Di tengah-tengah perdebatan tentang nasab para habaib keturuan Ba’alawi, nyatanya tidak menyurutkan semangat untuk melihat sisi lain dari kehadiran kaum hadrami di Indonesia. Alih-alih semakin memudar, justru gemanya semakin populer. Hal itu sebagaimana disampaikan oleh Prof. Fatimah Husein, MA, Ph.D (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) dalam pengukuhan sebagai guru besar pada tahun 2023 lalu.
Melalui pidato pengukuhannya yang berjudul, “Ustadzah Ba’alawi dan Kemunculan Otoritas Keagamaan Baru di Ruang Publik Indonesia (Pendekatan Feminist Epistemology)”, Prof. Fatimah Husein menjelaskan tentang peran besar keturuan Hadrami yang dikenal dengan para Habaib, khususnya kaum perempuan yang diantaranya Ustadzah Halimah Alaydrus, Ustadzah Khodijah Assegaf, Ustadzah Aisyah bin Syech Abu Bakar, dan Ustadzah Syifa Al-Haddad. Keempat ustadzah ini merupakan contoh maraknya otoritas keagamaan baru yang dipegang oleh pihak perempuan.
Dalam pidatonya tersebut, Prof. Fatimah Husein menjelaskan bagaimana keempat ustadzah yang namanya disebut di atas dalam melestarikan, mentransmisikan, dan mereproduksi ajaran serta praktik dari thariqah Ba’alawi. Sebab selama ini sejak kehadiran kaum Hadrami di Nusantara, dakwah Islam atau pelestarian dan transmisi thariqah Ba’alawi banyak didominasi oleh kaum pria melalui tiga hal, yakni, 1). Melalui ritual haul dan ziarah, 2). Memelihara genealogi dan identitas Ba’alawi, 3). Mengirimkan anak laki-laki Ba’alawi ke Hadramaut untuk belajar agama.
Hal ini sebagaimana penjelasan Prof. Fatimah Husein bahwa pada masa-masa ini, laki-laki dari komunitas Ba’alawi lah yang mengambil peran penting dalam melestarikan thariqah Ba’alawi. Sehingga peran para perempuan dari komunitas yang sama belum terlihat. Maka melalui pendekatan feminist epistemology, Prof. Fatimah ingin melihat bahwa ternyata sejak tahun 1998 terjadi perubahan paradigma. Bila selama ini Hadramaut sebagai tempat belajar kaum laki-laki dari Ba’alawi, maka pada tahun itu telah dibuka beberapa pesantren untuk kaum perempuan yang diberi nama Daruz Zahro.
Daruz Zahro sendiri merupakan pesantren khusus perempuan Ba’alawi yang diasuh oleh Habib Umar bin Hafidz. Adapun dibukanya pesantren khusus perempuan ini, menurut Habib Umar, adalah untuk keseimbangan. Ketika ada peran laki-laki dalam berdakwah, namun tidak ada peran perempuan, maka tidak lengkap. Adapun proses pembelajaran di pesantren ini terdiri dari dauroh, ribath, dan halaqoh.
Meskipun mereka mendapatkan modal intelektual dan spiritual melalui pesantren Daruz Zahro yang didirikan oleh laki-laki dan mendapatkan restu untuk berdakwah di ruang publik juga melalui otoritas laki-laki, namun itu semua tidak menghilangkan kesadaran dan agensinya di tengah-tengah masyarakat.
Sebagaimana ditegaskan oleh Habib Ali Al-Jufri bahwa menyebarkan thariqah Ba’alawi dan peran dai perempuan, utamanya dari kalangan Ba’alawi untuk berdakwah dengan bahasa perempuan (feminine language). Keduanya laki-laki dan perempuan harus saling mendukung dalam berdakwah.
Dari penjelasan Habib Ali Al-Jufri dapat dikatakan bahwa meski terjadi perdebatan diantara segelitir ahli hikmah atau sufi tentang posisi perempuan, ternyata ada sebagian sufi yang tetap terbuka bagi kedua jenis kelamin. Mereka memandang perempuan sebagai pribadi yang memiliki bakat yang sama untuk kedekatan dengan Tuhan dan pengetahuan tentang Tuhan seperti laki-laki. Hal itu terlihat bagaimana keempat ustadzah Ba’alawi ini dalam praktiknya mampu membangun otoritas keagamaannya sendiri di ruang publik.
Otoritas keagamaan setidaknya memiliki tiga karakter penting: 1). Otoritas dibangun oleh seorang yang berbasis pada konsepsi masa lalu. Untuk menjadi otoritatif seseorang harus menambatkan pada masa lalu, yang bisa dicapai melalui nasab, silsislah, atau rantai murid dan guru. 2). Bagaimana kemampuan seseorang yang terhubung dengan masa lalu tersebut menerjemahkannya sebagai inspirasi bagi orang yang berada pada saat ini. 3). Otoritas harus selalu dipelihara dan dijaga.
Dari ketiga uraian di atas, peran ustadzah Ba’alawi dalam berdakwah memiliki ketiga karakter tersebut. 1). Ustadzah Ba’alawi ini memiliki nasab, silsilah, dan rantai keilmuan guru dan murid sampai Nabi Muhammad Saw 2). Ustadzah Ba’alawi ini selalu menjaga hubungan dengan jamaahnya dan menerjemahkan masa lalu sebagai inspirasi melalui ajakan-ajakan untuk selalu ingat kepada Allah Swt dan bersholawat kepada Nabi Saw 3). Dalam menjaga dan memelihara otoritasnya, para ustadzah Ba’alawi ini selalu mengadakan majelis tak’lim, dakwah online, dan menerbitkan buku.
Melalui ketiga karakter otoritas dan pendekatan feminist epistemology membantu menegaskan bahwa peran perempuan/ustadzah Ba’alawi mereka tidak hanya sebagai pemelihara tradisi thariqah Ba’alawi semata melainkan mampu memproduksi dan mentransmisikan pengetahuan mereka yang setara dengan laki-laki.
Editor: Soleh