Isu kebebasan beragama di Indonesia masih menjadi isu yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu persoalan yang menjadi topik utama adalah pembangunan rumah ibadah. SETARA Institute melaporkan bahwa sepanjang tahun 2020, misalnya, terdapat 26 kasus gangguan terhadap rumah ibadah. Salah satu kasus penolakan rumah ibadah di tahun 2020 adalah penolakan pembangunan Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAHK) di Desa Cikakak, Kabupaten Sukabumi oleh warga setempat dengan alasan mayoritas penduduk perkampungan beragama Islam. Yang baru-baru ini terangkat lagi, misalnya, kasus penolakan pembangunan gereja di Cilegon, yang ironisnya didukung oleh pemerintah setempat.
Melihat fenomena ini, penulis terdorong untuk mengajukan renungan teologis berupa pertanyaan kepada kita semua ketika menghadapi orang-orang yang berbeda agama, aliran, mazhab, dan lain sebagainya dengan kita, yaitu: Apakah Tuhan kita dengan Tuhan umat beragama lain itu sama? Apakah Tuhan melarang pendirian rumah ibadah agama lain sehingga kita terdorong melarangnya? Di mana letak keyakinan kita akan ke-Maha Besar-an Tuhan jika pendirian rumah ibadah agama lain membuat kita takut dan goyah dalam menyembah-Nya?
Mendukung Keberadaan Rumah Ibadah Agama Lain Sama dengan Mendukung Kemusyrikan?
Penolakan pembangunan rumah ibadah mustahil terjadi tanpa sebab. Tentu banyak faktor yang melatarbelakangi penolakan tersebut. Namun, karena hal ini berkaitan dengan agama, maka bisa dipastikan terdapat motif agama di balik peristiwa ini. Beberapa hari yang lalu, penulis sengaja mencari konten-konten di Youtube terkait hukum pembangunan rumah ibadah agama lain dalam Islam.
Dalam beberapa video, terdapat beberapa pendakwah yang menjawab pertanyaan jemaahnya tentang apa hukumnya seorang pejabat beragama Islam memberi izin atau orang Islam biasa yang mendukung pembangunan rumah ibadah agama selain Islam. Tanpa berpikir panjang, para pendakwah tersebut menjawab bahwa hukumnya haram karena menurut mereka hal tersebut sama dengan mendukung kemusyrikan.
Para pendakwah semacam itu gampang saja menjawab pertanyaan jemaah. Mereka tidak menyadari betapa besarnya dampak ujaran mereka terhadap hubungan antara umat Islam dan umat beragama lainnya di negeri ini. Para pendakwah di negeri ini seharusnya menyadari bahwa ceramah-ceramah mereka berpotensi besar dalam membentuk pola pikir, pandangan, hingga tindakan umat Islam dalam memandang, menyikapi, dan menjalin hubungan dengan umat beragama lain.
Menurut penulis, para pendakwah tersebut tidak tepat dalam memberikan jawaban karena menyangka bahwa pembangunan rumah ibadah agama lain hanya persoalan teologis. Padahal pernyataan teologis yang mereka paparkan mempunyai implikasi sosial yang sangat besar karena dilandasi oleh semangat agama.
Mereka tidak menyadari bahwa dengan pandangan teologis yang menyatakan bahwa pembangunan rumah ibadah agama lain sama halnya dengan mendukung kemusyrikan, akan membawa implikasi berupa pelarangan hingga penghancuran rumah ibadah agama lain.
Tuhan Kita Sama
Para pendakwah atau siapapun yang menganggap pembangunan rumah ibadah agama lain sama halnya dengan mendukung kemusyrikan, menurut penulis, perlu merenungkan anggapan tersebut dengan memikirkan pertanyaan: “Apakah Tuhan kita dan Tuhan umat beragama lainnya itu sama?”. Menurut penulis sendiri, berdasarkan pengalaman dan dialog dengan umat beragama lain, Tuhan yang kita sembah adalah sama, yang berarti bahwa yang menjadi perbedaan hanyalah cara memahami dan menyembah-Nya. Tuhan kita semua, baik umat Islam maupun umat beragama lainnya, adalah Sang Pencipta Alam Semesta. Perbedaan kita dalam memahami, meyakini, dan menyembah-Nya biarlah menjadi urusan kita masing-masing. Yang pasti, kita sama-sama ciptaan-Nya.
Jika umat Kristen meyakini bahwa Tuhan memiliki tiga pribadi, Allah Bapa, Roh Kudus, dan Yesus, misalnya, biarlah keyakinan mereka begitu. Mendukung pembangunan rumah ibadah mereka tidaklah berarti kita juga mengamini “cara” mereka meyakini Tuhan sebagai “cara” yang paling benar. Ketika kita mendukung pembangunan rumah ibadah mereka, artinya adalah kita mendukung hak mereka untuk menyembah Tuhan sesuai “cara” yang mereka yakini. Dukungan ini sesuai dengan amanat Alquran yang menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, yang berarti bahwa semua manusia memiliki kebebasan untuk menyembah Tuhan berdasarkan “cara” yang mereka yakini.
Dari sini, terlihat bahwa anggapan yang menyatakan bahwa mendukung pembangunan rumah ibadah agama lain sama halnya dengan mendukung kemusyrikan sangatlah bersifat subjektif dan politis. Kita menghalangi hak orang lain untuk menyembah Tuhan dengan berdasarkan pemahaman dan “cara” kita meyakini-Nya.
Padahal, orang lain juga berhak memahami, meyakini, dan menyembah Tuhan dengan caranya sendiri secara merdeka. Memvonis umat beragama lain menyekutukan Tuhan lalu melarang mereka menyembah-Nya dengan caranya sendiri di rumah ibadahnya sendiri adalah tindakan memonopoli pemahaman terhadap Tuhan.
Pemahaman Terhadap-Nya Tidak Memengaruhi-Nya
Bagaimanapun pemahaman kita terhadap Tuhan, bahkan sehebat apapun kita mengklaim pemahaman kita terhadap-Nya yang paling benar, tidaklah memengaruhi-Nya sama sekali. Adanya Tuhan bukan karena kita memikirkan-Nya. Seandainya kita menganggap orang lain menyekutukan-Nya sekalipun, tetaplah tidak berpengaruh apa-apa pada Dzat-Nya.
Syafaatun Almirzanah, dalam bukunya, “Ketika Umat Beriman Mencipta Tuhan”, memaparkan bahwa dua Mahaguru spiritual, Ibn al-Arabi (dalam tradisi Islam) dan Meister Eckhart (dalam tradisi Kristen) sangat menekankan kesadaran pada keterbatasan manusia dalam memahami Tuhan. Salah satu keterbatasan manusia adalah bahasa. Maka dari itu, sikap rendah hati dalam memahami Tuhan sangatlah penting. Tidak berhenti di situ, sikap rendah hati dalam menyampaikan pemahaman kita tentang Tuhan kepada orang lain juga sama pentingnya.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kita meyakini dan mengklaim pemahaman kita terhadap Tuhan itu paling benar, kita juga tetap harus mengingat betapa “manusiawinya” pemahaman kita di hadapan Tuhan, apapun dan bagaimanapun tradisi agama yang kita anut. Pemahaman kita tentang Tuhan bukanlah Tuhan itu sendiri.
***
Dengan begitu, memvonis pemahaman orang lain tentang Tuhan sebagai pemahaman yang mutlak salahnya sama saja dengan menuhankan pemahaman kita sendiri tentang Tuhan dan tidak mengakui “manusiawinya” pemahaman kita terhadap-Nya. Untuk meyakini kebenaran pemahaman kita, kita tidak perlu sibuk ikut campur menghakimi pemahaman orang lain apalagi sampai melarang mereka menyembah Tuhan. Jalan saja di “jalan” masing-masing.
Alhasil, menurut penulis, dukungan terhadap keberadaan rumah ibadah agama lain adalah wajib dan sangat perlu diupayakan. Anggapan bahwa dukungan terhadap keberadaan rumah ibadah agama lain merupakan dukungan terhadap kemusyrikan adalah anggapan yang subjektif, politis, dan sembrono. Anggapan kemusyrikan merupakan klaim teologis yang membawa implikasi sosial nyata bagi hubungan antara umat Islam dan umat beragama lainnya.
Seharusnya, sebagai hamba, kita menyadari kekerdilan pemahaman kita terhadap Tuhan sehingga tidaklah patut bagi kita untuk menghalangi orang lain menyembah-Nya dengan caranya dan di rumah ibadahnya masing-masing. Rumah-rumah ibadah adalah tempat kita menyembah Tuhan dengan kekerdilan pemahaman terhadap-Nya, bukan tempat kita mengungkung-Nya dengan “keegoisan dan arogansi” iman kita. Tabik.