Oleh: Ridho Al-Hamdi
Vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Begitulah petuah jamak bagi negara-negara penganut demokrasi. Kini, suara mahasiswa di republik +62 mulai bergerak sejak Senin, 23 September 2019 hingga batas yang tak ditentukan. Menjadi momen ketika mahasiswa bergerak atas tuntutan berlapis-lapis terhadap pemerintah (baik eksekutif maupun legislatif).
Inti tuntutan adalah mosi ketidakpercayaan terhadap lembaga DPR atas rencana penetapan sejumlah RUU seperti RUU KPK, RUU PKS, RUU RKUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Minerba, dan RUU Pertanahan. Tuntutan untuk lengserkan Jokowi pun mulai disuarakan di berbagai daerah karena dianggap tak becus lagi dalam mengelola negara.
Isu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera dan Kalimantan serta adanya kecenderungan pelemahan terhadap KPK menjadi penyulut akhir. Memantik mahasiswa untuk bergerak melakukan demonstrasi di jalan-jalan. Di saat pemerintah dan DPR berkoalisi untuk otoriter, saatnya rakyat menjadi kekuatan oposisi sejati melawan kesewenang-wenangan mereka.
Mahasiswa Menyikapi Rezim yang Tidak Beres
Pergerakan demonstrasi mahasiswa telah dan masih terjadi di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Tegal, Surabaya, Malang, Bogor, Jember, Purwokerto Makassar, Balikpapan, Samarinda, Bengkulu, dan lain sebagainya. Diperkirakan, eskalasi demonstrasi akan terus meluas ke kota-kota lain. Di sejumlah daerah, chaos dan bentrokan antara aparat dan mahasiswa pun terjadi. Tak sedikit demonstrasi yang akhirnya memakan korban.
Suasana di sekitar Gedung DPR semakin memanas, pagar besi pun hampir putus. Aparat semakin represif. Semakin aparat menggunakan kekerasan, mahasiswa semakin beringas dan radikal.
Penulis sempat heran ketika sehari sebelum aksi 23/9, tiba-tiba revolusi jemari menggerakkan jagad maya dan mampu menyatukan kekuatan mahasiswa dari berbagai kampus di satu titik kumpul. Ini saya saksikan di Yogyakarta. Ahad pagi hari tidak ada tanda-tanda apapun terkait aksi ini, dunia maya landai tanpa ada isu apapun. Tiba-tiba Ahad sore mulai terjadi gelombang ajakan untuk aksi turun ke jalan dengan tagar #GejayanMemanggil.
Ruang kelas seakan tumpah ruah dan pindah ke jalanan. Meskipun sejumlah rektor dan petinggi kampus mengeluarkan surat perintah melarang aksi demonstrasi, itu tak lantas membuat mahasiswa takut. Yang terjadi justru sebaliknya, larangan itu membuat mereka semakin kuat dan yakin. Bahwa rezim ini memang sedang tidak beres dan harus segera dilawan. Mahasiswa sejatinya adalah makhluk bebas tanpa kepentingan apapun.
Ketika Mahasiswa Bergerak
Itulah anak muda, ketika mahasiswa bergerak. Mereka memang miskin pengalaman, tetapi tidak takut masa lalu. Karena itu, mereka menawarkan masa depan.
Berkat anak muda, republik ini pernah lahir. Berkat mahasiswa, republik ini masih memiliki nafas panjang. Berkat anak muda, Sumpah Pemuda pernah lahir di 1928. Berkat anak muda, kemerdekaan 1945 telah diraih, Belanda dan Jepang diusir dari bumi Indonesia, buminya manusia. Berkat anak muda, rezim Orde Baru pernah tumbang di Mei 1998.
Lalu, akankah Oktober 2019 tetap menjadi panggung pelantikan Jokowi? Atau justru ini menjadi lonceng kematian dan lengsernya sang presiden karena situasi yang semakin tidak terkendali. Haruskah mahasiswa bergerak untuk melengserkan rezim yang semakin otoriter? Karena hampir tak ada lagi kekuatan di republik ini yang berani mengritik penguasa.
Tak ada lagi harapan dari DPR, tak ada lagi harapan dari kaum aristokrat. Media massa pun sulit untuk bertindak tegas ke rezim. Harapan terakhir ada di mahasiswa. Kepada merekalah bumi pertiwi ini masih bisa berharap. Mahasiswa tak memiliki beban masa lalu. Wajahnya adalah wajah keluguan, wajah kepolosan, wajah tanpa kemewahan, tetapi di balik wajah polos dan tubuh kerempeng itu, tersembunyi keberanian dan optimisme yang tak terbatas dan tak terbeli, bahwa rezim yang otoriter harus dilengserkan tanpa syarat apapun. Itu juga yang terjadi di Mei 1998.
Peringatan untuk Presiden
Pak Presiden, apa visi anda untuk republik ini? Mengapa kata ‘stabilitas’ menjadi barang mewah dan mahal bak tas Hermes atau sepatu Buccheri yang rakyat pun tak berani untuk sekadar mendekatinya? Seharusnya Anda sibuk mengevaluasi diri dan fokus membangun negeri. Bukan malah menyiapkan anak dan menantu untuk mencari peruntungan di pilkada sambil bercitra diri di depan vlog dan media sosial.
Freedom House telah mencatatat sejumlah kemunduran negeri ini di bawah kepemimpinan Anda. Dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies, Thomas P. Power (2018) juga sudah mengingatkan dengan sangat tegas. Bahwa rezim Anda adalah kembalinya rezim otoriter dan mundurnya demokrasi. Jangan sampai peristiwa Mei 1998 menimpa diri Anda. Jangan sampai. Situasi kekinian sedang menjadi alarm bagi Anda. Segera ambil sikap dan berpihaklah.
***
Saat ini, mahasiswa masih bergerak. Tetaplah terus bergerak hingga ada perubahan di republik ini. Suaramu adalah wakil suara rakyat. Teruslah berjuang dan patut diperjuangkan, karena pemerintah sedang tidak peduli padamu.