminasi hingga kekerasan yang tak jarang berakhir dengan memakan korban. Hal ini tentu sangat disayangkan, melihat kedua penganut agama ini mempunyai kepercayaan kepada Tuhan yang sama-sama mengajarkan akan perdamaian dan kasih sayang antar sesama ummat manusia.

Kenyataannya perdamaian dan kasih sayang ini hanya diterapkan bukan kepada sesama manusia tetapi kepada pemeluk agama yang sama. Islam dengan Islam, Kristen dengan Kristen. Seharusnya tidak demikian, keduanya harus saling berdamai dan menyayangi sebagai seorang manusia, bukan sebagai penganut agama.

Disinilah letak titik temu antara Islam dan Kristen agar bisa bersatu untuk menciptakan revolusi baru bagi perkembangan ummat manusia. Untuk bisa bertemu, ummat Islam harus keluar dari sel nya, begitu juga dengan ummat Kristiani. Sehingga bisa saling mengenal dan berdialog bersama untuk menciptakan kerukunan untuk kemanusiaan tanpa menyentuh urusan teologis masing-masing.

Islam dan Kristen Untuk Persatuan

Sebagaimana yang dikutip oleh Zuly Qodir, Hans Kung menyatakan dalam karyanya yang berjudul Islam Past, Present and Future bahwa Islam merupakan agama yang akan sangat berpengaruh di muka bumi bersama Kristen, sebab dua agama ini dianut lebih dari separuh penduduk bumi yang telah mencapai 5 miliyar jiwa. Sehingga apabila tidak ada kesadaran antara kedua pemeluk agama ini, maka bukan suatu kemustahilan dunia ini akan terus dilanda konflik yang berkepenjangan.

Padahal, pertentangan dan perdebatan di antara keduanya hanyalah persoalan simbol, ritual, persoalan ada atau tidaknya surga-neraka yang sesungguhnya bukan otoritas manusia. Keduanya merasa “sok tahu” akan ajaran agama orang lain sehingga dengan mudah mengatakan ajaran tersebut tidaklah benar dan mengatakan ajaran masing-masing adalah yang paling benar.

Baca Juga  Hassan Hanafi dan Problematika Turats Arab Islam (1)

Dalam sebuah ungkapan dikatakan who knows one, knows none ; to know is to understand ; to understand is to love; to love is to share together; to share together is to live in peace. Kita tidak boleh terjebak pada cara berpikir oposisi biner : benar-salah, muslim-kafir dan halal-haram saja. Tetapi harus mampu mencari titik temu dengan mengindahkan titik seteru yang pasti akan selalu ada. Semua itu bisa diredam dan diatasi apabila ada dialog antar kedua agama yang transparan dan berdasarkan kemanusiaan.

Meredam Konflik, Menemukan Solusi

Konflik telah usai, bukan berarti misi perdamaian selesai. Konflik bukan hanya sekedar dihentikan tetapi juga harus diantisipasi dan dipikirkan bagaimana caranya agar konflik itu tidak muncul lagi. Namun, untuk berdialog dengan orang atau kelompok yang dianggap tidak sepaham dalam konteks agama seringkali dihindari dengan alasan yang bervariasi.

Menurut M. Sastraparedja salah satu permasalahan dalam dialog interreligius adalah “ketegangan dialogis” antara keterbukaan dan identitas. Kebanyakan orang bersikap defensif bahkan agresif ketika menghadapi orang lain yang berbeda, tidak mampu bersikap terbuka demi mempertahankan identitas.

Ada semacam ketakutan yang akut ketika berdialog dengan orang yang berbeda agama. Seperti takut melunturkan akidah bahkan sampai kepada perpindahan agama (aksi protelyzitation).

Sesungguhnya ini bukanlah menjadi alasan untuk menghentikan dialog interreligus. Perlu diketahui dan dipahami bahwa dialog antar ummat beragama bukanlah hanya membahas persoalan keagamaan dalam arti teologis tetapi lebih daripada itu seperti persoalan kemiskinan, keadilan, pendidikan, ekonomi dan sebagainya.

Fundamental Building

Menurut Lederach tolak ukur keberhasilan dari dialog atau proses rekonsiliasi dan peace keeping antar ummat Islam dan Kristen adalah didasarkan pada 4 fundamental building block.

Baca Juga  Oleh-Oleh Haji yang Tahun Ini Tertunda

Pertama, kebenaran (truth) yang meliputi acknowledgement, transparency, revelation, clarity. Artinya kedua penganut agama harus terbuka dalam menyampaikan kebenaran menurut agamanya tanpa harus menyalahkan ajaran agama lain.

Kedua, keadilan (justice) meliputi equality, making thing right restitution. Setiap penganut agama harus menunjukkan kesetaraan dalam dialog, tidak ada intervensi bahwa penganut agama yang lain lebih rendah dan sebagainya.

Ketiga, kemurahan hati (mercy) meliputi acceptance, forgiveness, supports, compassions healing. Sikap saling menyayangi, menerima pendapat dan ajaran kelompok lain dengan murah hati, saling mendukung tanpa harus masuk kedalamnya.

Keempat, kedamaian (peace) meliputi harmony, unity, well being, security and respect. Rasa kebersamaan dan menghargai sesama ummat manusia akan menghasilkan sebuah kedamaian di dunia ini. Tanpa harus melihat latar belakang agama nya, cukup melihat orang atau kelompok lain sebagai seorang manusia.

Reychler juga menambahkan bahwa peran agama Islam dan Kristen dalam perdamaian dapat dilakukan dengan aksi-aksi seperti menguatkan yang lemah (mengatasi kemiskinan), mempengaruhi kondisi moral dan politik, membangun kerjasama dan memberi bantuan kemanusiaan.

***

Layaknya seperti manusia, agama tidak akan pernah dapat berdiri sendiri tanpa adanya agama lain. Karena keberagaman agama merupakan sunnatulloh yang tidak bisa dihapuskan oleh manusia.

Islam dan Kristen harus bersatu demi terwujudnya perdamian bangsa dan dunia. Yang harus dipersatukan bukanlah agama. Tetapi visi dan misi untuk kemaslahatan umat dan kedamaian dalam sebuah negaralah yang harus diperjuangkan bersama.

No human life together a world ethic for the nations; no peace among the nations without peace among religions; no peace among religions without dialogue among religious

Hans Kung

Editor: Sri/Nabhan

Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds